Peran Seni dalam Masyarakat Kapitalis

Peran Seni dalam Masyarakat Kapitalis
oleh: Matroni El-Moezany*
Hakekat seni selama ini telah menjadi perbicangan dan perdebatan yang sangat memukau di kalangan seniman maupun tokoh intelektual. Perbincangan tersebut terjadi antara para filsuf maupun kritik seni. Tidak mungkin pembicaraan seni sebagai realitas independen yang lahir begitu saja tanpa adanya pertarungan konsep, ideologi, dan filsafat yang ada di benak para seniman. Maka, untuk membicarakan masalah seni, pada akhirnya adalah membicarakan kesenian itu sendiri. Pada akhirnya perbincagan gagasan-gagasan dari manusia yang berkarya di belakang penciptaannya seni itu sendiri.
Dalam hal ini ada aspek utama yang perlu dipertimbangkan dalam proses seni, yaitu aspek ’obyektif’ dan aspek ‘ subyektif’. Aspek obyektif berkaitan dengan pertimbangan berbagai faktor yang yang membatasi antara proses perkembangan seni, seperti teknologi, material, konvensi. Aspek subyektif berkaitan dengan kemampuan artistik dan daya kreativitas seniman, yang di bentuk oleh kebudayaan, mitos kepercayaan serta bawah sadar seniman itu sendiri.
Dalam estetiknya misalnya ini dapat dikemukakan satu dilema yang mau tidak mau harus di hadapi di dalam diskursus kesenian. Di satu pihak idiom estetik yang telah disusun kepada para seniman disebuah panorama bagi penciptaan, kemungkinan bentuk seni yang sangat kaya, bagi pengembangan konsep pluralisme dalam bersenian, bagi penggalian kekayaan perbedaan tempat dan kebudayaan, di pihak yang lain, model estetik ini, berpeluang untuk di cap sebagai satu bentuk "anarki" dalam seni, kreativitas, asli, atau baru.
Disisi lain misalnya, di Indonesia sejauh ini, kesenian seringkali direduksi sedemikian rupa sehingga tidak lagi di pandang sebagai gagasan kreativitas yang di dasarkan pada suatu filsafat tertentu, melainkan suatu gerakan yang berkesenian yang dogmatis dan berorientasi pada politis secara sempit. Pandangan semacam ini bisa di pahami dalam konteks perjalanan sejarah pemikiran aliran realisme seni, baik yang berkembang di Rusia maupun yang terjadi di Indonesia.
Sebagai kecendrungan alamiah secara hegemonik kekuasaan akan mempergunakan seni apa pun alirannya untuk kelangsungan kekuasaan itu sendiri. Di Indonesia sendiri selama Orde Baru kekuasaan secara hegemonistik menyensor perilaku seni yang menurut mereka telah melanggar rambu-rambu "seni pancasilais". Ini hanya sekedar bukti bahwa pada suatu saat nanti, seni akan dengan sedemikian rupa di jadikan kuda tunggangan oleh kekuasaan, dan bukan menjadi monopoli kasus realisme seni semata.
Dalam perkembagannya, keperpihakan seni dan seniman ini, tanpaknya lebih cendrung menempatkan seni dan juga kebudayaan sebagai media untuk mempengaruhi pola pikir, kebiasaan, serta selera masyarakat yang diarahkan untuk berpihak pada struktur yang berkuasa, baik ekonomi, sosial, maupun politik. Misalnya dalam masyarakat yang masih mempercayai mitologi, seni di pakai untuk menamakan mitos-mitos ke dalam benak masyarakat. Di sini seni tampak menjadi agen kekuasaan para dewa, dan dengan demikian, juga orang-orang tertentu yang di angkat sebagai para wakil di dunia.
Kita lihat di abad pertengahan, di mana seni harus mengabdi pada keagungan dan kepentigan gereja dan dogma-dogma serta ajaran yang harus disampaikan ke dalam pikiran masyarakat untuk mengakui semacam ini, dan pada akhirnya menuntut masyarakat untuk mengakui kekuasaan gereja.
Hubungan Seni dan Kekuasaan
Hubungan seni dan kekuasaan semacam ini terus berlanjut selama sejarah peradaban manusia masih berjalan. Misalnya, di masa lahirnya Revolusi Industri yang ditandai dengan berkekuasaan modal atas kerja manusia, seni kembali harus mereposisi perannya kembali. Kapitalisme yang didukung kekuatan modal, memaksa seni untuk berpihak pada dirinya, yang akhirnya muncul istilah aplicated art serta pop art, yang semuanya mengacu pada seni yang di jual. Di sini seni telah di tempatkan sebagai komoditas, dan keindahan seni mulai diukur dengan uang serta hubungan dengan keuntungan kapital.
Fenomena ini antara lain di tangkap oleh Antonio Gramsci sebagai suatu cara kelas dominan atau yang berkuasa untuk menghegemoni masyarakat. Di sini seni di pergunakan sebagai alat penghegemoni dengan cara melakukan dominasi terhadap budaya dan ideologi masyarakat. Dalam lingkup kesenian, hegemoni senantiasa muncul berupa produk-produk kesenian massal yang serba seragam, yang bahkan masuk pada wilayah ekspresi- ekspresi artistik publik, dan sacara riil membunuh kreativitas. Contahnya hegemoni seperti dapat ditemukan di wilayah-wilayah pedesaan dan kampung-kampung, di mana masyarakat dibuat tidak berdaya pada kehendak kelas yang dominan, dalam hal ini aparatur negara.
Seni sebagai agen kamapanan, di satu sisi pada akhirnya menimbulkan konflik tersendiri di dalam dirinya. "Karena seni sesungguhnya pemberontakan," kata Albert Camus, seorang filsuf dan seniman Prancis, tendensi-tendensi pemberontakan seni, merupakan prasyarat bagi lahirnya kreativitas, jika selama seni melulu mengabdi pada kekuasaan yang nota bene berarti kemampuan seni akan kehilangan sumber dayanya yang paling utama, yaitu kreativitas. Dan dengan sendirinya seni akan mati sebagai seni.
Pemberontakan seni, mau tidak mau pada akhirnya memunculkan suatu arus baru dalam berkesenian. Aliran-aliran baru yang muncul, merupakan representasi adanya gerak dialektis dalam berkesenian, sebagai antitesis terhadap aliran-aliran sebelumnya. Sebab, seni hadir untuk melawan dominasi, yang yang dari beberapa pemikiran Karl Marx dapat disimpulkan bahwa seni harus mengabdi pada revolusi dan kepentingan rakyat. Dengan ungkapan lain, Leon Trotsky menyatakan bahwa pemberontakan seni lahir sebagai ungkapan perjuangan manusia untuk memperoleh hak-haknya yang dirampas oleh struktur yang bekuasa. Ini semakin membuktikan bahwa pemberontakan seni merupakan awal dari tendensi-tendensi baru dalam berkesenian.
Pandangan ini sesungguhnya bertolak belakang dengan gagasan Plato mengenai dunia ide, di mana Plato melihat seni tak lebih dari sekedar tiruan dari benda atau keadaan alam sebagaimana alam itu sendiri tak lebih dari tiruan terhadap hal-hal dalam dunia ide. Namun, dalam konsep penyadaran, tujuan seni justru tidak terdapat pada peniruannya, melainkan pada pemberian gaya. Kembali menurut Camus, seni merupakan wahana di mana alam ditangkap dan diletakkan dalam sebuah ekspresi yang sarat makna. Karena itu juga, bagi Camus tidak mungkin ada seni yang tanpa makna (nonsens).
Dalam polemik itu, mungkin benar apa yang di tuliskan Trosky dalam penutup suratnya: "kreasi artistik memiliki hukum-hukumnya sendiri bahkan ketika kreasi tersebut dengan sadar intektual pasti bermusuhan dengan kebohongan, hipokritas, dan semangat kompromitas, seni menjadi sekutu kuat revolusi hanya ketika ia tetap setia pada dirinya. Para penyair, pelukis, pemahat dan musisi akan dengan sendirinya menemukan pendekatan dan metode-metode mereka sendiri dalam perjuangan untuk membebaskan kelas dan rakyat tertindas, yang akan membuyarkan awan skeptisisme serta pesimisme yang menutup cakrawala kemanusiaan.

*penulis adalah penyair dan esais kelahiran Sumenep, Madura. Sekarang menempu studi di Fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menjadi staf devisi sastra dan budaya Kutub Yogyakarta, aktif di lesehan sastra dan kajian kutub Yogyakarta. Tulisannya di muat di berbagai media baik ibu kota maupun daerah. Tinggal di Minggiran MJ II/ 1482-B Yogyakarta 55141.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani