Pembebasan Masyarakat dengan Teater

Pembebasan Masyarakat dengan Teater
Oleh:Matroni El-Moezany*
Dalam teater secara umum di Indonesia masih mancari kerangka dan format. Kerangka tersebut di temukan setelah melalui proses kreatif berkesenian secara panjang, termasuk teater yang memang bergelut di teater-teater yang menggenangi bangsa Indonesia, misalnya di Yogya teater Gandrik, teater Dinasti (TD) Kelompok Teater Rakyat Indonesia (KTRI), teater latar. Jadi, teater tersebut memiliki tantangan, yakni akan mementaskan yang sesuai orientasi pasar, ataukah justru menciptakan pasar baru itulah yang menjadi problem saat ini bagi para pemain.
Salah satu pengamat teater Heru Kesawa Murti mengatakan bahwa penulis atau pemain, teater atau kesenian apa pun selalu mencari format, bagaimana bentuk pementasan yang baik, serta tepat bagi grup. Begitu pula dengan teater latar yang semula mengangkat naskah realis, juga mencoba kemungkinan baru dengan bentuk komedi. Persoalanya, bagaimana teater tetap setia pada naskah-naskah realis atau komedi, sebenarnya tergantung pada kesempatan grup itu sendiri. Bagaimana mengelolah kemampuan, membuat manajemen pertunjukan sehingga mampu merebut perhatian para penonton. Persoalannya sekarang adalah bagaimana kalau di padatkan menjadi teater itu mengikuti orientasi pasar, atau menciptakan pasar baru. Kalau pementasan teater mengikuti pasar, pasti akan bertanya apa yang sekiranya yang diinginkan penonton?.
Kalau teater Gandrik selalu mengkritik orang lain, termasuk kekuasaan, ini semua media melakukan itu dengan berani. Persoalannya, teater Gandrik sendiri merasa gamang. Terbukti salah satu anggota teater Dinasti adalah Joko Kanto di daerahnya ada sebuah kelompok teater, lalu ia bergabung, di awal-awal ia banyak mengiringi dengan musik. Misalnya menjadi peniup suling jika ada dangdutan, pentas 17-an. Setelah beberapa tahun kemudian mereka mantan-mantan bengkel teater kangen berteater seperti, Anwar AN, Fajar Suharno, Moortri Purnomo, maka di bentuklah Teater Dinasti (TD) yang anggotanya: Simon HT, Emha Ainun Najib, Agus Istiyanto, bergabung pula Indra Tranggono, Halim HD, Angger Jati, Wijaya, dsb.
Salah satu pendirinya mengatakan bahwa Dinasti, singkatan dari "Dana Informasi Nasional Taruna Indonesia" oleh sebab, itu dalam komunitas itu selalu menerbitkan buletin budaya berkala bernama "refleksi" yang didanai belanda. Salah satu manfaatnya misalnya dulu sebelum terjadi peristiwa pembunuhan mesterius pembunuhan terhadap preman dan residivis kriminal oleh rezim Orde Baru ia sudah mengetahui informasi bakal adanya peristiwa penembakan itu. Maka, di tulislah cerita-cerita "Geger Wong Ngoyak Macan" oleh Emha Ainun Najib. Jadi, sangat aktual dalam mengangkat permasalahan sosial.
Dalam teater saya kira tidak jauh berbeda dengan prinsip-prinsip pembebasan yang di kembangkan Philliphine Educational Theatre Associantion (PETA) yaitu Organisasi-Artistik-Orientasi (OHO). Prinsip teater dalam pembebasan pertama, memenuhi syarat organisasi, yaitu pengalaman kelembagaan kolektif apapun. Kedua, artistik merupakan tata nilai yang berhubungan dengan kaidah-kaidah berkesenian yang kadang menjadi perdebatan yang tidak selesai-selesai seperti teater pembebasan yang mempunyai misi penyadaran tidak selalu artistik.
Penulis buku The Playful Revolution Theatre and Liberation ia Asia (1992), Eungene Van Erven menyebut TD dan teater Arena dari Yogya selayaknya di puji dalam usaha-usahanya yang tidak mengenal lelah dalam menopang prakarsa teater pendidikan, teater dapat menegaskan penyuaraan moral, kritisisme, dan pemberian kesaksian tentang kehidupan di Indonesia yang membutuhkan banyak perbaikan yang sungguh-sungguh (Diligence).
TD, kemudian mengemuka sebagai kelompok teater yang konsisten terhadap pilihan sikap kepedulian sosial dan budaya. Oleh karena itu naskah-naskah drama yang dipentaskan adalah hasil dari pergulatan konsep teater yang di kerjakan secara kolektif atau mementaskan naskah sendiri. Diantara penulisnya adalah Emha Ainun Najib, Agus Istiyanto, Yama Widura, disamping mementaskan naskah drama karya Kuntowijoyo dan Arifin C Noer. Naskah yang sudah dipentaskan adalah Dinasti Mataram (Fajar Suharno, 1997), Geger Wong Nyoyak Macan (RM Gajah Abiyoso Emha Ainun Najab) Patung Kekasih (Simon HT, Fajar Suharno, Emha Ainun Najib, 1993) Sepatu Nomer Satu (Simon HT, Agus Istiyanto, 1985) Sosok Diam di Ladang Bobrok,(1986) dan Mas Dukun Yama Widura (1987).
Semua dukumentasi mejunjukkan sikap kepedulian terhadap kondisi sosial dan budaya yang ada, misalnya pada bulan Juni 1983 "Geger Wong Ngoyak Macan" di pentaskan di taman budaya Jawa Tmur. Pementasan waktu itu seolah melebur jadi satu manfaat liburan, pemdidikan, penerangan, dakwa, dll. Walaupun menggunakan bahasa Indonesia tapi penuh unsur kearifan lokal. Pada bulan Desember 1987 TD menutup festival seni bulungan dengan menampilkan "Mas Dukun" dengan sutradara Bambang Susiawan.
Pada perkembangan selanjutnya, melalui tubuh TD inilah nantinya melahirkan Kelompok Teater Rakyat Indonesia (KTRI) dan teater Gandrik. Pendiri dan penggiat dua kelompok teater tersebut adalah anggota-anggota yang aktif di dalam TD. Tentu saja misinya sama dengan indeknya, naskah yang di pentaskan dua kelompok tersebut adalah persoalan sosial tapi, warna pementasan dan teknis penyampaian di sesuaikan dengan wilayah garapan, sudiens dan keterlibatan penonton-pemain.
Ciri-ciri tersebut kentara apabila beberapa ulasan pementasan misalnya yang di tulis ala Beny Yohanes… yang lalu di capai oleh kekuatan presentasi teater Gandrik bukan pengajaran tapi, pembebasan bersama. Teater menjadi ruang partisipasi milik bersama dan setiap komentar sosial atas berbagai persoalan publik yang di ledakkan di atas panggung. Dapat menjadi sarana dan wahana pencerahan timbal-balik antara aktor dan penontonnya, untuk sama menakar efek pengobatan kesadaran yang dapat timbul.
Kemudian kelompok konsisten bergerak di teater pembebasan adalah KTRI. KTRI dalam sepak terjangnya di kemudian hari menjadi bagian integral dari program lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berusaha untuk mengorganisir rakyat, yaitu masyarakat tertindas yang memang perlu di berikan penyadaran dan dapat menggugah masyarakat luas (Ordinary Peoble). Teater pembebasan dengan metodologi yang telah di susun oleh KTRI, di praktekkan langsung di tengah masyarakat yang di rasa bermasalah bagi mereka. Penyadaran terhadap rakyat cukup banyak wilayah dan golongan rakyat, seperti petani, buruh, kesehatan, korban penggusuran dsb.
Sekarang mereka Joko Kamto, Simon HT, Agus Istiyanto, Eko Winardi, dan Angger Jati Wijaya yang menggerakkan roda KTRI yang memang konsisten dalam teater pembebasan. Teater pembebasan yang tumbuh pada tahun 1980-an mengalami kemandekan, sebabnya kalau di tahun-tahun tersebut teater efektif sebagai media pendidikan maka, di zaman yang serba digital cyber ini segala sesuatu yang di tawarkan tentu lebih beragam dan mampu menjawab segala kebutuhan rakyat. Jadi hal ini sangat berkaitan dengan mental korban kapitalisme dan pendidikanyang gagal.

*Matroni El-Moezany lahir di Sumenep, Madura, saat ini menempuh studi di Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang menjadi staf devisi sastra dan budaya kutub Yogyakarta. Aktif di forum Sastra Pesantren Indonesia (FSPI).puisi-puisinya di muat di beberapa harian ibu kota dan daerah. Tinggal di Minggiran MJ II/1482-B Yogyakarta 55141

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura