Menyikapi Wacana Humanisme Filsafat

Menyikapi Wacana Humanisme Filsafat
Oleh: Matroni A el-Moezany*

Fenomena pertengkaran dalam wacana humanisme yang saat ini terus mengiang. Pertengkaran antara pembela nalar di satu sisi dan pembela naluri di sisi lain. Antara yang Cartesian dan yang Nietzschean. Para Cartesian menuduh pembela naluri merendahkan manusia. "Cogito Ergo Sum!" jerit mereka. Kodrat manusia terpusat pada nalar, bukan nalurinya. Naluri dilempar dari kemanusiaan karena menyamakan manusia dengan hewan. Bersembunyi di balik Cogito, manusia berada di puncak hierarki gradasi perwujudan.
Nalar mengandaikan semesta yang hadir dan bisa dimengerti. Bersembunyi di baliknya adalah iman akan ketersambungan antara pikiran dan kenyataan. Naluri, di lain pihak, memiliki cara berpikirnya sendiri. Dengannya, manusia melampaui yang hewani dan manusiawi sekaligus. Naluri untuk penguasaan Nietzsche, misalnya, mengenyahkan logos yang membentang diluar, namun menariknya diam-diam ke dalam.
Dua tradisi tersebut berseteru seolah-olah berdiri berseberangan. Namun, mereka berbagi iman yang sama secara epistemo-ontologis. Semesta ini asing. Dan, transenden hanya bisa disingkap apabila ontologi manusia ditelanjangi bulat-bulat. Descartes mengerti manusia sebagai substansi yang berpikir, sedangkan Nietzsche memahami manusia sebagai naluri untuk penguasaan. Bertolak dari itulah semesta ditarik dari persembunyiannya. Kodrat manusia adalah kunci utama pembuka pintu rahasia semesta.
Apabila yang transenden menjadi titik tolak tradisi teori pengetahuan dalam filsafat, tidak demikian halnya dengan puisi. Puisi, kenyataan selalu menampilkan dirinya dalam bahasa. Kenyataan adalah semata-mata soal cara pengucapan. Maka, mencari ketelanjangan sebuah rahasia, puisi mengerahkan tenaganya untuk menelusuri cara pengucapan baru. Alternatif yang dikejar adalah cara pengucapan representasional bahasa sains dan filsafat, sebuah cara pengucapan yang mengandaikan keterwakian semiotis realitas dalam bahasa.
Puisi tidak melentingkan kita ke tanah tak berjejak. Ia tidak berdarah-darah mengejar kesejatian. Ia tidak melakukan penyingkapan apa pun. Yang ia kejar hanya kata-kata baru dalam realitas. Muara perbincangan ini adalah filsafat yang membujur kaku. Refleksi atas puisi adalah akhir hayat filsafat. Para filsuf terkaget-kaget saat mendapati bangkai epistemologis yang disisakan puisi, seperti saat Nietzsche menemukan "yang tak berasal" setelah merefleksikan puisi-puisi klasik Yunani. Atau Heidegger yang menghentikan proyek ontologi fundamentalnya setelah membaca puisi-puisi Holderlin. Pembelokan sastra, sedang mengeluti jagat pemikiran kontemporer. Nalar yang notabene merupakan peranti rohani utama filsafat dalam membuka segel epistemologis sedang mencapai titik nadinya. Saya membaca gejala ini sebagai gejala metamorfosis nalar menuju bentuknya yang puitis.
Perspektif Metafilsafat
Collin McGinn, filsuf Amerika kontemporer, mengemukakan gagasannya tentang apa yang disebut sebagai metafilsafat. Sebuah penyelidikan filosofis tentang apa yang sesungguhnya kodrat dari persoalan filsafat, kemungkinan pengetahuan filosofis yang diadopsi demi kemajuan filsafat. Menurut McGinn, ada dua tradisi besar metafilsafat yang saling bertolak belakang. Pertama adalah tradisi Platonian. Tradisi ini, berkeras bahwa persoalan filsafat adalah persoalan esoteris. Filsafat adalah disiplin ilmu yang memacu nalar manusia menggapai "yang esoteris". Tradisi kedua adalah Wittgensteinian. Bertolak belakang dengan Plato, Wittgenstein menolak apa yang disebut sebagai persoalan esoteris filsafat. Persoalan filsafat sesungguhnya adalah persoalan bahasa. Pertanyaan filosofis menjadi semu dan tak bermakna akibat penyalahgunaan bahasa. Dengan kata lain, persoalan filsafat sesungguhnya adalah soal penyembuhan bahasa.
Donny Gahral Adian dalam tulisannya "Tanah Tak Berjejak Para Penyair" (Kompas, 2, 05, 2003), berusaha mendamaikan dua tradisi metafilsafat tersebut dengan mengajukan hipotesis nalar puitis. Nalar puitis tidak berkonsentrasi pada persoalan yang absolut-esoteris, namun tidak juga mengalah pada jerat kebahasaan belaka. Nalar puitis adalah nalar yang selalu peka terhadap yang transenden berdasarkan postulatnya akan kodrat semiotis kenyataan. Selalu ada yang bergentayangan di luar cara pengucapan yang dominan. Itulah yang dikejar oleh nalar puitis. Oleh karena itu, cara bernalar biasa harus ditinggalkan. Cara bernalar yang mencari kodrat harus digeser oleh cara bernalar yang mencari cara pengucapan baru. Konsentrasinya bukan pada jawaban positif, tapi pada pertanyaan asal untuk menemukan inovasi.
Heidegger meletakkan fondasi awal bagi metafilsafat nalar puitis. Bernalar bagi Heidegger adalah keunggulan filsafat. Karenanya, filsafat harus memiliki cara bernalar yang melebihi pengetahuan positif, yakni cara yang tidak berkonsentrasi pada jawaban positif melainkan, seperti diisyaratkan Russel, melulu prihatin pada peleburan ruang imajinasi nalar kita sendiri. Peleburan yang sesekali harus melontarkan pertanyaan pada pertanyaan filosofis. Ini yang dilakukan Heidegger saat mengajukan pertanyaan terhadap seluruh pertanyaan filsafat, mulai dari Yunani klasik sampai modern. Bagi Heidegger, semua pertanyaan itu harus dipertanyakan ulang karena tidak bertanya tentang Ada yang sesungguhnya, yaitu Ada yang menopang segala keadaan. Para filsuf terlalu asyik bertanta sehingga melupakan kentara antara Ada dan ada.
Pertanyaan-pertanyaan filsafat yang bertebaran dalam sejarah tak mampu menampung transendensi sang Ada. Kelumpuhan ini, menurut Heidegger, disebabkan oleh filsafat yang masih berkutat dengan nalar epistemologis, nalar yang mengejar keakuratan representasi antara benak dan kenyataan, nalar yang mewakili bukan menyingkap. Sejarah filsafat adalah sejarah nalar epistemologis. Mulai dari filsuf Milesian yang mencoba menalar kodrat semesta sesungguhnya, sampai Descartes yang menelanjangi kodrat kognitif manusia sebagai dasar pengetahuannya tentang dunia. Bahkan, Nietzsche yang dituduh dari berbagai pihak antinalar sesungguhnya masih terjebak dalam sejarah nalar epestemologis saat menelanjangi kodrat manusia sebagai naluri untuk pengusaaan.
Saat nalar kehilangan sensitivitas pada yang transenden, kidung bait-bait puisi dalam tubuhnya pun lambat laun akan menghilang. Kondisi ini diperparah lewat lahirnya sains pada abad ke-17 sebagai wujud sempurna filsafat alam. Sains membekukan geliat nalar pada pandangan dunia mekanisme yang telah menghilangkan dunia dari kemisteriusan. Pengeringan dunia dari yang asing ini membuat nalar kehilangan kemampuannya dalam membawa kita ke tanah tak berjejak. Nalar pun sekadar kalkulasi, bukan eksplorasi. Ini yang dimaksud Heidegger saat mengejek fisika sebagai semata-mata kalkulasi, bukan pemikiran.
Kematian nalar puitis adalah saat nalar terjebak pada fungsi metodologisnya. Nalar yang melulu bersibuk dengan langkah menemukan kebenaran, bukan menciptakan. Metode dalam menentukan yang benar maupun yang baik. Padahal, seperti dikemukakan Whitehead, spekulasi nalar tidak terjerat oleh metode. Ia mentransendenkan semua metode. Nalar adalah naluri dasar manusia yang senantiasa rindu pada yang tak terbatas. Inilah yang membuat kemajuan dimungkinkan.
Naluri kerinduan nalar pada yang transenden, suram saat nalar difungsikan hanya secara komunitarian. Saat nalar terkurung oleh kategori kultural, jelajah nalar puitis pun mandek secara historis. Ia menjadi ansilla historica, hamba sejarah. Sebuah kesia-siaan yang tak perlu. Kesia-siaan yang dituduhkan para pembela nalar kepada para neosofis yang antikebenaran tunggal. Nalar identik dengan universalisme, kata mereka. Pertanyaannya kemudian adalah apakah pilihan antara relativisme dan universalisme adalah sebuah pilihan dikotomis.
Setelah beberapa penyodoran hipotesis nalar puitis sebagai muara metamorfosis, nalar manusia setelah pengejaran terhadap yang transenden dihentikan. Hipotesis yang ternyata banyak mendapat reaksi keras dari berbagai pihak. Sebagian menafsirkannya sebagai maklumat hukuman mati bagi nalar. Tuduhan yang berpijak pada sangkaan pengulangan gagasan aleitheia Heidegger dalam hipotesisnya. Tuduhan-tuduhan itu cukup berdasar. Hanya serangan terakhir yang terdengar menggelikan. Yang dituduh telah memutlakkan jalan puisi.
Jelas tergurat bahwa nalar puitis bukan puisi. Puisi bukan sekadar metafora bagi kemampuan nalar yang dapat membuka cara pengucapan baru tentang semesta. Kemampuan yang lenyap saat ilmu pengetahuan, filsafat, dan teologi mengejar kebenaran bukan kelainan. Pengejaran yang sadar atau tidak disadari menggendong sebuah pandangan dunia tertentu. Fisika, misalnya, dicela Heidegger sebagai semata-mata kalkulasi bukan pemikiran. Mengapa? Karena fisika tak bisa melepaskan diri dari pandangan dunia mekanistik. Ia hanya berfokus menghitung-hitung gerak-gerik semesta tanpa menghasilkan sebuah cara pengucapan alternatif.
Nalar puitis juga bukan sekadar iseng yang antinalar. Nalar puitis adalah nalar yang selalu terjaga pada "kelainan". "Kelainan" berbeda dengan yang transenden. Transendensi adalah cara epistemologis, sementara "kelainan" adalah model puitis. Di mana letak perbedaannya? Modus epistemologis bekerja dengan kategori benar-salah. Tanah berjejak yang ditinggalkan adalah sesuatu yang kadar epistemologisnya lebih rendah ketimbang dataran kognitif baru yang dituju. Sementara "kelainan", sebaliknya, tidak berurusan dengan kategori benar-salah. Ia semata-mata sebuah kemungkinan baru dalam berbincang-bincang tentang semesta. Semesta selalu sudah menampilkan dirinya secara kebahasaan. Yang dikejar oleh nalar puitis, bukan kebenaran baru, melainkan sebuah kosakata baru tanpa klaim epestemologis apa pun.
Selanjutnya, apakah nalar puitis sekadar pengulangan hipotesa "aleitheia" Martin Heidegger? Saat Heidegger menjelaskan panjang lebar tentang bahasa sebagai rumah Ada, ia sesungguhnya sudah bersentuhan dengan apa yang dia maksud. Namun, ketika itu semua diletakkan dalam proyek pencarian Ada, maka ia terjebak dalam epistemologi. Berpikir seharusnya bukan mencari Ada, melainkan membangun rumah-rumah Ada yang baru. Aroma epistemologis semakin jelas tercium saat Heidegger berbicara tentang Dasein otentik yang mengambil jarak dari "ke-mereka-an" (Dasman). Pengambilan jarak Dasein, yakni being in the world, adalah sebuah momen kebenaran setelah ia tenggelam dalam kepalsuan publik. Ini semua menjadi kesulitan pokok Heidegger dari kacamata nalar puitis.

*Penulis adalah Mahasiswa Filsafat UIN dan anggota Komonitas Filsafat Lingkarang 06’ SARKEM SOKRATES, Pemerhati Budaya dan Penulis sastra Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura