Cinta, Sastra dan Kita

Cinta, Sastra dan Kita
(Oleh: Matroni El-Moezany)

Cinta tak lain adalah sebuah reaksi kimia tubuh yang segalanya bisa di terangkan sebagai persoalan senyawa kimia. Belakangan ini para ilmuwan mulai dunia semakin tertarik untuk menerangkan perasaan manusia sebagai gejala kimia biologi. Bukan lagi gejala jiwa atau psike. Sesungguhnya ini sangat kontroversial. Tren penemuan-penemuan belakangan ini menunjukkan bahwa yang selama ini di anggap sebagai jiwa dalam bentuk sifat, perasaan, perilaku ini dapat di kendalikan bahkan di ubah melalui manipulasi hormon dan senyawa kimia otak. Jadi implikasi secara ekstrem adalah tak ada jiwa, tak ada badan, tak ada psikis, yang ada biologi. Tak ada ruh, yang ada organisme, kalau tak ada ruh, ya tak ada yang namanya hari kiamat.
Bukanlah aku sangat paham akan cinta dan bila kusingkap dan kutumpahkan cinta kekasihpun telah menyingkapkan dan menampakkan dirinya sungguh aku hanyalah mencintai cinta (Puisi Amen Wangsitalaja). Dan demi pemahaman akan cinta kita semua butuh pengetahuan, serta cinta adalah konsekuensi eksistensi manusia di muka bumi. Dunia bukan hanya untuk kepuasan atau kebutuhan praktisi melainkan karena gairah untuk mengetahui. Cinta adalah sikap, sesuatu orientasi watak yang menentukan pribadi dengan dunia keseluruhan bukan menuju objek cinta yang mempunyai suatu tindakan yang aktif, bukan perasaan yang pasif. Itupun harus berdiri dalam cinta, tidak jatuh kedalamnya (Erich Fromm).
Dalam bukunya Enduring Love, Ian McEwan, seorang novelis yang amat terpukau pada spekulasi senyawa kimia, mengatakan bahwa lewat tokoh utama novel itu: tidaklah cinta hanyalah tipuan tubuh agar kita berkembang?.
Bukankah drugs peningkat kadar dopamin dan serotonim telah beredar kerap kali di pakai di pesta-pesta? dopamin dan serotonim senyawa yang membuat orang berbunga-bunga dan merasa kuat, yang di produksi dengan kadar tinggih dalam tubuh orang sedang mabuk asmara. Itu sama menariknya asmara hubungan antara orang tua dan anak. Terutama ibu dan anak yang di anggap sebagai naluri. Tentunya cinta mempunyai kesejukan, ini terlihat keagraban dengan alam dan lingkungan yang kian bermakna saat ketentraman dan kedamaian berpadu dalam hati masyarakat walau lambat laun teknologi dan imformasi akan merangsek tatanan teradisi budaya itu sendiri.
Cinta tidak terlepas dari masalah yang berkaitan mengenai sastra romantis dan sastra itu sendiri, dan kita tak lepas dari kaitan antara karya, sastrawan, masyarakat, maupun nagara, serta kebijakan idiologi yang di anut. Hubungan keempat unsur tersebut memang sudah di perdebatkan sejak zamannya Plato dan kerap kali menimbulkan peristiwa yang tidak mengenakkan. Peristiwa itu bisa berupa pengusiran atau penjekalan sastrawan dan karyanya. Dan itupun terdapat bukti yang tertera dalam daftar yang sangat panjang dari peristiwa itu: Boris Pasternak, Solzhenitsyn, Anna Akhmatova di Rusia, Celine, Victor Hugo di Prancis, Pramoedya Ananta Toer, Rendra, Muchtar Lubis, Emha Ainun Najib di Indonesia dan masih banyak lagi yang lainnya. Namun hubungan sastra dengan kita juga tak jarang menimbulkan bisnis antara para sastrawan yang mau menjadi pendukung dan alat penyebar kebijakan pemerintah.
Cerpen, seperti tugas-tugas bentuk lain sebagaimana dinyatakan Budi Darma adalah membentuk jiwa humanitat yakni membentuk manusia yang halus, manusiawi, dan berbudaya. Hal ini akan terjadi apabila di capai pencanggihan estetika bentuk dan isi. Inilah yang membedakan antara sastra dari berbagai jenis tulisan lainnya.
Mayoritas yang di cari pembaca dari sastra ialah penuangan yang berbeda dari jenis-jenis tulisan yang lain. Jika hanya mencari isi dan aspirasi bisa di cari dalam bentuk jenes tulisan di luar sastra. Ini berarti sastra tidak membatasi aspirasi. Pada kodratnya sastra memiliki peran dalam istilah Mathew Arnold sebagai criticsm of life (kritik kehidupan). Dalam hal ini kita harus setuju pada sesuatu yang pernah di ungkapkan oleh Budi Darma bahwa pengarang mampu menjaga jarak antara sastra dan emosi serta aspirasi baik sebagai individu maupun sebagai wakil dari kesadarn yang kolektif agar terbatas dari pencemaran emosi. Dengan demikian, estetiknya sastra tetap terjaga. Pada dasarnya sastra- meminjam istilah Goenawan Mohamad- mengandung pengabdian atau peran yang tak Cuma untuk dirinya sendiri di dunia yang penuh dengan masalah sastra. Ia tak bisa mengabaikan realitas dengan hanya mengotak-atik hal-hal dan formal dan hanya memetingkan estetika bentuk seperti yang di kehendaki paham seni untuk seni.
Dan masih ada sastrawan pencari nafkah, sasrawan pelampias nafsuh, sastrawan iseng, macam-macam. Ada juga yang semoga di idzinkan saya sebut sastrawan hati nurani (YB Mangunwijaya).
Melihat hal seperti itu kita harus sadar dan menyadari bahwa jadi penulis (sasrawan) sangat banyak godaannya. Baik itu godaan harta, kekuasaan, nafsuh rendah. Namun ibarat, emas di dalam debu (pinjam kata Rumi) ada juga sasrawan hati nurani (YB Mangunwijaya). Dalam sejarah kehidupan kita sehari-hari kita dapat dengan mudah menemukan fenomena seperti itu. Jika melihat fenomena yang terjadi saat ini seperti di era kini lebih banyak memilukan bagaimana banyak para sasrawan yang hanya menjual kekerasan dan mimpi kosong pada khalayak dan para sastrawan yang bersedia untuk bekerja keras, jauh gari sikap kemaruk harta, Problemnya yang paling menurun pembentukan estetika moral dalam kebudayaan Indonesia yang di sebabkan oleh tidak berkembangnya sistem imbalan dan sanksi, bukan hanya karena ketidakadaan model di antara para budayawan. Tetapi apakah seorang pemudah yang babak belur karena membela seorang gadis yang hendak diperkosa, mendapat insentif sosial dan perhatian para budayawan dan pemerintah. Padahal sasrawan yang diharapakan dan sesuai dengan AlQur’an Q.S Asyu’Aro’ adalah sasrawan yang memiliki hati nurani yang bersih dan halus.
Jadi pada akhirnya, jika melihat fenomena di atas yang menentukan apakah karya sastra dapat mencerahkan atau tidak, itu bukan terletak pada bahan ceritanya yang baik atau buruk, tetapi lebih bagaimana sikap estetika seorang sastrawan ketika merespon persoalan tersebut. Sikap estetika ini tentunya di pengaruhi oleh ideologi dari sang sastrawan. Ideologi yang tidak berarti sastrawan harus berafiliasi terhadap orientasi ideologi pilitik tertentu dan ideologi itu lebih mengarah pada world view yaitu bagaimana sasrawan melihat alam semesta.
Terlihat dengan masalah pandangan dunia sastra, itu tidak terlepas dari filsafat pemaknaan-pemaknaan terhadap gejala-gejala alam. Baik yang datang dari oksidentalisme maupun dari bangsa Timur. Sadar atau tidak sejarah juga melihat dan mencatat bahwa sastra Barat tidak sepenuhnya bersih, tetapi penuh dengan genangan darah. Hal ini karena sejarah sastra Barat merupakan bagian integral dari dari sejarah panjang kolonialisme dan imprealisme yang sangat menyengsarakan bangsa-bangsa Timur.
Memang dalam era saat ini banyak mainstream yang mengalami pergeseran paradigma (sheftim paradigm) jika sudut problematika tersebut dipertajam, maka lewat merebaknya cinta yang tidak saja mengubah keberadaan dunia, tapi juga mentalitas dan cara berfikir, yang dirasakan paling mendesak saat ini adalah perubahan mentalitas seseorang dalam menghadapi persoalan, baik itu persoalan fisik maupun mentalitas yang berhububgan dengan tingkah laku.
Oleh karena itu tolak ukur untuk mengukur tinggi rendahnya tingkat apresiasi sastra disuatu masyarakat selalu tidak jelas. Oleh sebab itu, Taufiq Ismail menyatakan bahwa tingkat apresiasi sastra masyarakat kita masih payah tentu saja benar atau sebaliknya. Persoalan ketidakjelasan ini sudah barang tentu bermuara pada parameter yang digunakan sinyalemin itu, di samping pemahaman yang tepat untuk membumikan sastra itu sendiri. Masalah dalam pengembangan sastra Indonesia adalah sistem pendidikan. Bertahun-tahun peran pendidikan di negara ini adalah sebagai penyeragaman pendapat, dan bukan pemandaian masyarakat.
Tentu saja sastra hanya sepetak ladang kata, tidak lebih dari itu? Dan jika kekuasaan korup maka sastralah yang membersihkannya.

*Penulis adalah Staf Devisi Sastra dan Budaya Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta & Forum Sastra Pesantren Indonesia (FSPI). Tinggal di Minggiran MJ II / 1482-B Yogayakrta 55141. Telp (0274) 397406.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Tari India Yang Sarat Spiritualitas