Kau Penyair Kau Harus Gila

Sajak-sajak: Matroni el-Moezany*
Temukanlah Oleh Dirimu
-----karena aku kasihan------
Ketika jambangan ini terisi
aku tahu lembab dirimu
tubuh gaibmu mengurai sunyi
liuk rancak-rancak musim
datang mengusap wajah-wajah layu
Aku jatuh di matamu
kenangan, turun menemui aura
tidurmu di bukit-bukit
setiap aku mengira rekahan bunga
engkau disini demi makna dan arti
Karena aku kasihan
air matamu kutengadahi
pada sayap-sayap senyap
di lengking dan raung sabdamu
engkau sadar
dalam dekapan sayu
yang mengendap ke belukar dada
memisau batu-batu
Jogjakarta 2007


















Sebelum Engkau Pergi
-----buat kekasihku-----
Aku mengajakmu
ke rumah sampah yang mengaji
di antara titik bebatuan
di mana terik mengelus-ngelus tubuh
di raung ruang berpeluh
Ada serumpun kata mesra
sebelum engkau pergi
aku sedang mengurai
kebodohanmu
majalah kecil kau baca serius
ayat dan kata rahasia
kemiskinan mungkin kejujuranku
tapi kaya Cuma maumu
Aku berjalan dalam jembatan
ke ruang singgah yang kau bangun
di antara kerikil jalanan
saat engkau datang berjilbab keabadian
dan berkata:
agar engkau tak bisa tidur lelap
agar tidurmu makin pulas
di bibir ranjang ketulusan
Jogjakarta 2007















Kado Buat Masa Pertama Kenal
-----D. EstaBy-----
Pagi tinggal secarik pisau redup
aku ada tak mengerti
hanya senyum dan kematian
di jalanan kata
kuikuti rangkaian perih wajahmu
karena kau tampakkan di antara
ketakmengertian itu
harus kau lukai sendiri
Kau tak pernah meminta aku layu
walau ada semusim kemarau di matamu
karena kau merampas kegersangan samudera
kesendirianku
sedikit dari banyak orang melukis
akan kecantikanmu
dengan batu-batu baja
kecuali kau tak sanggup menanam sebuah arti
air mata dan kata-katamu
nanti
bila orang lapar akan kemolekan waktu
dan kebeningan pun
hanya boleh menyentuh dan berkarya sendiri
penggalan puisi
menuju jalan satu keabadian
Jogajakarta, 2007















Sebuah Janji, Hujan Dimatamu
-----yang tak kumengerti-----
Sebuah janji adakah kau mengerti
yang lahir ketika tembang lain
luluh menjadi usang
Sebuah janji adakah kau melihat dari jauh
ketika malam kau mimpi
bertanya
dan menjawab dengan mesra
saat bulir jagung kedinginan
melekat di tepi sayap kunang-kunang
angin yang lumpu tak bertangan
menjelma sayup alunan puisi
Sebuah janji, nyusup pada selimut
dan merana bersamamu
kau tak mau aku kecup
tapi kau berkata
ada yang suka air mata
ada yang mencintai duka
yang melebihi senyum liarmu
Sebuah janji kubiarkan kau melukai hari-hari
dengan pisau dapur dan sebuah ciuman
yang tak sanggup kurangkum dalam selembar kertas
atau melukisnya di antara jajaran gedung-gedung
Jogjakarta 2007














Sepasang Musim
-----D.W. LstR-----
Kubiarkan terlempar hatiku
pada waktu yang tak terulang lagi
ruang yang memukau
puisi tertata rapi di dalamnya
Tak ada kesemuan di sini
engkau senang ketika matahari terlihat
dan cinta meyakinkan di dada
kau tahu tak ada lain yang mengharap
Kita bernaung di ketinggian kata
pohon-pohon lumpuh
mengubah semua saling menyapa
Setiap datang musim engkau berkata
Sepatutnya kita berlayar di samuderamu
tapi kita tak punyak perahu
sudah kehilangan masa-masa dan rasa-rasa
atau sesuatu untuk kau suguhkan
Aku telah berlayar mencarimu
dan kau bagi-bagi luka padaku
maka kukasih kau hati
karena sabdamu telah merasuk pada dirimu
dan orang lain
jogjakarta, 2007


















Qasidah di Balik Bayang
Hari yang kuat akan rindu
luka kematian terasa nyeri
dalam sunyi pertemuan
Luka berdarah
oleh pisau kata
gambarmu terlukis di mata
jalanan hanya ronsokan menelisik
pada jiwa-jiwa raksasa
Kisah tak lagi reda
sejarah terus terisi asma-asma
kerinduan
Aku bertanya pada siang ini
seperti apa kau disana?
hingga lawan sukma tak terukir jelas
lama waktu kutunggu
sesak kalimat demi kalimat
Kanvas
jelas dalam saran suci
ladang –ladang makna
referensi-referensi beku
mitafor-mitafor debu
di cakrawala dan lembaran-lembaran malam
lalu dimanakah kamu?
hingga dada sesak oleh wajahmu
kerinduan?
Jogjakarta, 09 Februari 2007














Di Masa-Masa Seperti Ini
Di masa-masa seperti ini
betapa sungguh senyap hati dan waktu
malam kumuh ayat basah di keningku
bulan terasa senyum melihat aku di sini
bersimpuh lara dengan ayat keagungan
Aku berjalan di rancak usang
trotoar basah, lantai kilat
kurangkum segala
Cinta kulihat senja ternyata rindu
tersabda
di musim wabah rindu begini
apa yang harus aku singgahkan
pada hutan di dada ini
yang menggoreskan tinta kesetiaan
di atas pundak jilbab-jilbab asamaramu
Aku melihat
tapi di mana kamu
mata terbatas ini tak mampu menemuimu
luka tiada
tinggal serumpun sesak mengurai jiwa
Jogjakarta, 09 Februari 2007
Puisi Adalah Senjata
Aku berharap pada jiwa
jangan tinggal kegelapan itu
karena kematian tetap bercahaya
Aku rindu kegelapan dan kesunyian
karena puisi adalah senjata
untuk mengarungi samudera
yang tak terbatas ini
Aku punyak pohon yang beranting
seranting untuk kucintai
seranting lagi untuk kutanam dalam jiwa
daunnya kubuat surat
batangnya kubuat kayu bakar
agar api di dada menjalar di cakrawala
mengisi ruang-ruang kosong
Jogjakarta 12 Februari 2007
Dekapmu yang Mengulas Sujudku
Dekapmu yang mengulas sujudku
tergores tinta kematian
lekuk bulan di langit terasa indah
bintang mengukir kata-kata
untuk haluan rindu
yang lama tertanam
dengan biji salju di utara
Malam-malam aku di sini
siang-siang aku begini
di ranjang sabar menemaniku
dalam mencapai surga
Jogjakarta 12 Februari 2007
-------Elegi Pisah-----
Bila temu tak lagi
lubuk jiwamu kenapa
engkau singgah dalam hujan senja
saat tuhan meneterkan air mata
di mataku yang buta
oleh silau cerminmu
Pintu jiwa ini beku
dengan salju-salju atau nama-namamu
jauh di dada hijau
terasa isinya adalah dedaunan
yang terjatuh tiap waktu
Pena ini lebih tajam dari pedang
karena banyak luka yang belum
tersembuhkan oleh waktu
aku yang seorang diri jauh dalam malam sunyi
Jogjakarta, 20 Februari 2007





----Mengapa----
Di tengah galau rasa
cerah cahaya mengalun sendu di jiwa
Semilir makna
yang terkatung dalam malam
kulukis dalam-dalam
melukai siang pagi
Mengapa…….!
yang selalu mengatur di balik sukma gulita
karena senyum tak ada
lalu dimana aku
Samudera tak bertepi ini
berada di dadaku
di sini, kataku
Jogjakarta, 23 Februari 2007
Saat Cinta Membakar Samuderamu
Bila cinta membakar tubuh dan jiwaku
aksara malam tak lagi bisa mengusik sunyi
semesta kurasa hanya semu layu
dalam dekapan ayatku
Reroncean yang mengakar
mengusik tirai samudera
membentang dikedalaman lautan
akar dasar meniup sari tanah lembab
adakah kesunyian yang labih sunyi dari gelombang
saat ia tidur di atas ranjang keangungannya
Laksana hanya mimpi kosong
tapi aku adalah dirimu
yang akan menghanguskan segala makna dan sajakmu
Di dalam kekosongan ini
ikan-ikan menawan diri di kedalaman air keruh
dengan sabar bernafas lalu tertawa kecil
hingga malam yang menemanimu basah oleh embun puisimu
Jogjakarta, 26 Februari 2007

Kesendirin
Dalam langkah makna
yang jauh dalam sungai nil itu
mengapa sinar kau belum kujangkau oleh hati ini
padahal ini adalah laksana
yang muncul sejak sajaku
mulai layu di wajah indahmu
Aku sendiri
aku api menjalar
aku sungai mengalir
aku sensara mengais-ngais
tapi aku adalah tangisan
di pundak agungmu
yang aku sadari dalam sepi
Jogjakarta, 01 Maret 2007
Embun Puisi
Senja ini bukanlah senja
melainkan bara
yang belum di sapu
mundur dan tidur lagi dalam dada
Tuhan pun tahu aku sunyi
berjalan mengembara di lautmu
jiwa yang terasa gulita tak tahan aku genggam
dalam tadahan hamba
nikmat terasa hangus oleh kata dan sabdamu
Di dada ini
terisi samudera amat luas
lebih luas dari samuderamu
aku tengadah meminta
agar jiwa dan ruh tak lagi sengsara
Kilauan bentuk silau di lihatku
padahal aku hanya mau
dalam senja yang tak kuinginkan
Jogjakarta, 01 Maret 2007



Bajak Shalawat
Sulaman di reroncean kering
memisau di dada
kurasa musik mengalun
sejuk menggiring tangga mencapaian
yang tertanam di keluasaan samudera
karena ladang cinta di jiwa kau bajak shalawat
Tumbuhan yang ada dalam jiwa ini
kusiram lewat jalan dan jembatan
agar gelas terisi yang lama aku tangisi untuk ngisi
tapi aku ragu
jangan ragu, katanya
ada yang tidak bisa diragukan lagi "aku yang sedang ragu-ragu dalam dirimu"
Jogjakarta, 05 Maret 2007
Aku Berharap Pada Jiwa
Aku berharap pada jiwa
jangan tinggal kegelapan itu
karena kematian tetap bercahaya
Aku rindu kegelapan dan kesunyian
karena puisi adalah senjata
untuk mengarungi samudera
yang tak terbatas ini
Aku punyak pohon beranting
seranting untuk kucintai
seranting lagi untuk kutanam dalam jiwa
daunnya kubuat surat
batangnya kubuat kayu bakar
agar api di dada menjalar di cakrawala
mengisi ruang-ruang kosong
Jogjakarta 2006








Kematian, Sebuah Akhir atau permulaan?
Disanalah yang tak mampu kuterjemahkan
Kukatakan kepadamu
"Kematian tak lagi mengerikan"
Bila kumasuki tarafmu
Dalam diri aku menemuimu
Lewat kehadiran yang tak pernah berubah
Mati atau aku mengingatmu
Kematian itu akan menjadi semu
-Pancaran sinar yang tiba-tiba datang dalam diriku
Kuubah dengan langkah cinta
Walau waktu tidak ada
Sebab ini menyangkut rasa
-Kematian membawaku
Kedalam dirimu
Yang tak terjamah oleh tangan-tangan kematian, roh?
Jogjakarta 07
Di Dinasti-Dinasti Semesta
-Di dinasti-dinasti semesta yang beku begini
Hanya selintas kehidupan atau serintis sayup do’a
-Siapa sangka kobaran yang sederhana dapat
Membanjiri semesta
-Berkali ucap
Berkali kata
Padamu saja
-Aku ingin dinasti itu tetap hidup
Ketika aku mengucap dan berkata di sana
Aku ingin dinasti itu kau pendengarkan padaku
Lewat puisiku
Aku ingin kau baca
-Aroma gading yang dihembuskan
Kata kita ukir di atas pasir-pasirnya
Jogjakarta, 06

Semakin Jauh Kita Daki
sisa matahari menyala di pundak pohon siwalan dan pohon merdu
di sekujur jubahmu semua membersit hijau
menjadi alur sendu atau batu
segalanya memang tiada tapi kata
bagi koyakan keringat rindu
barang kali agar kita senantiasa mendaki dan berwaktu
memikat janji dan mimpi, biarlah matahari melupakan kalam juga sunyi
asalkan kita setia memisau
berkenan membaca mata berdebu
berapikan peluh di wajah pipi dan cakaran matahari
semakin berdarah kita daki
semakin teduh dan subur darahmu
untuk mengukir atau terbakar
Jogjakarta 06
Batu Yang Tengadah
kereta berlaju melintasi larut malam
pinggiran malioboro
tumpukan rokok menyebutmu
dekat batu yang tengadah malu
malam bergetar bening segurat lampu
sebelum tiba minggu sebelum ada embun
teresap senyum purnama
dan di balik tirai sepasang mata
sebait air mata
setenar ruh bintang
menetes di rahimmu
Jogjakarta, 06









Pendaki Ranjang Sampah
aku orang lapar yang kenyang menemaniku
lewat desau luluh malam itu
lapar…..!
karena aku pendaki ranjang sampah
sendiri aku bulan hujan di peradaban nilam
risik perut menampi jagung di akasia yang patah
lengkingan seruling dalam perut
menyibak aliran darah melupakan malam yang larut
sejentik kelaparan menyicip lubang-lubang lancip di dadaku
meluap saraf perut menari oleh pekaian yang usang
patah tulang
patah waktu
ku belajar bersamamu lewat lintasan-lintasan makna
malam basah kujentali berat di wajahmu
begitu berat jentilan lapar menimpaku
laksana langit tak berbintang
aku tak paham malam yang begitu indah sunyi dari tembang
sunyi dari debu
malam dengan lilit mulut bergumam
angin memisau langit gemetar
sentuhan lapar mengeriap harum makanan di cendana api
jagung tanpa mengeluh menengadah
yang jauh dalam kejauhan
disini di rambut kering mengundang secercah buah
yang sekedar jerih untuk kau tahu
hanya itu, ya! hanya itu saja kupinta.
Jogjakarta 07






-----Puisiku----
Bila lincah malam kian ramping
maka siapa pun akan melirik
di celah daun biru
walau di jalanan kosong begini
bertaburan linang di atas pucuk malam
Aku bingung diri
bulan kau simpan
di rahasia waktumu
Ketika seribu tanya bersemayam
hanya satu, hadirmu
mungkin hanya lewat puisi
kurangkai ayat-ayatmu
untuk mengatakan kesunyian dan kerinduan
karena malam terkungkung oleh mataku
Yogyakarta,14 Maret 2007
Dzauq I
Air mata siapakah yang mengalir menimbun luka
yang keruh itu, hingga tiap kali aku menengada
terasa ada kegetiran pada tuhan
karena setiap aku selalu menanam berkah pada langit
dari baju sejarah yang tak henti menulis derai
dengan dada yang memisau di layar bintang kejora
mengeluarkan kata yang tiap kali terlempar di siang pagi
dimana jarak antara waktu dan pucuk terus berlaju pada ketinggian malam
atau mengusung lagu dengan tangan terbuka dan amat selaksa
cinta yang aku manja begitu jauh berjalan
keraguan para pencari terus membatu
di dua pintu
kematian yang masih mahal terus bersemayam dalam linang
walau hanya segurat kertas kotor yang amat aku dambakan
Gowok, Yogya, 2007








Dzauq II
Kau ingin melempar duka pada setiap luka
kalau luka masih terus bergerimis di ladang jiwa
tak akan ada lagi kesejukan di surau jurang itu
sebab kertas tak sanggup menulis bara sejarah yang lahir di rahim malam
mungkin dedaunan tetap juga berdo’a sendiri di cakrawala kesepian
menanti getah kerinduan yang ada di atap rumah saljumu
melepaskan sang pujaan yang terdiam di jiwa
oleh suka dan kesumat cinta
lalu sipakah yang lari merajut senja di ujung cinta untuk rembulan masa lalu
melintasi musim yang terus berganti
melewati garis-garis tangan di pangkuanmu
sebelum kau sampai juga pada kesejukan
yang selalu memberimu kehausan di gelas para pencinta
Gowok, Yogya, 2007
Dzauq III
Tuhan, engkau lihat bukan?
sebelah kata yang hinggap dalam perempuan elok itu
hangat cinta yang aku pakai tiap waktu
telah luas mencipta dunia yang agung oleh cinta juga bait-bait lagu
mungkin engkau melihat aku yang sedang dalam kungkungan orang-orang itu
bergentayangan di sudut-sudut jiwa
mengusikku dalam fase-fase angin
yang hebat menyisir rambut di keelokan matamu
lalu kemana tulisan di kertas yang aku tulis pada keputian dada ini
bukankah di sana pertemuan bisa didapat bersama puisi
tersimpan dengan lagu dan musik jiwa
atau serumpun salam telah melamarmu
bersama sunyi yang tak pernah pulang
melempar gundah
barangkali aku memang lintasan waktu
yang memaksa lahir di rahim dan jiwa-jiwa sepi
namun embun yang masih bertahan di ranting
menyimpan sehelai rasa sejuk yang belum tersampaikan padaku
Gowok, Yogya, 2007







Dzauq IV
Bukankah aku sangat paham akan kematian
yang di nanti di tanah para kubur
seumpama tirai langit menghias tubuhku
aku tak lagi lari mengejar sumber sungai di hulu angin utara
hidup bagai pelayaran di tengah samudera yang penuh haluan ombak
panas kubur yang berhias lampu-lampu surga
melukis tanah kelahiran yang aku rasakan dalam tubuh bumi ini
lalu kehampaan tak terasa lagi di sungai waktu
mengalir langsung dari yang agung
linang demi linang hanya serumpun suara yang terkata pada
lembaran-lembaran masa
Gowok, Yogya, 2007
Kening Bulan
Tepi keningmu tertanam bulan
mengurat luasan samudera di ladang bengkel-bengkel
singgahan kata dan lompatan angin menjadi jalanku
menuju malam yang terisi surga
Iringan nada di tangan agungmu
bergetar lewat jalaran malam
sungai yang mengalir itu adalah bagianku
aku yang sedang tegak berdiri di tepi sana
kuayunkan bajak irama di ruang jalan abadi
Nada riang di alun-alun malam
mengusik ketenangan
saat ingatan menjadi nafas dalam sunyi
Riang waktu riang sepi
malam itu menjadi langka dalam sajak dan adaku
kini, disana, mulai tertegun aura-aura mimpi
lewat syair yang di ayunkan lidahmu
Jogjakarta, 16 Maret 2007







Perempuan Hamil Airmata
Malam telah lama pergi tapi
adakah malam yang lebih sunyi dari kepergian
saat ramai rebana di garis matahari
tangisan membanjiri pipi
karena orang yang kau sayangi telah tiada
Aku hanya sunyi dalam malam—waktu itu
elusan jiwa di surau tanpa makna –angin dengan waktu senja
dikamar samudera; aliran air mata mengisi perempuan hamil
dari arah pintu aku menoleh pada sebuah waktu
dan keramaian masih mengisi telinga semesta tapi
apakah yang terjadi bila hembusan akhir mengirimmu
pada waktu yang tak terkira?—kematian? atau kerinduan
lewat keluguan—kau tak memberi tanda pada angin yang menunggu
bagai lautan kau kirim pada gelombang haluan
airmata dipipimu membuat kau tak berkata—padahal aku tahu itu adalah jalan agar kau tak lari dari pangkuan malam; malam—memang malam kau datang membawa; lewat batu yang belum aku pecah dengan ajian-ajianMu,
Maret 28, 2007
Aku Sepi Diri
Kalau kau sudah mengambil mimpi
dimana aku kau tinggal
aku tak menemukan itu; aku hanya sepi dalam diri;
sementara kau jauh di sarang rambu rambu plastik
dan sampah mengaji;
Air yang mengalir di dada; mengikuti arus jalan;
sampai mimpi itu menjadi karya yang agung;
menemani hidangan di hari ulang tahunmu
Sungguh aku suka sungai; untuk menulis di kertas bening
bila kau alirkan pada gelas kosong di pelupuk matamu yang buta
Aku sepi diri dalam tepi matamu
ranjang kukira awan yang mengelilingi samudera ke samudera
padahal itu lawan di ladang pintu waktu; yang lama aku siram
dengan pandangan atau iringan airmata
Jogjakarta, 29 Maret 2007

Kesendirin
Langkah makna
yang jauh dalam sungai nil itu
mengapa sinar kau belum kujangkau oleh hati ini
padahal ini adalah laksana
yang muncul sejak sajakku
mulai layu di wajah lembutmu
Aku sendiri
aku api menjalar
aku sungai mengalir
aku sengsara mengais-ngais
tapi aku adalah tangisan
di pundak agungmu
saat ku lihat kesepian
Jogjakarta, 2007
Sepasang Wanita dalam Beku
Keraguan awan dalam malam sepi
ombak jiwa terasa rindu akan lagu sendu
batu karang adalah sepasang wanita dalam malam beku
kain kafan mungkin layu atau lesu
Perempuan batu yang aku rindu
lari menerawang cakrawala
di singgasana tahta keelokan
lalu kapan emas menghias wajahmu
yang lama tak disapu oleh senjakala waktu
Jogjakarta, 10 Maret 2007

Malam Berbisik
buat mbak evi
malam pun berbisik
bercerita bocah asongan
(lalu sunyi hanya diam dalam rasa)
malam pun berbisik
pada rembulan terang
langit bisu
bergabunglah padaku
bergabunglah
agar sunyi terlepas
hilang di dalamku
sunyi
dekaplah aku
dekaplah aku
lalu sunyi hanya diam dalam rasa
Jogjakarta, 2007
Pembidik Peluh
membidik peluh
aku akan menjadi apa saja
untukmu
Jogjakarta, 02 April 2007
Aku Melihat
aku melihat wajah kosmos bersorak
bumi gunung, bunga-bunga
bertebaran dari langit
angin memerbak dan aku
lagi bersuka ria
Jogjakarta, 2007







Dimana Jalanku
sulam debu
menyinariku
helai rambut di neraka
berjalan kaki
cahaya di sana
aku rindu
linang
tubuh-tubuh berdahaga
denyut nadi
tangis
gemuruh
melintang ketinggian malam
embun bunga
menatap tajam
Jogjakarta, 06-07
Taman Indah
kelor nikmat mempesona
aku tembus derang malam
dengan kebisuan atau airmata
Jogjakarta, 07
Bunga Derita
bunga derita
bagai ibu dulu
mengulangi sejarah
kaki berpijak
memukau dalam bingkai aura-auara
pada akhir kepiluan
Jogjakarta, 07





Keterseduhan
sinar langit jauh
berkeringat do'a
di semesta lain
yang tak kumengerti
silau jiwa yang tak henti
pada pelupuk mata yang mati
dan tak tercapai harum-harum
adalah keterseduhan
Jogjakarta, 07
Rindu Tak Bertepi
rindu tak bertepi
bergerak dalam-dalam
benarkah rindu
gurau awan hitam?
hingga hatur sapa di mana-mana
mengatur sebuah raksa yang gesang
Jogjakarta, 07
Pasir Cinta
malam apakah yang membuat kau takut akan sunyi
padahal itu tanda aku ada dalam dirimu
seperti apakah cinta?
sehalus pasir di mata
jika engkau tahu
Jogjakarta, 06 April 2007










dimatamu
dimatamu
aku menaruh sekeping makna
melahap rumah-rumah
melahap ladang-ladang
melahap semesta
pulau-pulau
keyakinan
harga diri
melahap semua
dimatamu
aku menaruh keping jiwa
lantas tertanam lagi di matamu
Jogjakara, 2007
Kata ke Kata
kata ke kata
aku pecah
mata melahap bentuk semut
semut yang berkata
dalam kata sastra
mencium semerbak tinta
mengais-ngais ruang
di pelupuk mata kata
semut kedua datang
"aku telah datang"
lihat pendaran kumismu
mengusik
lalu ia menyuruhku
berdiri di celah batu besar
berteduh
di haribaanmu
Jogjakarta, 2007






Sebelum Engkau Melihatku
sebelum engkau melihatku
tak ada semak yang tumbuh
sebab tuhan belum turun
membasahi bumi
tapi kabut itu naik
hingga membentuk awan
dan menghembuskan nafas
di hati
menjadi besar jumlahnya
angin besar membela dada dan bukit-bukit batu
datanglah bunyi angin sepoi biasa
aku dengar kututup muka
dengan jubah
Jogjakarta, 2007
Siapa yang Tahu
siapa yang tahu
saat tuhan melepaskan aku
menerawang langit tertinggi
jika engkau tahu
Jogjakarta, 2007
Perjalanan di Cadas Langit
perjalanan di cadas-cadas langit
menyapa bintang patah
karena kukutuk
angin yang tak kuasa
melambaikan daun blarak
sungguh jalan amat jauh
bila gerak tangan
kau lantunkan pada langit itu
Jogjakarta, 06-07



Sampah Mengaji
aku menunggu suaramu
di sudut langit biru
langit keringat dengan laparnya
singgah jiwa
menjilat sisa-sisa
aku bersarang lautan
dalam kobaran
sampah mengaji
Jogjakarta, 07
Jalan Daun, Jalan Kaki
jalan daun
jalan kaki
pada angin datang
terurai
jatuh dengan biasa
singgah pada datar malam
antara daun dan jalan
selalu beriringan
selalu berayat
di atas lembaran tanah
Jogjakarta, 07













Tangis Makna
tangis makna dalam malam
di hariba bunga
aku huruf demi huruf
tergambar bayang-bayang
tangismu sejuk
membasuh tangan kotor
kiranya
cantik telah turun
menyinari tangis makna
di angin malam
Jogjakarta, 07
Tanah Sempurna
kepak sayap
pada hari pagi
di segala tanah yang sempurna
di ladang diam yang sempurna
aku menggali sari-sari rasa
orang-orang
bercangkul-berbajak
pada bunga yang baru terbit
matahari, bulan
orang menikmati saja
walau keringat sekan telah banjir
mengisi ruang-ruang kosong
Jogjakarta, 07

di Bawah Merunduk
di bawah aku merunduk
pada sayup dan do'a
siapa sangka
kobaran yang sederhana
dapat membanjiri semesta
aku yakin saja
serintis ayat bagai bahtera padaku
nyaris dalam puisi
dan layar kitab-kitab
Jogjakarta, 07
Bentang Altar
aku berlayar kasih
ombak pasir
bentang altar
ikan-ikan cumbu
gunung pijar
di piring semesta
yang dampar di tepi cinta
Jogjakarta, 06-07
Aku Menemukan Laut dalam Diri
aku menemukan laut dalam diri
dan dirimu dalam diri
saat sinar ciumi bunga
gelas kosong aku punyak
kuminum di bawah langit
cahaya terang
hidup pun laksana malam
Jogjakarta, 07





Linang Matahari
linang matahari
mungkin itu harapan
tersua di rembah-rembah luka
bayang melesat
denyut nadi
bagai peluh di pundakmu
getah batu
telah kau bakar
dengan bara energimu
di deras cucur
laut hampar
luka dan tawa
menjelma rawa-rawa
Jogjakarta, 07
Derai Nyala Api
taman di dada
bukan sekedar pesona tapi
derai nyala api
ghisyawa kau batu
derang malam tak padang
di sini
kata-kata
dingin atau es aku basah
hanya nama
kau buka pintu jiwa
Jogjakarta, 07

Suara Malam
suara malam mengalir
ngisi sunyi tapi
bibir ombak terus bergeming
rembulan mulai melangkah
bawa ayat-ayat
bawa cangkul-cangkul
daun-daun
di kawah para bara api
kata di angkasa
terlempar pada semak-semak suara
yang manis
debu halus masuk
bernyanyi-nyanyi
berkali kata
berkali ucap
hanya namamu
Jogjakarta, 07
Tangis yang Terendam
tangis yang terendam
di tepi-tepi matahari
pada gerimis awan hujan
kueja pelan
keringat kau jadi tinta
menulis lembar daun
oleh derai hati atau
urai tangis
aku rangkai semua itu
agar hati teringat aku
melihat kicau yang masih asik
Jogjakarta, 07

berbaju peluh
menjelang siang
kulihat deras peluh matahari
bersandar hingga malam
para petani dielu-elukan
buat petani, jika malam tidak ada
sementara di balik kata sihirmu
menanti, kematian
hanya anak merasa bimbang
memamirkan karya
yang disana akan singgah pada diri
aku hanya ingin menangis
sepi tanpa merasa sendirian
yogyakarta, 2007
di kampung
menjelang malam
di kampung ini kita tahu
apa yang kau lakukan
pada kampung tak bergerak
dari duduknya
cerita berhenti dikeheningan
kita akan sampai pada kepulangan
kita yang tegas
kita yang jelas
kita yang lewat
laksana kau mendekap
suasana batinku
di sini kita bisa melihat harapan
cinta bikin kita menari
ketika matahari naik pada tinggi malam
dan mata yang jernih
yogyakarta, 2007

kau hilang di lebat ilalang
ada yang hilang di mataku
mulai meraba perjalanan masa
mungkin silau, atau apa saja
mungkin engkau dan kebencianmu
ladangku serumpun kosong
saat di tepi malam yang menjelang subuh
mencari, aku memanggilmu
malam itu tenggelam dalam mimpi
kau sesat dengan bunga dalam jiwamu
21 tahun ini tak ada yang aku temukan
hanya kejauhan dan waktu yang semakin rapuh
malam ini, kau hilang di lebat ilalang
kita tak ada, semuanya sama
ilalang saja lebih baik dari kita
yogyakarta, 2007
sebuah hati menjelang subuh
ketika memandang sebuah pohon
aku ingin mengajakmu
meramu rasa gila ini
mengisi dada, sedetik waktu itu
lalu datang tak pulang
cuma sehelai kata, rak-rak buku
beberapa puisi panjang
sepenggal syair yang terdampar
di halaman mata
siapa? paling hanya titik-titik air
di subuh pagi
sapi jantan dan rindu yang biasa
yogyakarta, 2007

Kala Surgamu Masih Ada
Guz Zainal
Permainan angin
mengalir air muka
menyesal pun terasa
pada malam yang tak kunjung sedih
Gubahan alam dan matahari
pada tempat
dua dengus langit menyusup
pada wajah kematian kata
dalam tiap bait dan detik
nafas terakhir
Yogyakarta, 2007
Kesaksian
Ada dalam keadaan
adalah aku, cinta atau engkau
Aku masih tertanam
ada untuk diam pagi ini
Demikianlah bila aku harus ada
saat ini
dan separuh ada
adalah aku yang sedang mati
Mati dalam kematian
atau matai dalam kehidupan
Tentulah impian ada
di hati aku
pada ruang dan waktu
bahkan adaku tidak ada
adaku tetap ada dalam aku
Kampung Anyar 2007

Matahari
Telah Kubakar Kerinduan
Menyapa butir-butir waktu
pecahan terhapus harpa
pada lukisan yang belum padam
Kemesraan indahmu
Benaung pada langit kusam
Di lidahmu yang lembut
Kampung Anyar 2007
Mataku Matamu
Meradang pada musik asyik
antara cinta dan kemauan
Pandangan yang melengkung
melahirkan bintik keibuan
di atas goyangan tubuh lembut
kubiarkan hujan tak lagi musim
Bunga di dekatku
melantunkan puisi ilahi mesra
di tengah lenturan derita
Aku tetap melihat
Walau di balik atap langit
Kampung Anyar 2007

Luka Siang
bila cinta terluka, kau tamba jendeka di mata, pada tepi dan tangan,
kulihat wajahmu tersorak, burung di ranting kering, mengisi luka-luka siang,
dengan cerita air mata, dari kegelapan langit, nampak bintang main mata,
di atas pandangan, kau rengut sengkarut daun melambai,
mengundang padamu, lihatlah…...
Luka siang, barangkali tak menegurmu, saat waktu merampas rasa,
dalam bising angin yang membiuskan hari, daun menjadi kering,
nampak kerontang, menata retak-retak pembawa laskar bajana,
Di depan mataku, segala duka terisak, dan kenang merumpun kuning,
sedikit ke depan sebuah rektor dengan bunga dan parkir kecil
membungkusku pada seorang perempuan, dia melukai siang,
sebelum sempat aku obati,
Kala itu kutunggu kabar angin, yang menderu di puncak cadas pinus,
di kirim pelita ringkik untukmu, cinta atau pencinta merintih kini,
siang itu masih memanggil darah itu, seorang pencinta siang itu,
di kejauhan beberapa orang pulang,
Sedang ia masih menunggu dia datang, pergantian waktu hampir bisu,
sesuatu yang mengingatkan pada patung lama, tak terganti bersemayamnya di dada,
Pandangan ke atas, membuka kenang, aku memusiumkan kesejukan
dan cinta dapat di kata mati, ia cahaya waktu yang bersama para rasa,
menjelma sinar, kelukaan, dia terbaring lagi di pelupuk asal beku,
lantaran tanganku sesemu ingatan Desember yang gembira,
Di bawah luka dan perawan matahari, karena segalanya sama,
Tanah gersang ini, aku yang jauh akan kembali
di sambut nenek dan bocah-bocah yang turut memandang ke sudut jiwa sembari Tanya,
"nek siapa nama asli cinta itu, kapan dia terluka?"
Yogyakarta 2007



Luka Waktu
Lagu langit sudah mati, pertemuan hanya pertemuan,
surat dan do’a terbungkus dalam kereta, tembang tengah yang disuguhkan
sudah mati kehausan, hujang siang, barang kali angin, di depan mata telah retak,
lagu sutra, sejak apa? Penantian menunggu kabar dari negeri kapal karam,
Sepotong waktu yang terusir senja, dalam main layang saat hujan,
nyanyi luka waktu itu, terkubur di makam malam,
nyanyi di atas bunderan pada sebuah kursi yang kemarin
Dia masih di tepi waktu yang luka, menangis
luka-luka itu kemana?
Yogyakarta 2007
Luka Kata
Pada orang yang terusir masa, aku sambut kedatangamu,
pada mahkota yang di sini pada bulan sunyi, kata, lukamu, lukaku, kata,
bulan sunyi, ia melukis lima bulan berjalan, melukis menyapu sunyi,
menanam keutuhan jiwa, kini yang terluka karena waktu, sebab waktu,
Kembali dalam kelahiran, aku masih terluka,
setangkai daun dalam surat cinta telah kutulis, kapal-kapal tergulung,
menyusul para nahkoda yang membiru di dasar samudera,
di dinding luka kata, butir putih menulis huruf dan kata-kata, menagih janji,
Di dekat kata dan mimpi, setangkai kata tanpa bunga,
menelan rasa benci pada waktu dan masa yang tumbuh dan layu menjadi abu,
walau musim telah menyirami sejuta kata-kata kering,
Bagi cinta, jangan melahirkan kata yang luka, lorong waktu terus menyala,
membawa oleh-oleh dalam sejarah yang biru, orang bertikai tanpa darah-berdarah,
mendorong gerobak pada masa silam, di dasar linkarang kata, waktu,
makhluk-makhluk berdo’a menyambut datangmu kesejukan,
Auramu, berpeta garis-garis,
menuju negeri yang di bangun di dekat perbatasan luka dan kata,
Yogyakarta, 2007
Pulau Bahagia
Cinta atau kemauan…. atau ……..
Yogyakarta, 2007

rangkaian makna
adaku melengkung
pada bunga yang meratap
pada rangkai makna pagi
Sejauh cucur mengalir
bagai embun di daun
bagai rahmat
dengan santun kicau
di dahan serumpun
Bangunan matahari
kau semai desir, buat asik angin
agar kais kau selesaikan
Terik siang
peluh terukir
kaki berdebu
pada kian batas waktu lalu
yogyakarta, 06-07
mahkota yang tertinggal
rambut alam di tanah tegal
tertumpah ruah
membasahi mahkota yang tertinggal
Kutanggal hari itu
pada masa kelabu
pada angan-angan
agar terjemput pelangi bisu
Rangkaian hidup
pada pahit
pada tangan-tangan surya
tersemai pelu para bara
Ladang yang aku tempati
yang aku maknai
yang aku sirami
yang aku bungkus
terimah kasih pada tuhan
dalam nuansa kebisingan
yogyakarta, 2007

malam yang terbakar
kulantunkan semerbak kesejukan
untuk melayari kapal-kapal
di sana, yang kecil-kecil
yogyakarta, 2007
malam kutungu suaramu
agar membawa sehelai tangis
dari mawar yang berbaju bintang
dari kupu-kupu atau yang lain
atau apa saja
Sehelai telah kuselesaikan
tertuang dalam wadak malam
seakan menangis, karena makna
masih berlayar di luasan sana
yogyakarta, 2007
malam kasihmu
aku naik kapal kecil, di sana,
ada ikan-ikan
ada piring cinta
ada apa atau yang lain
yogyakarta, 2007
malam langit terpecah
tiang-tiang telah layu
menusuk bumi ini
Sayap langit tak lagi ada
karena kaki dan apimu
telah lenyap oleh ridha
yogyakarta, 2007

sungai dalam diri
aku mandi
bersama rasa dan cahaya juga cinta
Aku mandi, karena aku kosong dan kotor
dan hujan selalu datang
di telan tanah basah
Bila air telah jernih
hitam putih bersinar
bagai kehidupan
yang berliputan darah
aku tetap sungai yang selalu mengalir
membasahi dirimu
yogyakarta, 2007
Kehampaan Waktu
sejenak waktu aku lintasi
bayang-bayang kelabu
di ruang hampa yang tak terbaca
Di ruang tanpa kata
aku bertanya pada wajahku
bertanya tentang lampu
tentang dirinya yang tak tahu
menangislah bila wajahmu tak ada
Sejenak rasa kuhapus
dalam malam yang kusam
agar diri yang tak dapat kulihat
menjadi cermin
untuk mencapai matahari
Rumah Kutub, 2007

Gelombang Do’a
Di samuderamu kulihat bulan berlayar
menaiki kapal-kapal kecil
menorehkan segala rasa riang seruling
bagai gelombang do’a mengalun dari lisan
Tenggorokan yang berisi huruf
berayun lambat mengisi ruang
mencari makna yang terselip di pojok-pojok waktu
Rumpun getir
terlahir dari kulit api
menguras sendu dan nyawa
dari alat kekosongan
Rumah Puitika, 2007
Semenit Lalu Matahari Lepas
Perlahan Dari Matamu
Kepada: Sunlei Alexander
Di detik indah yang tak terbayang
layang terbang menemui malam
hingga derai tak lagi tersiram di parau siang
Ya, semenit lalu lepas matahari
perlahan dari matamu
cahaya menurun ke pagi
singgah dalam lamunan panjang
pada gerimis yang rapuh
Perempuan itu kau pandangi
sebagai noktah
yang di nisbatkan sebagai waktu
Dapatkah kau
selesaikan desah nafas perjalanan
di tengah rintangan nada
yang menjalar dihalamanmu
Aku hanya menangis air muka
untuk merangkai kekosongan haruf
yang mungkin kau sembunyikan
dalam muara lautan
Rumah Kutub, 2007
Tentang Lautan
Dua malam bersama Guswaidi Syafi’ie
Di lautan aku melihat senyum
mengalir ketelinga hanya ingin
mengucapkan "cinta"
Pagi kau suruh aku tanam pohon
pada lautanmu
bergema dalam musim dingin
Sukma rindang kering
kau suruh siram dengan lautanmu
hingga mimpi-mimpi beterbangan
melintasi cakrawala yang steril
Kau suruh aku puasa
pada malam ramai dalam diam
kupilih sepi kau ajak aku tenang
kupilih tawa kua ajak aku sedih, lalu
Ada apa dengan lautanku
kini dalam keadaan bergelombang
Yogyakarta, 2007
Jadi Malam
Perpisahan adalah
Kematian yang tak tersentuh tuhan
Ia hanya melihat dengan basir
Karena lelah dengan dunia
Benarkah begitu?
Adakah aku tahu?
Cabean, Yogya, 2007

Yang Terhina
Tiba-tiba suara itu mengalun lagi
Di tengah keramaian malam
Dengan hias tumbuhan diam
Kata menjadi suara
Seakan terlukis di batu-batu
Aku tak akan membuat matamu lembab
Hanya dengan dipisahkan samudera
Malam terisi carok dan lukisan tubuh
Yang diperlihatkan pada daun dan alunan musik
Aku yang sedang ada, dalam malam
Berlari menuju cahaya suram
Yogyakarta, 2007
Notasi Angka
aku berlayar di ombak pasir
bersama ikan-ikan
bertemu dalam satu jari, cinta
di gunung pijar dan piring semesta
aku terdampar di tepi cinta
di tepi ini aku menghitung huruf-huruf
pada mulut lautan yang bisu
yogyakarta, 07
laut dalam diri
dan dirimu dalam iri
menerka semerbak angin
di gelas kosong, yang tak kuminum di bawah langit
dan cahaya masih terang
bagai hidup menjumpai malam
yogyakarta, 2007

Ada yang Hilang
ada yang hilang di mataku
mungkin waktu, silau, atau apa saja
tentang kebencian dan kematian
ladangku serumpun kosong
di tepi malam yang menjelang subuh
mencari, aku memanggilmu
malam itu tenggelam dalam mimpi
kau sesat dengan bunga dalam jiwamu
tahun ini tak ada yang kutemukan
hanya kejauhan waktu yang semakin rapuh
malam ini, kau hilang di lebat ilalang
kita tak ada, semuanya sama
ilalang saja lebih baik dari kita
begitu pun kematian……..
yogyakarta, 2007
Kulai Terakhir
Panjang!
singgah dalam malam
bagai sungai yang terkulai
terdiam, hingga waktu tiada lelah menguraimu
Jembatan
pada tirai, orang banyak melintasi
menuju lemhah yang belum selesai kau eja
Rubahan waktu, rubahan langkah
hanya kata atau bahasa
yang bisa merekam ucap
pada semesta yang kau diami
Yogyakarta,2007
Kuminum Katamu
Pagi!
adalah pagi waktu dulu
menginjak sampah
menginjak orang-orang
menginjak kata-kata
menginjak dasi
menginjak semua,
Munstafa Kau Ulurkan Tanganmu
Kepada: Mustafa W Hasyim
Mustafa, kau ulurkan tanganmu
pada tangan yang belum kau singgahi
Siang kau temui di atas ramuan jamu
didepanmu aku temui peminta, tapi
adakah kau tahu bahwa akulah peminta itu,
meminta uangmu untuk kau kasih
pada siapapun
hingga aku pergi dari depanmu
kau juga belum tahu siapa aku
Diam itu kau tinggal
padahal akulah
yang harus kau buatkan rumah
agar aku tinggal di sana
bersama kawan dan lawan
Hingga sungai itu menjadi kawan
untuk melawan arus diammu
Yogyakarta, 2007
Dalam Puisiku
Dalam puisiku tumbuh bunga-bunga
sementara aku tidak melihat
seberbak harum rerumputan
yang terbang menemuimu
Jika bukan dari puisi
kata menegurku
untuk bersenandung dalam jiwa
Aku berteriak menembus langit
jika bukan karena puisiku
akan kuanggap seluruh kata
menjadi hambaku
Yogyakarta, 2007

Di Madura Aku Terkubur
Bait-bait adalah aku
yang teraduk dalam wadak waktu
bersahutan dengan anggur
hanya untuk mengenal mana-mu
andai aku tak menyebut nama-mu
dalam anggur
akan kuajak engkau mencari cinta
agar rindu menziarahi
alamat mimpi
yang terkubur dalam puisi-mu
hingga, aku melahirkan sunyi dalam kata-kata-ku
Yogyakarta, 2007
Cukup Bagiku
Cukup bagiku engkau ada
Untuk memaknai keluasan
Kuangkat hati pada mata air
Agar aku tak henti memikirkan dirimu
Matahari terbit dan terbenam
Bintang-bintang menghilang
Langit menari-nari melingkar
Aku tak pernah kembali lagi
Seperti keadaan bercahaya
Setiap pagi dan setiap malam
Turun menemui semesta
Agar hidup cinta menitik dari langit
Laksana tetes embun dari awan
Mendekap daun, sebagaimana
Malam yang sejuk mendekap bumi
Yogya, 2007

Sepasang Duka
Kubiarkan laut terlempar
pada waktu yang tak terulang lagi
pada ruang yang memukau
Tak ada lukisan
ketika matahari terlihat tenang
dan cinta membatu di langit
Kita bernaung di ketinggian kata
pohon-pohon lumpuh
mengubah semua yang saling menyapa
bagai perahu kehilangan
untuk kau suguhkan
Aku telah berlayar mengunjungimu
membagi luka pada langit
karena sabdamu telah merajut diriku
dan orang lain
Yogyakarta.
Qasidah di Balik Duka
rindu
luka bagi kematian
dalam sunyi pertemuan
Luka belum darah atau pisau
terlukis di mata
hanya ronsokan menelisik
pada jiwa-jiwa raksasa
Kini, kisah tak lagi reda
sejarah terus terisi asma-asma
Aku bertanya siang ini
seperti apa kau disana?
hingga sukma tak terukir lagi
pada kalimat klasik
Kanvas
jelas dalam saran suci
referensi-referensi beku
mitafor-mitafor debu
lalu dimanakah kamu?
hingga dada sesak oleh wajahmu
Yogyakarta
Luka Mengurai Jiwa
seperti ini
senyap hati dan waktu
malam ayat basah di keningku
bulan terasa melihat aku di sini
bersimpuh ayat keagungan
Di reroncean rapuh
trotoar basah, lantai kilat
kurangkum segala
pada hutan di lautan
menggoreskan tinta kesetiaan
pada jilbab asmaramu
Aku melihat
tapi di mana kamu
luka tiada tinggal
hanya serumpun sesak menguraimu
Yogyakarta,
Mungkin
Suatu yang tidak mungkin
Kalau merana dalam kata-kata
Kata-kata merana itu sendiri
Yogyakarta,
Ukur
Cahaya yang tak terukur
Hanya singgah dalam satu hati
Yang kosong dan sunyi
Yogyakarta
Jika Suara Terdengar di Malam Sunyi
-Tiba-tiba suara mengalun
Di kesunyian malam
Mengisi telinga semesta
Merdu menggugah
-Tetes subuh mengendap dalam semilir
Karena tak bisa kulalui sedesah nafas kematian
-Aku tak punyak hasrat semua itu
Selain bibirmu
-Tiap detik jiwaku mencari wajahmu
Karena tiada yang dapat menyembunyikanmu
Kecuali relung hatiku
-Jiwa adalah samuderaku
Kerinduan adalah lautanku
Jogjakarta, 2007
Matahariku
Itulah matahari
Yang tak terlihat mata
Mengusik
Mengoda
Membawaku
Kedalam tubuhmu
Karena matahari adalah air
Di kitabku
-Ku baca dengan mata buta penghabisan
Ayat-ayat telah halus oleh bibir-bibir jiwaku
Saat kukunya bersama namamu
Di kegelapan buta
Jogjakarta, 2007














Saat Pintu Malam Tertutup
Sebelum hati ini terbakar kebutaan
Di mana matamu tertutup
Percikan matahari
Aku tiada mengerti
Kampung apa yang kulewati
-Kapan air yang menyejukkan itu bersamaku?
-Bagaimana bisa kutahu
Lorong panjang
Yang merentang keluar
Jauh dalam kajauhan
-Tuhan
Di manakah
Jalan-jalan orang gila itu?
Agar cinta yang tak ternilai ini
Bersamaku
Jogjakarta 2007
Di Mana Aku
-Kalau setiap waktu adalah puisi
Dimana aku
Kucari aku
-Bukankah aku tidak ada
Aku hanya ada dalam cermin
Tanpa mimpi
Tanpa waktu
Tanpa cinta
Dan esok aku akan beku karena salju dalam diri
Di perapian ini
-Hatiku penuh kahampaan yang manis
Jangan masuki
Aku takut engkau sesak nanti
Jogjakarta, 2007



Suara Semesta
Tumpahkan gelombang-gelombang baru dijiwaku
Adalah palung terdalam
Saat sedikit kata dan lagu
Atau segurat jejak dari dunia
Belum terlukis
-Di balik tak berpenghuni aku tinggal
Namun dunia senantiasa pulas
Walau tiada malam
Kau nyanyikan keinginan hati
Dalam setiap arti yang rumit
Melalui suara malam
Jogjakarta, 2007
Puisi yang Terpendam
Puisi yang terpendam
Di balik kata-kata bumi
Kutunggu di perapian ini
Binar bagai mata
-Samudera luas
Kukirim lewat angin
Menuai imaji malam
Bersama puasa-puasa do’a
-Lantunan tembang-tembang kuraba
Syair-syair mengisi semesta
Terkumpul, mengenangi hutan-hutan kosong
Di rahim ibu
-Di lautan sana
Kapal-kapal minum air laut
Melihat cakrawala
Menuju tepian kali
-Sementara singgasana di pundakmu
Tak lupa aku sapa
Dan aku lukai
Oleh keruncingan bambu
Yang beterbangan
Di suaka malam yang tak berpenghuni
Yogyakarta 2007
Ada Kabut-Kabut Dihadapanmu
-Antara rasa dan bahasa berdampingan
-Hati yang malu
Ada kabut-kabut dihadapanmu
Dari puncak cahaya yang terang
Menerangi
-Cinta terang menuju sejati
Kata-kata menuju abadi
Dan segalanya akan siang
-Aku bertanya tentang dunia
Tentang lekat-lekatan getah
Bahwa aku hidup, katanya
Adanya batu, aliran air sungai, dan gumpalan tanah
-Engkau membagi dengan sederhana
Di atas daun atau diatas ranting yang usang
Lalu engkau pergi
Matahari bangun dari tidur
Dengan mata terbelalak
-Indahnya pohon-pohon
Daun lebat
Di tengah sudut-sudut kota
Akar meraba tanah
Makan atau minum
-Hening malam melihatmu
Dalam rindu
Dan rabahan angin lembut
Di selok-selok waktu
Jogjakarta, 2007

Waktu
Kata-kata ini
Kusuguhkan pada waktu
Yang telah lama hilang
Carilah aku
-Engkau akan dapat
Melihat aku
Dari balik gunung-gunung
-Sesuatu bukan sekedar berpuisi
Melainkan kerinduan kata
Yang tidur dalam jiwa
-Cinta adalah kerinduan yang mengalir
Dia atas pasir-pasirnya
Di atas batu-batu
Tapi telah terukir semuanya di jiwa
Saat sekian waktu
Telah lama tenggelam
Menuai rebah dalam malam
Lalu pertemuan selanjutnya bukanlah di bulan
Melainkan di mata
Jogjakarta, 2007

Ku Lukis Di Mata Saja
Malam yang di hutan
Menebarkan aroma lampu
Menebarkan aroma jalaran air mata
-Tengah malam
Kulukis di mata saja
Karena jiwa ini tak bisa merabamu
Melihat saja
Di haluan pandang gejora
-Malam-malam telah malam
Melewati waktu batas
Sepasang kakimu
Tak menemukan luka
Tak menemukan susa
Tak menemukan rasa
-Dangdutan terasa mesra di dadamu
Melukai kelembutan malam
Mengisi singgasana bumi
Di raut wajah elokmu
-Tak terasa lukisan mata
Melempar rata
Tergirai di tampian manik-manik bulan
Jogjakarta, 20 Januarai 2007


Elegi Pertemuan
Pertemuan kau—aku
antara sampah dan matahari
di singgasana hikmah keabadian
berjalan di jembatan surgamu
Bumi aku pijak
oleh kaki tak bermata
kau kasih aku surga
sementara aku tak tahu kunci pintumu
Merah sage mungkin salah
dalam kelana langkah
namun kau minum di trotoar
hingga aku—kau mesra oleh kelembaban
Jogjakarta, 2007
Agustus yang Merisaukan
Kala kau memanggil namaku
jiwa ini tertanam dirimu
dalam diriku
Dimana kau—aku
berjalan bersama
melewati jejak burung singgah
Menjanjikan agustus di bulan
tertanam masakan panen
darat dan darah sang petani
Banyak hujan, risau dirimu
karena kakak dari hatimu jauh di cakrawala kebiruan
Jogjakarta, 2006-2007

Terik Matahari Kosong
Terik matahari kosong
atap pun hangat bening-bening cermin
hutan di dada merayu sendu
senyum pun merayu
rancak-rancak kemesraan
Di tengah gulatan jiwa
ranum mesra teriris masa
bibir-bibir rusa
kata-kata pun resah
jamjam merana dalam siang keagungan
Kelana tangan merobek tatanan rumput semu
pengembaraan pandang pada sepasang mata menggoda
hingga mulut ini beku oleh ayat kemesraan
Jogjakarta, 2007
Kerinduan Syakal
------seorang pencinta-----
Cinta, asma cinta
ladang cinta
satu = satu
"aku matahari"
Kata memisau
kerinduan syakal
memukau ayat malam
kalbu bergetah
batu teriris air menetes
Wajah dalam jilbab tuhan
berserakan kunang-kunang salju
tubuh-tubuh waktu
debu-debu beterbangan
Hikmah keabadian
menyusup di jiwa
melukai sarang-sarang raja
di istana yang singgah
satu pintu demi masa
yang tak pernah terurai
Syakal-syakal kuharap
tangannya menulis aura
dalam cinta
bukan dari cermin
Jogjakarta 2007

-----Sarang
Aku betapa dekat dengan mata
berakar di sana
melihat
dalam diriku dan dirimu
matahari adalah aku
sedang cinta merana dalam luka tuhan yang semu
Aku tidak pernah lepas
membuat tiap debu yang menetupi
antara lihatan-lihatan mataku
Aku tak ingin melihat separuh
jika engkau bertanya
"bagaimana kamu" tapi
bila engkau berdiri
seakan ada—ku
adalah rasa di sepi ruang tamumu
Jogjakarta 2007

Jalaran Palung Hutan
Jalan waktu memisau
Derai dada di hati mengulas samuderamu
Pergantian gemetar oleh ketiadaan
Jalaran palung dalam hutan ini
Tak ada yang melihat halus lebur
-Aku tak ingat
Menggiring sepucuk kata dan serumpun do’a
Lewat kapal yang karib dengan daun malam renta
Menelusup ringan mesra
Menyicipi kata basah airmata
-Kukirim tampian hati
Yang surut di tengah malam
Menyusur gempur sajakku
Atau mengulas sunyi dan bisik rayu mesra
Di jiwa kau membersit sesak yang kutak mengerti, apa itu?
-Aku
Bermalam dalam waktu
Aku terlambat melihat hadirmu
Karena yang ada hanya dirimu
Dalam diriku
Jogjakarta 01 Januari 07
Denyut Hutan
Malam mungil dalam jiwaku terbang ke tepi
Berdenyut hutan di dada
Di ketinggian lampu, aku ditepian mengorai
Mengumpulkan bening kejentilan
Guguran batu di hunus musim
Ku tulis diam-diam dalam sunyi malam
Ku catat rintihan paling getah
Jogja 07

Sejentik Keheningan
Sejentik keheningan mengalir airmata
Lidah dengan ayat malam
Pernah kunyicipi geletar paha basah
Saat kalelawar bergumam
Angin merucing bulan gemetar
Oleh sentuhan abadi mengeriap harum cendana
-Takkan kupaham api sunyi duri birahi
Saat rambut basah mengandung secercah sungai
Kukirim sekedar surat agar jerih menuai telambut siwalan
Muara angin dan rumpun pandan mengisik jagung
Tanpa mengeluh merunduk
-Pakaian kutolak dusta
Mengalir dari air mata
Meruap kawasan debu
Dan perih anak malam merunduk di rumput
-Desau usang kemarau datang saat tubuh lunglai
Pulanglah! Biarlah aku mandi di pancuran bibirmu
Kau dekap! Setia waktu ketika tubuhmu lembut
-Malam gagah aku menari diundakan jalanmu
Mengerut langit dan bayang-bayang do’a
Sesekali ayam mengigau desau pilu
Dengan kukuh-kukuh wajahku kau sebar
Karena kata di perutku hilang ingatan
-Sendiri bulan hujan risiknya kaku serupa bajak
Bigar bertekuk lutut berlebihan larut harum tanah
Di sela akasia yang patah
Karena banyak syair dan tembang bagai malam bisu
Lama lapar perut menari lengkingan seruling kibarkan lusuh kampung
Menyibak kain palsu
Melupakan malam yang malam
Telah membuah gemetar
Dalam tarik nafas yang tak bosan-bosan
Di gelitik kebebasan jiwa manamu
Jogja 06

Seharum Silawan Basah
Kejentilan hati yang ragu
Menggelayut beradaban usang
Sendiri dada turun hujan
Raba mendaki oleh diri
-Tak kupaham sesuatu mengenangi jiwaku
Desau kurasa di balik kebutaan?
Cinta kugisik seharum siwalan basah
-Aku lupakan itu semua
Berjalan bersama kelana
Memaknai kata malammu
Yang beterbangan di salib jubahmu
Di tirai wajahmu
Kurasa penah merasa walau dengan secicip
Jogja 07
Kau Penyair Kau Harus Gila
Kau menyuruhku gila
Saat aku rapi dalam kesucian
Malam mungkin tertawa
Saat engkau berkata padaku
"kau penyair kau harus gila" haruskah?
-Kujawab dengan puisi
Lewat sabda hutan yang mulai hangus oleh api
Membakar segala hampa
Mencipta seluruh rasa
Mengukir semua cipta
Itu hanya aku yang tahu
-Kau tak mengerti awal sesuatu
Merucingnya sebuah sajak
Saat ini banyak orang gila
Tapi apa gila itu?
-Lalu diamana gila yang sebenarnya
Yang merangkum makna
Dibalik penantian ini
Jogja 7 Januari 2007
Sajak Perjalanan
Seusai jalan kelana
Kau cari manik-manik bulan
Di runcing duri yang terang
Hutan dusta di kelam malam
Dimana kau sabdakan do’a palsu
Di tampian jagung yang risik oleh dawai biola
-Ketiadaan hutan
Mengeriap, merucing, memisau
Saat sedesah jiwa telanjang
Kalung ibu mengukir leherku
Lewat senja yang mulai ada
Di ketinggian musim hujan
-Sungai mengalir
Di pundak peluhmu
Bahagia mengantarkan engkau
Kedalam rahim malam
Yang tak terjamah tangan-tangan berkuman
-Pagi kusapa
Lewat denyut nadi para pujangga
mengalir,
Saat pena bergumam
Sekian waktu kian layu
Sekian khayal kian salju
-Segurat tembang kusuguhkan
Higaran dada
Bening kilau matahari
Bajuhi pipi-pipi mesra
-Tak lama
Bila jenjang masa
terlihat
Kobaran baja besi
-Tak terasa
Sebanjir semesta
Sebanjir rasa
Takluk bersimpuh di tepi

-Merunduk
Sembahyang rumputan
Sembahyang tumbuhan
mengingau
Di ketajaman pisau
-Aku ingin tahu
Kobaran yang sederhana
Bisa membanjiri semesta
Yang sederhana ya! Sederhana, sangat sederhana
Melukis, mengukir
Di atas pasir-pasir
-Bulan aku bicara
tenang
lagi merana
-Guguran dedaunan
Aku ada di tong sampah
Mencair, melihat mesra
-Waktu, masa, lautan atau hutan
Berjalan sudah
Berlama-lama
Aku menunggu ya! Aku menunggu
-Desah pisau
Desah memisau
Sudah lama aku jalani
-Jika siang aku turun menemui pelabuhan sentosa
Dan kapal-kapal yang beterbangan terbuka
Merataplah aku dipelupuk mata
Aku berjalan mengembara sendiri
Sementara sahabatku di balik gunung-gunung itu
Lebih suka bermain dan tidur
-Matahari, waktu, bulan atau malam
Bersajak padaku tentang bintang-gemintang
Angin yang berisak risau
Tentang pulau yang berkelana dengan nasibnya
Dan aku menuliskan kata-kata dan aksara-aksara
Atau sejarah yang terangkum dalam mata
Ialah pulau yang menjadi impianku
-Tiap tangga yang membawaku
Menghubungkan aku dengan cakrawala
Kapal-kapal
Kami telah datang dengan aku
Menunggu pena dan kebosanan sial
Sementara aku lebih suka mengembara bersama kelana
-Aku mulai panjatkan daging-daging do’a
Dan ceritaku tentang perjalanan
Kemenangan tangga ke tangga kelana lain
-Ada bening
Rambut kusam ada bening
Mata buta ada bening
Kaki dosa ada bening
Dada risau ada bening
Segalanya ada bening
Akan sirna gulita dalam jiwa
Yogyakarta, 2007
Idil Sungai Sumber
Laksana malam
yang tiada lelah
kau siramkan tahun-tahun
Kau rela tubuhmu diminum
mengalir dalam waktu
Walau langit tak lagi tersenyum
kau tetap menebarkan kerelaan
di tengah kegersangan semesta
Orang sekitar berbondong
untuk meminumnya
sudah seribu tahun lebih
kau tak henti-henti mengalir, sungguh kau
adalah sumber segala rasa bagiku
Songai Somber, 2007

Senja Tak Terpakai
Di balik senja yang tak kupakai
kutipan kata menabrak waktu
hingga malam tak bisa kubawa
Sinar bintang
yang di pantul dedaunan
lupa aku berikan
untuk dihaturkan pada bunga di laut sana
Kipasan kertas
kubuang pelan-pelan
agar tangan tak tertusuk duri
bila angin senja bermain diri
Kelopak senja
di tubuh yang melengkung
aku mandi bersama waktu
dan suci dalam halaman jiwa
akhirnya kematian senja tak terpakai
oleh tubuh hampa
Yogyakarta,2007
Pohon Randu
Untuk siapa darah kau perkenalkan
sebelum sampah kecilmu
melayari luas samudera
Walau kau menunggu di bawah pohon randu
menanti tuhan bernyanyi
kau takkan menemukan hujan musim panas
Kalau kau ingin melihat hidup
lihatlah tangan-tangan mereka
dia menunggu suaramu
yang jatuh di tepi malam
Kalau tiada melihat
kepada siapa darah kau alirkan
kalau tidak pada pohon randu
Yogyakarta, 2007

Lembah
Kota kami tak lagi lembab
banyak sampah besar yang mengaruk
aku tersisih dalam lembah kekeringan
Kebingungan tak usah kau cari
dia ada dalam diri dan matahari
derita banyak terkata
lewat kabar mata dan siksa
Adakah suara yang bisa kau sumbangkan
pada siraman air; aku tunggu
sebelum kau masuk pintu malam
Aku tunggu di bawah pohon peminta
singgahan kata aku lantunkan pada bunga
agar kering itu menjadi pelan dalam lembab
Yogyakarta, 2007
Kata tanpa Kata
Betapa sangat lelah
bila kata-kata tanpa kata
berkalut bayang-banyang
Yogyakarta, 2007
Dalam dua Malam
Dalam dua malam; aku pasang jaring
di tengah lautan sunyi
agar ikan-ikan terjepit
karena aku mau makan
tiada lauk yang menemani
Selalu kulukis bayang
di atas jaring putih, tapi
polpoin yang aku pegang
tak jua menangis
Lalu, tangis itu
bersemayam dalam jiwaku
Yogyakarta, 2007

Saksi Kesunyian
Banyak waktu sudah menunggu
di kesunyian cakrawala
pada "semesta"
kulipat tali rapia, ke bunga
Sejenak rasa telah ku bakar
bersama api yang lembut
hinggap di aura kusut matamu
Keselarasan kata
di malam rapuh
kubuka segala duka
pada halaman mata yang kusam
Kupikir diam-diam
di kelambatan jiwa
antara jarak yang tak bisa aku raba
Kini kesunyian membeku
menghias tanah lingsut
membuka keluasan makna yang tak terbuka
Lalu apa yang harus aku baca?
Setelah semua berjalan di luar waktu
Sepi
Kosong, kekosongan
Yogyakarta, 2007

Tarian Debu
Yang tak kubaca adalah huruf
membuat kata terselip
di lumpur menganga
Kuharap laut memeluk
saat kalelawar menghirup sari matahari
untuk tidur di siang hari
Kesumat silau pada sepi
kupanggil perempuan
menatap bentik-bintik kehidupan
agar sungai yang mengalir
kembali membuang sisa jalan
Kipasan air yang menangis
tak jua kembali
untuk mengambil debu
yang telah lama terbawa angin
Yogyakarta, 2007
Lautan Sunyi
Bila debu disandarkan ke sunyi
pada tiap kata yang sama
pada tiap kata yang terbungkus
aku melihat matahari
di antara jurang
aku dan engkau
inikah lukisan laut
yang menebar puisi?
Yogyakarta, 2007

Jadi Angin
Suatu yang tidak mungkin
kalau kita merana dalam kata-kata
Bila kuciptakan matahari
kutemukan kelembutan bulan
Bila kuciptakan kebenaran
kutemukan kebingungan
Di rumpun matahari jiwaku tumbuh
bagai jiwa tiada kuat menahan tubuh
karena terlalu…..?
Bagai tubuh yang lapar
tiada kuat menahan jiwa
karena bila berjalan di kekosongan
aku tak menemukan luka
Yogyakarta, 2007
Idil Gunung Gadding
Di atas pucuk lidahmu
bertebaran batu-batu hitam retak
Tulisan manja mewarnai tubuhmu
kilasan langit tak pernah kau lupa
orang di sekitarmu
mengitari keelokan nada
akupun mendengarkan dari jauh
Gunung Gadding, 2007

Sebuah Ramadhan, Kurayakan
mungkin suara itu cuma bayu semilir
yang ingin bebas dari ikatan, ingin pulang
ke sarang, pulang kecakrawala, walau ia tahu
telah menanti serumpun ayat
tak perlu berkata lagi, kita berkalung kata kosong
dan buat ranjang sampah untuk jiwa
yang tertunda
sebenarnya apa yang kita rayakan?
hingga lelah tubuh ini, hingga letih kita oleh
harapan kosong
sesungguhnya kita hanya ingin merebut cahaya
dalam catatan sejarah, yang hanya di eja dan kita baca sendiri
Yogyakarta, 2007
Bulan Ramadhan ini
akan Kau Temukan Sebuah Lautan
di bulan ramadhan ini akan kutemukan
sebuah lautan
lalu kita pun merayakan
menjelaja makna yang terkubur
di balik tirai yang putih
siang panas
mentari terang sekali
Perjalanan masih panjang
dan mengembirakan
bagai geliat yang terbakar
dan menebar bara asapnya
ke luar sana, ke luar waktu
ruang kecil
detik-detik malam
sejarah tertidur
Pada sebuah suara
di atas semacam samudera luas
masa kecil kita bercerita
saat kita masih asyik memainkan sebuah kapal
dengan sisa air berbasah didalamnya
berlayar menuju dunia yang sejauh kita berada
sejauh kaki kita berjalan
Tidak. Di haluan ramadhan ini tak kutemukan
sebuah lautan, yang ada sebentang danau luas tak bertepi
makna berdebar bagai ombak
berdesis bagai angin
berkepak bagai kawanan kupu-kupu
dan kita berbaur
dan kita masuk di dalamnya
di dalam ramadhan ini
Yogyakarta. 2007

Sehabis Sahur
sehabis sahur tubuh terus berkurang
belum sempat buat jurang
diam-diam sudah banyak yang masuk
di jalur darah
di sela-sela daging
di bukit-bukit jiwa
di ceruk-ceruk kemenangan
di kuburan kekasih
di jurang-jurang takbir
di gua-gua ayat
di sumber kata-lata
berdesakan, sampai kehabisan sinar
sampai harus mengungsi kelaur jiwa
Yogyakarta, 2007
Di atas Meja
mungkin masih ada makanan
di sini
dulu mudah menemukan bulan dan makanan
kami di atas meja, hingga sungai kering dan melenyapkan
makanan kami
tanganku lunglai
bibir kami kering
hanya mimpi ingin makan enak
selain banyangan di antara pohon yang tak ada
menghiburku dan lelah mengenangkan baju masa lalu
yang tinggal kekosongan.
Yogyakarta, 2007

Ramadhan Menulis Puisi
ada yang mengirim takbir kepadaku
entah siapa dan pada siapa
menelusup lewat pintu malam, atau airmuka
tak terurai kata-kata
ada yang menitipkan suka lewat renyuh jiwaku
kita masih mendekap rindu yang mengaliri darah keruh
yang mengalir lewat haluan dan teriakan takbir
lalu dengus lama, kuusap keringat di jiwamu
kubawa serumpun luka yang kusut bagai daundaun layu
engkau biarkan ia menelusup, entah, lewat kemungkinan apa
atau lewat dengus lamamu, haluan itu terdengar
hingga tengah malam, jiwajiwa tetap terbuka
ada yang mengucapkan takbir manis dan segala keharuan
di jeda takbirtakbir
Yogyakarta, 2007
Perempuan Bermata Sayu
untuk Lestari
temanku penjaga pintu
tepi batas rindu dan cinta
sedang duduk meresapi sunyi, menjadikan benang
dan bermata sayu pada malam
aku ingin menemuinya, tapi bayang-bayang ini
bergelayut selubung rindu
temanku, berdiri di setiap rasa rindu
menunggu dalam dekap yang tak bertemu
ibukami berbisik tiap waktu
mendekati garis perjalanan
mampir di tiap persimpangan dan menulis
puisi dan jejak yang selalu usang
ayahkami lelaki lembut yang menggali
segala peradaban. membunuh waktu
yang senantiasa berjejak dan menghianati
kakekmoyang yang menamcapkan sekelebat kebahagiaan
aku memilih jadi penyair bagi diriku sendiri
melahirkan bayi-bayi suci di atas rumah
dan pertemuan cahaya atau mimpi
aku rindu bayi-bayi itu?
Cabean, 2007
Di Bawah Kapal
di bawah kapal
kami menelantangkan tangan
memohon pada waktu
seakan kapal itu roboh
ternyata lukisan yang tak kuharapkan
hadir membisik
untuk kukatakan pada semesta
untuk kutuliskan pada samudera
agar senantiasa mengalir
sementara kami tengada menderita
aku berharap itu menjadi tunggangan
untuk menjemputmu di seberang neraka nanti
Cabean, 2007
Sebuah Kata yang Terbakar
entah renangan waktu ke berapa aku disini
aku masih belum bisa kembali
aku masih terkurung dalam rumah asing
yang melelahkan
daun jiwaku entah kemana
ketika langkahku di gerus senja
dekatlah kesini walau hanya sebentar
dan tak perlu kutulis gemelut ini
cukup kau lihat kerena genagan malam
menganga di tengah teriakan matahari
dan rantainya terselip di rambutnya
datang dan bawalah air
pada dada remuk di injak kungkung
di sini, gerah menjadi senyum
tanpa di minta
terias oleh bedak cinta
meski ia tetap memilih
dari waktu dan cakrawala
Talun Rejoso, 2007

Kepada Batu
ketika getah mulai lepas
dari batangnya
buah apa yang kau beri
setelah matahari terbit
dan mata batu mulai
bergantungan di dada
batu itu kau harus ketahui
mungkin ia tak sadar
kalau kau masih hidup
melihat peminta-minta dan derita-derita
hingga kesunyian menyapa waktu
Yogyakarta, 2007
Pohon Malam
di bawah pohon malam
kulihat dua wajah perempuan di tepi pintu
dengan jilbab, anak kecil dan buku di tangannya
yang jatuh ke tanah
meraba kegelapan
tatap yang begitu tajam
lekat mendekap mata
merantau di seluruh ruang cakrawala
menghias daun biru yang memayungi
dalam mengikuti acara puisi dan ramai rebana
masihkah kulihat wajah itu
seteleh kami menjadi tanah? Katanya,
sementara di sana Kuswaidi Syafi’e, Evi Idawati,
Wahid Bs, Joni Ariadinata, dan Faizal Kamandobat
bertadarus musik dan puisi
masihkah kulihat wajah itu
setelah kami menjadi tanah? Katanya,
Tadarus Puisi, 2007

Nama yang Sempurna
gelakmu kulihat dari jauh
menandakan nomor Satu
yang hadir dalam mimpi
menjadi sosok yang tegak di tepi sana
kuracik seluruh kata yang bersamaku
agar segala tanda
menjadi sebuah nama yang sempurna

Sungguh Diri
sungguh memukau
bila ruang dan waktu menjadi saksi
dalam perjalanan
mungkin karena perjalan adalah waktu
yang tak bisa kulepas dari engkau
bajumu, dan krudungmu hanya sekelebat
yang tak bisa kulihat
dalam baying-banyang kelabu
Cabean, 2007
nama yang sempurna
senyum yang jauh
angka satu menandakan
kehadiran dalam mimpi
menjadi sosok yang tegak
di bibir malam
kuracik seluruh kata
yang hadir bersamaku
agar segala tanda
menjadi sebuah nama yang sempurna
sungguh memukau
bila ruang yang tenang
tak bisa kulepas dari engkau
bajumu, kerudungmu, hanya sekelebat
menyilau mata
2007
Mereka Itu
di bawah pohon malam
kulihat dua wajah perempuan
dengan jilbab, anak kecil
buku di tangan yang jatuh ke tanah
meraba kegelapan
tatap yang begitu tajam
lekat mendekap mata
merantau di seluruh cakrawala
menghias daun biru memayungiku
dalam rangka berpuisi dan ramai rebana
sementara di sana
Kuswaidi, Evi, Wahib B.S, Joni, dan Paizal
bertadarus kata-kata dan musik
masihkah kulihat mereka
setelah kami menjadi tanah?
2007

Ruang Rindu
segala rasa dan seribu cinta
datang bersama di dalam jiwa
tapi jika tanpa matahari
kita akan meraba-raba dan beruba menjadi malam
duhai Sayang! Tanpa matahari
kita telah terlelap
Samudera itu meminta
angin, gelombang, ikan-ikan dan buaya
ada cinta hanya kasih yang pasang
juga lahir sungai dan danau
namun samudera terpisah
kita berhenti ragu
sampai di sana
Kutelah sirna di dalamMu
layulah juga kegandaan
Wahai yang kudamba hari ini
saat cinta kurasa
dari tangan lembutnya
Tapi, mengapa api tetap membara
dalam cinta
Jika dia menjadi Satu
dan sadar dalam sunyi
ini karena cinta bermalam
bintang dan bulan tiada pernah pudar
tapi dengan cepat digerus oleh cinta
Jika setangkai bunga memasuki jiwaku
dari paduan jiwa dan tubuh
engkaulah lautku
jika aku berpuisi
"aku" tentang diriku
maka engkaulah yang kumaksud
Kapan itu akan terjadi
akan kubuang cinta, kubakar masa
lumatlah hati dalam terpaan cahaya
tenggelamkan rasa dalam ratapan
kata yang bermain di jiwaku
mengubahku menjadi cinta
Kini, samudera adalah samudera sendiri
Kematian karena cinta
maka semua kematian akan dimiliki
dalam tubuh ini
tanpa pucuk, cinta hadir dalam baju ragam kembara
Yogyakarta, 04, 11, 2007
Luka Siang, Terluka
bila cinta meluka, jendela di mata, pada tepi dan tangan,
wajah tersorak, burung ranting kering, mengisi luka,
hitungan air mata, dari gelap langit, bintang termain mata,
terenggut sengkarut daun mekulai,
Ia, tak menegurmu, pada waktu terampas masa,
dalam bising angin membisu, roncek kering,
nampak kerontang, menata retak batang-batang,
Di bibir mataku, berduka, hitung rumpun warna,
sedikit tertepi sebuah rektor dengan bunga dan parkir kecil
mengisakku seorang perempuan, melukai,
sebelum sempat terobati,
Kutunggu angin, menderu di puncak cadas pinus,
terkirim pelita ringkik untukmu, cinta atau tercinta merintih,
masih memanggil darah, seorang tercinta,
dikejauhan kepulangan,
Menunggu, pergantian waktu bisu,
mengenangkan patung, tak terganti bersemayamnya,
Mata ke atas, terbuka kenang, memusiumkan
dan cinta terkata mati, cahaya waktu bersama para rasa,
menjelma sinar, kelukaan, terbaring lagi di pelupuk asal,
lantaran ingatan desember bergembira,
Luka dan matahari, segala sama,
laut gersang ini, yang jauh akan kembali
tersambut nenek dan bocah bermata di sudut jiwa sembari berbibir,
"nek siapa nama asli cinta itu, kapan dia terluka?"
Yogyakarta 2007

Luka Waktu, Meluka
Langit mati, pertemuan hanya pertemuan,
surat dan do’a terbungkus kereta, tembang tengah disuguhkan
mati kehausan, hujang siang, kali angin, di tepi mata retak,
lagu sutra, sejak kenapa? Penantian kabar negeri kapal karam,
Waktu terusir tersambut senja, bermain layang,
luka waktu, terkubur malam,
di atas bunderan sebuah kursi, kemarin
Masih di tepi waktu, luka, menangis
luka-luka itu kemana?
Yogyakarta 2007
Luka Kata, Terkata
yang terusir masa, aku sambut wajahmu,
pada mahkota bola, kata, lukamu, lukaku, kata,
sunyi, melukis lima bulan, terlukis,
tertanam keutuhan, kini terluka waktu, sebab waktu,
Kelahiran masih terluka,
setangkai dalam surat cinta kutulis, kapal tergulung,
menyusul nahkoda biru di dasar kata,
luka kata, butir putih tertulis huruf dan kata, menagih janji,
Dekat kata dan mimpi, setangkai kata tanpa bunga,
menelan benci dan masa, tumbuh layu abu,
musim menyirami sejuta kata-kata kering,
Cinta, jangan lahir kata luka, lorong waktu menyala,
membawa oleh-oleh sejarah biru, bertikai tanpa darah-berdarah,
dorong gerobak masa, di dasar linkarang kata,
kita berdo’a datangmu kesejukan,
Auramu, berpeta garis-garis,
negeri di bangun dekat perbatasan antara luka dan kata,
Yogyakarta, 2007
Pulau Bahagia, Berbunga
Belum
Yogyakarta, 2007
Kincir Angin
kata yang sulit melahirkan rasa
engkau sejutu dengan lorong panjang di matamu
saat kuingin memasuki ruang kosong
dalam kata ini kutemukan lautan
berlayar menuju bijakan kaki, tapi
di haluan kata ini tak kutemukan engkau
yang ada sebuah jiwa tak berbibir
bertebar di cakrawala
berkincir seperti angin
hingga aku terjatuh didalamnya
di dalam kata-kata kita
dari bibir terbit serumpun matahari
menginjak sebutir waktu yang usang
ketika bumi masih ramai dengan kata
kita pergi berbecek-becek ke sebuah ruang
aku mengalir bersama hujan
sementara hati adalah luka
bersama mendung
Cabean,Yogyakarta, 2007
Gelombang Darah
darah,
itulah yang tergambar
di gelombang celurit emas
terserah apa katamu
tentang gelombang darah
tapi, itulah kehidupanku
juga kehidupanmu
tentu saja darah boleh mengalir
karena mengalir itu
adalah waktu
Cabean, 2007

Syair Malam
tiap kali kudengar irama itu
seakan ada yang lain alam ini
sunyi dan sepi, katanya
kaukah nyanyian tipis itu
yang membekas di dinding jiwa
ketika aku tegak
menatap kelopak langit
yang lelap kehilang malam
tak kuucap kata
sehabis musik menelisik cakrawala
senja mendekap bintang
mengucapkan cahaya
pada teriak irama
ada awan mengepul
meneriakkan tanya
Cabean, 2007
Jembatan Matahari
tangan kau lekat padaku
bisikmu membias cinta
jiwa sunyi, hatiku ingin
langit siang bermatahari
hatipun menjadi rahasia
wajahmu terpahat di matahari pagi
jiwaku mengundang rindumu
laut dalam hatimu, hutan luas dalam kata-katamu
cintapun menjadi rahasia
jari lentikmu kucium pada bunga
seakan mengundang rahasia senja
mengurai lagu semesta
tiada lagi luka, bungapun merekah
Cabean, 2007

Kataku Bersayap Sunyi
jangan kau sebut matahari
bila menampakkan wajahnya
tapi sebutlah dia……………
jangan kau sebut sukur
bila ia datang padamu
tapi sebutlah dia……
jangan kau sebut bulan
bila merekahkan senyum
tapi sebutlah dia………
jangan kau sebut tuhan
bila kau belum mendatangi
tapi sebutlah dia dalam sepi
Cabean, 2007
Lagu Siang
1/
matahari seperti tak peduli, pergi
silau membasuhi
kulihat kaki-kaki bintang berderap
menuruni perut bumi
kulihat butiran masa
seperti berjalar dari kelopak matamu
2/
begitu pelan angin tidur di awan
seperti suara perempuan di malam hari
hingga aku tak mengerti batas tidur dan kematian
Cabean, 2007

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani