Baris-baris Tanya

Sajak-sajak: Matroni el-Moezany*

Ruang Sunyi

aku sudah tertanya
"mengapa rumah ini sunyi"
kerumunan gelap
kulihat perawan kunang berkata
"aku sedang mencarimu"
memicu langkah
dandanan wajahmu

Aku terasa tetap hampa tanpa sinar
walau secercah bayang
mengelupas kata

Matahari aku rindu
pada kelopak bunga layu
di tangan lembut
kesunyianmu

Aroma yang kau kasih
membuat gelap jadi samar
dalam langkah jari-jari kaki

Kebisingan terkuak
di ruang waktu
terkulai sengkarut lugu

Di tengah rumpun cerah
aku merayu tuhan
tak terimah seongkuk kata
karena nyawa singgah di ronggongan

Aku hanya geleng-geleng
di atas tumpukan masa
terjuntai di balik sukma kealpaan

Memang susah
adakah "susah" yang tak selesai kata
kemalangan di masa silam
kembali lahir
menampakkan lidahnya
untuk berkata
"aku sedang mencarimu"

Yogyakarta, 2007

Baris-baris Tanya

baris-baris ini
telah terkumpul suatu
pandang satu dalam diri

Di atas madura dan di bawah madura
betapa rindu, betapa hati luas
di sini, aku mengangkat tangannya yang satu
untuk menurunkan yang lain
kata-kata yang kau anggap jahat
adakah orang bisu-tidak bisu sama sekali

Aku sempat melihat sehelai rambut
dari jarak hitungan langkah
setelah aku tahu jalan masuk lalu aku berkata
"adakah yang paham akan itu
sebuah salju putih tanpa warna"
aku hanya bisa melihat dari jauh
suatu yang kau berikan padaku
saat kau turun dari masa dan berkata
"apa yang sedang terjadi di sini"

Setelah aku sadar mamahami semua itu
akar-akar semua langkah
hanya ilusi berbunga
dunia-semua kebebebasan

Yogyakarta, 2007

Akar Kenangan

telah tumbuh bersama luka
bersama sengkarut masa
hilang karena musim

Kenangan tiap pagi
buku baru dibibir malam
dan secarik awan membeku
menghias rona samudera
yang membentang luas
di dalam mata biru

Seperti akar pohon?
isakmu dalam lubang kosong
memanggil jari-jari sunyi

Yogyakarta, 2007

Sejenkal Jari

Bila kuraba matahari
sejenkal jari menjalar
pada tiap waktu
yang kosong

Senyum tanpa sadar
menggiring ke tempat semidi
tak tergapai malam
siang pun juga

Kita tinggal sensasi
pada detak semesta

Yogyakarta, 2007

Secarik Pisau

Pagi secarik pisau redup
aku tak mengerti
senyum dan kematian
dijalanan kata
rangkaian perih wajahmu
kau tampakkan di antara
ketakmengertian itu
kau lukai sendiri

Kau tak meminta aku layu
walau ada semusim kemarau di matamu
kau merampas kegersangan samudera
kesendirianku
sedikit dari banyak orang melukis
akan kecantikanmu
dengan batu-batu baja
kecuali kau tak sanggup menanam sebuah arti
air mata dan kata-kata
nanti
bila orang lapar akan kemolekan waktu
dan kebeningan pun
hanya boleh menyentuh dan berkarya sendiri
penggalan puisi
menuju jalan satu keabadian
cinta?

Yogyakarta, 2007

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani