Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2015

Berjalan dalam Jiwa

Setelah Niji berkata bagaimana proses menjadi keringat yang berbuah ranum. Dalam kesendiriannyalah Niji merenung penuh, tak ada satu pun rasa untuk menjadi siapa dan apa, tapi yang dalam renungan Niji adalah ketakutan terhadap dirinya sendiri, ketika Tuhan memanggil semua orang yang ada di dunia ini kehadapanNya, Niji sendiri tidak tahu siapa dan apa sehingga hanya Tuhan yang Niji takuti selama ini. Sebab Niji hidup sejak dulu hanya bersama orang tua, tetangga, saudara, dan wanita, dalam hidupnya Niji tak ada Tuhan yang datang silaturrahmi ke rumahku. Tidak ada. Kalau seperti ini, siapa yang akan melangkahkan kakiku untuk sampai pada puncak gunung keabadian, kata-kataku yang selama ini menjadi jembatan dan makanan setiap hari. Sepertinya Niji harus mencari dalam kesadarannya sendiri, tak boleh ada orang yang Niji lewatkan dalam perjalanan ini. Sebab guru mengajari Niji untuk tetap dalam dirinya sendiri. Entah apa dirinya sendiri bagi diriku sendiri? Niji sendiri tidak mengerti

Tradisi yang Tak Normal

Oleh: Matroni Muserang* Ada tradisi gabai , yang biasa diadakan ketika pernikahan. Tradisi ini akhir-akhir sudah menjadi komunitas masyarakat, katakanlah kelompok masyarakat yang memiliki acara untuk menyumbangkan acara pernikahan. Di Batu Putih yang tiba-tiba bapaknya si perempuan kaget, ketika ada banyak yang menyumbangkan kebutuhan pernikahan, mulai dari terop secukupnya, beras 1 ton, gula 20 kilo, kopi 20 kilo, minyak secukupnya, bawang secukupnya, sound sistem dan lainnya artinya semuanya sudah ada yang menanggung, ternyata sesuatu yang dibawa orang tersebut adalah hutang yang harus dikembalikan, ketika si penyumbang akan mengadakan pernikahan. Akhirnya sekarang bapaknya si perempuan meninggal, maka yang menanggung adalah anak dan isterinya, sementara keluarga ini masyarakat kurang mampu. Tradisi inilah yang disebut tradisi tak normal, sebab tradisi ini akan berdampak pada makin banyak masyarakat yang terjangkit hutang, maka masyarakat akan keluar dari kampungnya untuk ke

Para Pembunuh

Matahari siang sudah menaiki kepala orang-orang di atas ujung rambutku, aku masih dalam keadaan bingung, duduk di tangga demokrasi, memikirkan sesuatu bagaimana agar tidak cumi akademik, karena besok adalah terakhir mempebayaran spp. Aku terpaksa pergi ke rektorat untuk meminta despensisasi waktu, dengan bermodal berani dan tenang aku masuk ruang kantor dan bilang, kalau saya minta despensasi waktu untuk pembayaran spp. “Pak, ya apa” “Besok terakhir pembayaran spp kan pak,” “ya, memangnya ada apa” “Dengan nada sedikit gugup, dan harus ngumong, saya minta despensasi waktu pak, boleh kan pak” Suasana menjadi sepi sejenak, hanya bunyi kata di samping ruang lain, dan bunyi AC, sementara aku berdiri menunggu jawaban. “Kamu dari Fakultas apa” “Ushuluddin, Jurusan Aqidah dan Filsafat” “Ya, ngak apa-apa, berapa hari kamu minta despensasi waktu” “Sampai HR saya turun dari media” “Kira-kira itu berapa hari” “Ngak tahu ya pak” “Ya, sudah kamu beri waktu empat hari un