Tradisi yang Tak Normal


Oleh: Matroni Muserang*

Ada tradisi gabai, yang biasa diadakan ketika pernikahan. Tradisi ini akhir-akhir sudah menjadi komunitas masyarakat, katakanlah kelompok masyarakat yang memiliki acara untuk menyumbangkan acara pernikahan. Di Batu Putih yang tiba-tiba bapaknya si perempuan kaget, ketika ada banyak yang menyumbangkan kebutuhan pernikahan, mulai dari terop secukupnya, beras 1 ton, gula 20 kilo, kopi 20 kilo, minyak secukupnya, bawang secukupnya, sound sistem dan lainnya artinya semuanya sudah ada yang menanggung, ternyata sesuatu yang dibawa orang tersebut adalah hutang yang harus dikembalikan, ketika si penyumbang akan mengadakan pernikahan. Akhirnya sekarang bapaknya si perempuan meninggal, maka yang menanggung adalah anak dan isterinya, sementara keluarga ini masyarakat kurang mampu.
Tradisi inilah yang disebut tradisi tak normal, sebab tradisi ini akan berdampak pada makin banyak masyarakat yang terjangkit hutang, maka masyarakat akan keluar dari kampungnya untuk kerja, sementara ketika orang kampong ke kota maka tradisi kampong terkikis. Mereka akan ketagihan kerja di luar, karena adanya uang yang menjanjikan. Ada dampak yang kemudian membuat seseorang lupa terhadap hal-hal yang berbau agama, misalnya mereka gengsi sosialnya besar. Mereka akan tampil menjadi orang yang gagak atau berpenampilan orang kaya dikampungnya.
Desa atau kampong bukan lagi tempat yang nyaman bagi mereka, akhirnya akan mempermudah masuknya orang asing ke desa-desa. Kita rela menjual tanah dengan harga mahal, buat apa kemudian ketika uang tersebut habis dan tanah kita sudah milik orang, maka kita akan kehilangan tempat bertani, kehabisan uang. Jalan satu-satunya pergi ke kota untuk mencari kerja, kita rela menjadi “budak” di luar desa, kalau tidak mendapatkan kerja, kita rela menjadi pengemis, dengan bermodal proposal palsu dan pengemis di jalan-jalan.
Hal ini jarang kita sadari bahwa sawah dan tegal merupakan kekayaan tertinggi daripada sekedar uang. Desa adalah kekuatan, ekonomi kata Iwan Fals. Namun anak mudah sekarang merasa malu turun ke sawah dan tegal, alasannya tidak gaul, gengsi, mahasiswa, santri dan semacamnya. Kalau hal ini terus terjadi, maka hal ini akan menjadi tradisi yang tak normal, lantas siapa dan apa yang akan menjadi penawar tradisi tak normal ini jika pemuda dan masyarakat melakukan tradisi tak normal ini? Sebenarnya mereka adalah korban. Korban dari gengsi sosial.
Saya jadi teringat wahyu pertama kali diturunkan IQRA’: BACALAH. Dimana iqra’ sekarang? Kalau pun ada, diapakan dan dibagaimakan iqra’? mengapa hati, pikiran kita jarang membaca? Maka fungsi iqra’ salah satunya adalah membaca tradisi yang tak normal, kita mencari alternative bagi masyarakat yang melakukan tradisi tak normal.

Battangan, 01 Juli 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Tari India Yang Sarat Spiritualitas