Pendidikan di Tengah Pandemi

 

Oleh: Matroni Muserang*

 

 

 Hadirnya virus corona membuat kita kadang percaya kadang juga tidak, percaya karena ada bukti, tidak percaya karena banyak di antara kita yang tidak memetuhi peraturan covid. Banyak cara untuk mendeteksi covid ini, swap, rapit. Namun lama-lama manusia Indonesia harus divaksin dengan membeli. Bahkan anggaran untuk covid pun benar-benar besar. Bahkan ada orang sakit ketika di bawa ke rumah sakit di anggap covid.

Dampaknya dari covid ini orang tidak boleh berdekatan, tidak boleh berjabat tangan, tidak boleh berkerumunan, harus pakai masker. Walau pun ada sebagian pun melanggar aturan ini. Yang tak masuk akal. Orang yang tak boleh di vaksin salah satunya adalah umur 18 ke bawah, orang yang positif covid, dan macamnya, lalu vaksin itu dalam rangka apa? Padahal berbicara covid tidak memandang tua dan muda. Kalau vaksin dalam rangka untuk mencegah atau menahan penularan, lalu mengapa harus bersyarat? Di sinilah ketakmengertianku.

Dampak yang lain, ada intruksi untuk meliburkan sekolah, bahkan kalau tak diliburkan akan di cabut ijinya. Bisa dilakukan dengan pelajaran jarak jauh (PJJ). Strategi PJJ ini tidak melihat sekolah punya fasilitas yang cukup atau tidak. Pokoknya harus PJJ. Kalau dilihat secara sistematis, seharusnya sekolah harus libur jika di antara siswa di sekolah itu ada yang positif covid. Bukan langsung intruksi akan di cabut ijinya.

Jika intruksi itu tidak berangkat dari data, maka pengalaman saya mengajar daring, banyak siswa yang HP nya tak bisa ikut daring, kendala sinyal, kendala paket. Apalagi ketika saya mengajar mahasiswa dari kepalauan. Mereka harus ke tepi pantai mencari sinyal, walau pun tidak maksimal, ini dilakukan dalam rangka untuk mendukung intruksi yang ada. Walau pun ada yang memprediksi covid ini akan berlangsung 20 tahun. Entahlah ini benar apa tidak, karena hanya prediksi.

Pendidikan di masa pandemi ini memang membuat masyarakat luar biasa sibuk, orang tua sibuk mencari HP androit, belum lagi sibuk mencari paket data, bagi yang punya (kaya) itu tidak ada masalah, saya sedih ketika siswa dari keluarga tak mampu. Akhirnya ada kata “orang miskin dilarang sekolah” di masa pandemi. Dan hasil dari belajar daring pun tidak maksimal, jika peserta didik tidak mencari referensi sendiri atau belajar sendiri.

Walau pun kemandirian belajar di masa pandemi tidak ada sama sekali. Siswa hanya menunggu guru di kelas, komunitas di sekolah pun jarang ada bahkan tidak ada, untuk mendukung kreatifitas siswa dalam belajar.

 

Gapura, 11 Februari 2021  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani