Sastra Pesantren, Katanya



Oleh: Matroni Musèrang*

Awal saya mengenal istilah “sastra pesantren” ketika menjadi santri di pondok pesantren Hasyim Asy’ari Yogyakarta dari majalah Fadilah yang kebetulan pendirinya pengasuh sendiri. Namun perkenalan saya dengan sastra pesantren hanya sebatas istilah an sich, di samping saya tidak meneliti lebih jauh. Sepuluh tahun di Yogyakarta, sastra pesantren pun tidak ada pernah saya dengar lagi.
Akhir-akhir ini muktamar sastra pesantren di Sukorejo yang menghasilkan rekomendasi, meskipun rekomendasi hanya bagian dari proses perjalanan acara muktamar, belum saya temukan hasil muktamar sastra pesantren di Sukorejo yang secara detil membahas apa sastra pesantren? Bagaimana bentuk sastra pesantren? Karena saya tidak memiliki kapasitas untuk membahas sastra pesantren, saya hanya ingin bermain kata-kata dalam puisi, seperti dibawa ini. Sapa rowa andhi’ tarnya’/ Arum manes e badhdhana /Sapa rowa andhi’ ana’ /Ma’ manes bibir babana.
Membaca syair di atas betapa ketat Metrum, rima akhir, rima berpeluk, rima dalam, rima ganda, rima tengah. Ini artinya menulis puisi tidak serta-merta melukis kata seindah mungkin, sebab kata-kata bukanlah patung yang bisa dibilas dan disulap menjadi indah, akan tetapi kata-kata dalam puisi harus memperhitungkan aturan yang sangat ketat seperti tafrifan di pesantren, amsilati, hidayatus sifyan, dan kitab-kitab syair pesantren yang sangat ketat cara penulisannya.
Mari kita bandingkan dengan puisi Mashuri yang di muat di Kompas ia datang kepadaku ketika puisi baru saja pamit ke kamar mandi/ wujudnya gembel, mirip seekor kera kebun binatang yang tidak dipelihara, dengan luka sayatan memanjang di dada/ ia mengajakku salaman, tapi aku takut tertular kuman 2018.
Membaca puisi Mashuri di atas jangan kemudian para penyair Jawa timur ingin membanding-bandingkan dengan syair atau puisi yang ada di pesantren, pasti tidak akan mampuni menyamai bahkan tidak bisa. Itulah mengapa saya bertanya apa hasil muktamar sastra di Sukorejo, selain hanya rekomendasi an sich.
Namun, harapan saya meskipun rekomendasi bagian dari proses muktamar sastra, ada kontinuitas dari para penyair yang ikut serta dan para kurator untuk betul serius mencari corak sastra pesantren itu. Jika beliau-beliau memahami sastra pesantren kemudian karena di tulis santri dan di dalamnya ada selipan-selipan diksi pesantren atau agama, bagi saya itu bukanlah sastra pesantren akan tetapi puisi yang ditulis oleh santri, dan kiai. Apa bedanya dengan fatwa atau ceramah?
Oleh karenanya penting kemudian, beliau-beliau terus berupaya memberikan corak yang betul-betul khas sastra pesantren, yang didalamnya penuh kedisiplinan dalam kalimat, kata-kata dan metrum. Sekadar contoh dalam al-fiyah ibnu malik di bab Jama’ taksir “afilatun af alu tsumma fi’lah/ tsummata af alun jumu’u qillah”. Tapi apakah ini dikatakan sastre pesantren? Saya tidak tahu, karena saya tidak pernah belajar sastra pesantren. Saya ingin tahu sebenarnya dari hasil muktamar sastra pesantren di Sukorejo sastra pesantren itu seperti apa?


Battangan, 2019



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Pentingnya Etika Memilih Guru dalam Keilmuan