Agama dan Urusan Kemanusiaan

AKHIR-akhir ini ajaran agama menjadi ”tidak penting” bagi pemuja materi. Uang yang Maha Esa. Melaksanakan salat dan ibadah hanya kalau diperlukan saja, sehingga tidak terlihat nilai-nilai agama yang tercermin di keseharian kita.
Pemerkosaan, pembunuhan, dan kekerasan sering kali menghias wajah bangsa. Agama mengajarkan tentang kemanusiaan (al-insaniyah), sehingga banyak orang berjuang atas nama kemanusiaan. Walaupun sering kali kemanusiaan hanya dijadikan penghias dan penggoda.
Kekerasan yang terjadi pada Yuyun, FPI yang selalu bikin ulah, dukun cabul yang menggarap istri orang, belum lagi pesta seks anak SMP, ibu kandung membunuh anaknya sendiri, dan sederet kasus kemanusiaan lainnya. Lantas ini salah siapa? Mengapa mereka melakukan ini? Dimanakah peran agama dan pendidikan agama di lingkungan sekolah dan universitas? Membaca agama sebagai apa? Apakah agama dijadikan lipstik belaka? Agama hanya dijadikan hiasan?
Bangsa kita harus kembali ke jati diri kemajemukan dan keberagamaan yang tercermin di Pancasila. Karena akhir-akhir ini kita disuguhkan dengan berbagai konflik dengan aliran-aliran agama. Ajaran agama dan budaya hanya dijadikan hiasan. Dipakai tanpa dimaknai nilai terdalamnya.
Padahal seharusnya menjadi cara hidup yang menuntun untuk memahami dan mengerti sesama. Bangsa kita adalah bangsa yang mejemuk dan beragam. Jati diri bangsa harus kita baca kembali sebagai masyarakat yang diberi fasilitas untuk membaca dan belajar. Dengan memahami keberagaman itu, kita bisa hidup lebih damai, berdamping tangan dengan sesama.
Dalam bangsa yang majemuk seperti ini, seharusnya agama dipahami secara holistik-universal, tak terbatas pada agama yang hanya mengajari zakat, puasa, haji, dan salat. Forum-forum keagamaan, seperti pengajian dan kongregasi, harus juga diakui sebagai sebuah dialektika keilmuan. Dengan cara seperti ini, makna agama dan budaya tak hanya menjadi hiasan, tetapi juga menjadi cara hidup dan pandangan hidup.
Di tengah perlunya penghormatan terhadap kemajemukan dan keberagamaan itu, ada kecenderungan pejabat negeri ini berupaya memperbesar peran negara terhadap agama dan budaya. Dan di dalam menggeluti kebudayaan modern masa kini, kita membutuhkan gambaran yang jelas atau sebuah ”peta” paling tidak ”tipe ideal”.
Istilah Max Weber, peta yang dibutuhkan yang menggambarkan kebudayaan kita sendiri di hadapan kebudayaan manusia secara holistik-universal. Sementara budaya hadir dengan wajah muram dan suram di tengah gejolak globalisasi yang merasuki bangsa ini. Bagaimana agar budaya kita tidak lagi ”shock” dan agama tidak hanya dipahami sebagai ajaran?
Dalam peta kehidupan masyarakat modern yang menjunjung tinggi agama dan budaya pragmatis, nilai-nilai tradisional yang menjunjung tinggi harmoni, keluhuran, dan lainnya, cenderung tersingkir, tergusur. Sebab, nilai tradisi itu dipandang tidak relevan dengan kehidupan masyarakat modern.
Banyak filsuf atau sosiolog telah mencoba menggambarkan ”peta” tersebut. Misalnya filsuf positivistik Auguste Comte yang menggambarkan perubahan masyarakat agama ke masyarakat metafisik hingga kepada masyarakat positif yang berkembang pesat saat ini. Selain itu, filsuf Belanda C. A. van Peursen dalam Strategi Kebudayaan (1993) secara panjang lebar membahas modernisasi dengan tipe ”fungsionalnya” sebagai puncak perubahan masyarakat yang bersifat ”kebudayaan ontologis” di abad pertengahan.
Pembagian peta kebudayaan tersebut memberi basis epistemologi. Dalam setiap kebudayaan pada dasarnya ada titik kuat sekaligus titik lemah. Titik lemah pada tahap mistis dalam bagan C. A. van Peursen, misalnya, ditemukannya praktik-praktik magis yang mencoba mendamaikan semua proses sosial alamiah yang terjadi di dalam budaya dan agama.
Pada kebudayaan ontologis cenderung substansialisme yang terjadi. Manusia melihat sesuatu hanya dari segi hakikat. Dalam kebudayaan mistis manusia terpaku oleh realitas bahwa sesuatu itu ada. Sedang setiap subjek dan objek atau manusia dan dunia saling berpartisipasi.
Dalam kebudayaan ontologis, manusia mengambil jarak terhadap dunia. Manusia ontologis, istilah ini boleh dipakai berusaha menemukan hubungan yang tepat antara dirinya sendiri, daya kekuatan agama, dan budaya di sekitarnya. Maka tercipta bentuk hubungan yang melibatkan akal dalam arti harfiah, akal hendak mengerti seluruh hakikat dari yang ada. 
Semua dekonstruksi ini penting untuk memperoleh kembali kejelasan kebudayaan dan masyarakat yang hendak merencanakan dan yang hendak membuat kita terus harus mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang dibangun sendiri. Dengan strategi dekonstruksi ini diharapkan dapat secara kritis mengevaluasi hasil kerja kebudayaan kita.
Dengan demikian, pembebasan sebagai ide awal dari modernisasi tetap bisa direalisasi dan tetap menjadi elan vital. Justru ketika zaman ini kita baca lebih dalam dan kritis, ada yang salah dalam sikap dan pembacaan kebudayaan kita. Agar hantu-hantu masa lalu tidak dilahirkan kembali sebagai spirit baru yang sering membuat kita lupa bahwa masa lalu tidak lagi bermakna apa-apa.
Sejarah yang bagian masa kecil tidak penting ditelaah ulang. Padahal makna sejarah, tragedi kemanusiaan penting untuk kita refleksikan bersama sebagai cermin besar agar kejadian itu tidak semata-mata kejadian kemanusiaan. Akan tetapi, ada makna penting untuk kita gali sebagai spirit kemanusiaan dan kebangsaan. Banyak di antara kita yang melahirkan hantu-hantu seperti piye kabari, Le? bergambar Soeharto dan kata-kata para tokoh. Kemudian diwacanakan kembali, memang untuk apa?
Lalu kapan kita merunduk membaca agama dan konsep kemanusiaan sebagai bagian dari pembelajaran bagi keseharian kita?
Sumber: http://radarmadura.jawapos.com/read/2016/12/04/5919/agama-dan-urusan-kemanusiaan/3

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani