Puasa, Capres dan Kekerasan
Oleh: Matroni Muserang*
Puasa saya maknai sebagai
perjalanan rohani untuk mi’raj, mi’raj sosial dan mi’raj spiritual, dari hati
yang keras menuju perkampungan hijau yang bernama kesejukan dan kedamaian. Dua
kampung ini kini telah di bakar oleh egoisme pragmatis-kapitalis, untuk itu
saya ingin menjadi tuhan untuk “menghidupkan kembali” kampung kesejukan dan
kedamian. Dengan puasa sebagai ibu yang melahirkan kesejukan dan kedamaian. Mengapa
puasa? Puasa dilakukan seseorang ketika ingin mendamaikan hati dan pikirannya
dan puasa dilakukan oleh semua agama di dunia.
Oleh karenanya, puasa
menjadi moment penting bagi manusia Indonesia yang saat ini mau melaksanakan
ritual lima tahunan yaitu pergantian presiden RI, untuk berjalan melaksanakan
tanggungjawab sebagai tim sukses untuk tidak saling sikat dan menuduh, sebab
saling sikat dan menuduh akan menjadi simbol bahwa puasa tidak lagi bermakna
apa-apa bagi keseharian kita.
Hal ini menjadi delima bagi
kita, di satu sisi memiliki tanggungjawab sebagai tim sukses, di sisi yang lain
kita harus melaksanakan puasa sebagai kewajiban, namun bagi saya tim sukses dan
puasa bukan menjadi penghalang bagi kita untuk menciptakan perdamaian dan
kesejukan di antara sesama manusia. Bukankah kita memiliki tanggungjawab
sebagai tim sukses untuk mendamaikan kemanusiaan? Puasa sebagai titik dimana
kita menyadari bahwa diri kita juga memiliki tanggungjawab keimanan.
Sebagai manusia tentu
memiliki kesadaran bahwa puasa sebagai moment yang cukup baik dalam mendamaikan
kampanye capres, tapi mengapa masih terjadi saling sikut dan sikat bahkan
tengkar di antara para pendukung? Jawaban sederhana dari konflik itu adalah
kurangnya pemahaman terhadap rasa kemanusiaan, kurangnya rasa kesadaran akan
pentingnya dialog, kurangnya pemikiran dalam perjalanan melaksanakan tugas
kampanye.
Manusia yang menyadari bahwa
perjalanan tanggungjawab politik yang berjalan
di atas sajadah puasa tentu saling menuduh dan saling sikat bukanlah
cara yang baik dalam memenangkan pemilihan presiden nanti. Saling sikat dan
menuding yang terjadi, maka artinya puasa tidak memiliki pengaruh apa terhadap
kehidupan kita. Jadi pertanyaannya adalah apa pentingnya puasa jika masih
terjadi saling menjelek-jelekkan sesama manusia?
Kekerasan yang sampai detik
ini menghiasi bulan puasa merupakan cermin bahwa puasa tidak memiliki dampak
apa-apa terhadap kehidupan sosial, budaya, moral dan spiritual, wajar jika
akhirnya puasa hanya sebatas ritual tanpa makna.
Dengan demikian, penting
kemudian kita me’raj untuk menanyakan kepada hati nurani kita. Apakah hati kita
masih hidup? Apakah pikiran kita masih hidup? Sebab jika hati dan pikiran
hidup, maka kekerasan, kecurangan, saling sikat, saling nuduh, tidak akan
selalu menjadi baju keseharian bangsa ini. Maka pada moment puasa kali ini,
sudah saatnya dan seharusnya puasa menjadi cara kita untuk naik lebih tinggi dalam
memaknai sosial (mi’raj sosial), dan spiritual. Maka, puasa bermakna bagi
keseharian kita.
Komentar