yang di muat di KR hari ini Dari Penyair Ragil Suwarna Pragolapati



Menggali Ulang Gagasan Sastra Yogya

Oleh: Matroni Muserang*

Di antara tahun 1965-1970 adalah pergulakan sastra di Yogyakarta cukup membuat penyair Indonesia menjadi tenar, tahun ini ditandai dengan konflik agama, konflik ormas-parpol, konflik Orba-Orla, politik dan baju kolongan menjadi fraksi dan bentrok egoisme, Umbu Landu Paranggi muak melihat itu, Umbu rindu Studiklub bebas dan kreatif. Akhirnya di Malioboro pada Rabu Pahing 15.00-18.00 petang 5 Maret 1989, terproklamasikan Persada Klub oleh tujuh pendirinya: Umbu Landu Paranggi, Teguh RS Asmara, Ragil Suwarna Pragolapati, Iman Budhi Sentosa, Soeparno S. Adhy, Sugianto Sugito, Mugiyono Gitowarsono, maka PSK (Persada Studiklub) tumbuh amat pesar, menjadi ajang apresiasi-kreasi-kompetesi penyair-pengarang muda dalam sejarah ke-emasannya di tahun 1969-1977, sehingga banyak mewisuda kader-kader sastrawan seperti Faisal Ismail (Februari, 1969), Teguh RS Asmara diwisuda (Maret, 1969), Iman Budhi Sentosa (31 Desember 1969), setelah itu generasi Emha dan kawan-kawannya, Linus dan kawan-kawannya, Korri dan kawan-kawannya yang sampai saat ini masih menghiasi wajah perkembangan sastra di Indonesia bahkan dunia.
Ini tidak lepas dari keyakinan para penyair bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang derajatnya sangat tinggi, sehingga harus dicapai. Demikian besarnya kepercayaan pada tenaga kebudayaan dalam menghadapi lawan. Demikian pula apa yang dikatakan Prof. Elsner sebagaimana dikutip HB Jassin yang meyakinkan muridnya mengatakan Berjuanglah dengan senimu, senimusik, sehingga dunia dengan kagum mengatakan: tidak, negeri yang mempunyai seni yang begitu besar, tidak boleh lagi dijajah oleh negeri lain.

Dilupakan Ahli Politik
Tenaga kebudayaan ini sering dilupakan oleh ahli politik dan sebaliknya pun kebudayaan sering dicibir dalam anggapan mereka selalu berjuang dengan berdasarkan akal yang melilit dan membelit. Maka dari itu Ragil Suwarna Pragolapati (RSP) hadir dengan menghubungkan sastra, yoga dan agama,  
Secara historis ajaran Yoga ini adalah kitab Yogasutra karya Maharesi Patanjali, walaupun unsur-unsur ajarannya sudah ada jauh sebelum itu. Ajaran Yoga sebenarnya sudah terdapat didalam kitab suci Sruti maupun Smrti, demikian pula dalam Itihasa dan Purana. Setelah buku Yogasutra muncullah kitab-kitab Bhasta yang merupakan buku momentar terhadap karya Patanjali diatas, diantarnya Bhasya Nitti oleh Bhojaraja dan lain-lain. Komentar-komentar ini menguraikan ajaran Yoga karya Patanjali yang berbentuk Sutra atau kalimat pendek dan padat atau dengan kata lain Yoga merupakan tehnik spiritual yang lebih tua dari agama apa pun juga di dunia.  
Sastra, yoga dan agama yang di usung dalam puisi-puisinya membuat puisinya berbeda secara ide, sehingga ketika membaca puisi-puisi RSP akan terasa dialektika antara sastra Yoga dan agama. lihat misalnya dalam antologi puisi “Salam Penyair”/ diluar, hidup makin ke mrungsung, zaman begini gemuruh, siang-malam-mu repot,/ hidup begini canggih berpacu, zaman super-modern melaju, jadual tugas bagai penjara mengungkung, waktu pun terus memburu.
Dialektika itulah yang sebenarnya diperjuangkan oleh RSP, ketika seorang penyair mampu memadukan dan menyatukan ketiganya maka seseorang akan dikatakan sempurna baik sebagai manusia maupun sebagai penyair.
Hidup Kemrungsung
Bagi RSP sastra (puisi) adalah sunnatullah jagaraya serba lenggeng. Tiap agama memuliakan wahyu Tuhan dengan keagungan puisi. Ketika hidup kemrungsung, frustratif, tetapi di sela-selanya puisi memasuki hati-nurani, membasuh akal-pikir rohani, dalam hening meditasi. Puisi akan lestari jadi konsumsi untuk lapar-dahaga-rindu batin. Tanpa puisi, hidupmu alangkah sunyi dan kering.
Dengan menyatukan ketiga ikon konsep, RSP mampu mengatasi kerumitan jiwa yang kadang mencintai dan seketika membenci dengan penuh kebencian. Kerumitan jiwa masih kurang diperhatikan oleh pangarang Indonesia. Dalam hal ini, baiklah belajar pada konsep Sastra, Yoga dan Agama yang diusung oleh RSP dan di luar negeri kita bisa belajar Dostosky, Strindberg, yang saling pengaruh mempengaruhi. Di Indonesia, khususnya di Yogyakarta adalah penyair-penyair PSK yang satu sama lain saling mempengaruhi, Umbu Landu Paranggi, Iman Budhi Sentosa dan kawan-kawannya hingga RSP sendiri banyak mempengaruhi penyair-penyair selanjutnya.
Sastra, Yoga dan agama bagi RSP menjadi visi dan misinya untuk memperjuangkan ide-ide segar dalam percaturan kesusastraan Indonesia, agar penyair dan agamawan tidak menjual Tuhan dengan harga murah kata Danarto. Untuk itulah dialektika sastra, yoga dan agama harus diperjuankan sebagai bentuk presh ijtihad keilmuan sastra yang dikonsepsika Ragil Suwarna Pragolapati. Sebab sastra bagi RSP sangat universal yang mampu merasuk dalam tubuh agama, dan Yoga, sehingga tercipta agama yang damai, sastra yang halus, beradab, dan Yoga yang sehat lahir dan batin, sehingga ketiganya menyatu, manunggal dalam keseharian manusia.


*Penyair, alumnus filsafat Pascasarjana UIN SUKA      

 Sumber: Kedaulatan Rakyat, Minggu Pon 8 Juni 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura