Suruhlah, Kebenaran menjadi Relatif?
oleh Matroni Muserang
Bahkan samudera
darahpun tak dapat menenggelamkan kebenaran
(Maxim Gorky, Sastrawan
Rusia).
Kita tahu bahwa
kebenaran itu sifatnya relatif? Bermula dari pengalaman yang pernah kulakukan
saat memasuki rumah filsafat dan perjalanannya. Pada saat itu kujumpai
kesulitan pada saat menyelami samudera kefilsafatan tersebut, membangun
keteguhan jiwa, bahkan untuk melakukan aksi demonstrasi. Di antara mahasiswa
yang kebanyakan pernyataan yang saya lihat pada saat terjun"Kebenaran itu
tidak ada, tergantung pada tiap-tiap orang", begitu kata seorang kawanku.
Aku tak habis pikir, bagaimana pada saat aku masih percaya pada prinsip hidup
yang kuanggap sebagai kebenaran, juga pada saat masih banyak orang yang percaya
bahwa kebenaran itu ada, dia bisa mengatakannya dengan begitu mudah bahwa
kebenaran itu relatif.
Aku tidak tahu
dari mana ia menghubungkan antara suatu hal dengan hal lainnya. Bukankah segala
sesuatu itu dapat diukur, dinilai, dan akhirnya diketahui mana yang benar dan
mana yang salah, atau lebih maju lagi untuk mencari pemahaman tentang mana yang
bermanfaat dan mana yang tidak, mana yang merugikan dan mana yang menguntungkan
(tentunya bagi banyak pihak, bukan bagi serumpun orang). "Tidak ada
kebenaran, semuanya palsu!.
Dan aku bisa
memaklumi, ketidakpercayaan orang pada kebenaran memang lahir dari pengalaman
psikologis bahwa ia memang tidak pernah menemui fakta bahwa apa yang
diinginkannya terpenuhi dalam realitas. kebenaran itu pahit, punya makna
praktis bahwa mengetahui secara benar apa yang kita inginkan jarang yang
terpenuhi dalam realitas lebih menyakitkan lagi, lebih pahit lagi. Tapi bukan
berarti bahwa kebenaran tidak ada. Tidak akan ada kebenaran jika ketika “kata-kata”,
penilaian, ungkapan, evaluasi, pengukuran tidak didasarkan pada fakta atau
realitas yang secara material itu ada.
Orang bisa
bisa berbeda (relatif) dalam menilai jarak antara Madura dan Jogjakarta. Si Masykur
akan mengatakan: "Jauh, dong!"; Si Sanusi dapat mengatakan: "Ah,
nggak jauh amat. Satu kedipan aja sampai. Coba, kamu waktu berangkat naik mobil
tidur, terus kamu sudah bangun pagi, kamu sudah sampai Jogjakarta".
Keduanya mempunyai pengalaman yang berbeda. Mungkin Si Masykur adalah orang Filsafat,
sehingga ia terbiasa naik kereta ekonomi. Dari Madura ia harus menyeberang dulu
ke Ujung, lalu harus berganti kereta di Surabaya. Sehingga perjalanan yang
ditempuh untuk bepergian dari Madura ke Jogjakarta terasa lambat, lama, dan
terasa jauh. Sementara si Sanusi adalah orang Syari’ah yang naik mobil pribadi,
sopir pribadi, sehingga ia bisa enak tidur di perjalanan karena mobil bagus dan
berharga mahal lebih terasa nyaman; maka, jarak yang jauhpun dapat ditempuh
secara cepat. (Dapat kita bayangkan jika, yang menempuh jarak antara Madura ke
Jogjakarta dengan naik pesawat pribadi atau Helikopter, seperti konglomerat
kaya, Presiden, atau Menteri tentu jaraknya terasa dekat, waktu tempuh cepat).
Hal lain yang harus dicatat bahwa, masyarakat kita selalu tidak fokus dalam
menceritakan segala sesuatu, bahkan menjawab pertanyaan. Sehingga, penilaian
terhadap suatu hal biasanya berbelit-belit, abstrak, dan tidak konkrit pada suatu
gejala yang ingin diketahui (melihat sesuatu parsial).
Ketika
ditanya: "Seberapa jauh Madura ke Jogjakarta?", ia seringkali tidak
menjawab sesuai pertanyaan. Kebanyakan orang akan menjawab pertanyaan itu:
"Paling sehari, kamu berangkat jam 7 malam, sampai sana siang keesokan
harinya". Jarakpun ditafsirkan sesuai dengan waktu. Pertanyaan soal jarak
dijawab dengan pertanyaan soal waktu. Pada hal, kalau dalam masyarakat telah
terbiasa menanyakan dan menjawab sesuatu secara pas dan konkret, antara siapa
saja akan sama. Kalau jarak antara Madura-Yogyakarta ditanyakan kepada
siapapun, pasti kalau dijawab berdasarkan jarak. Semua orang akan menjawab sama
kalau mereka sama-sama tahu jarak antara kedua kota. Tetapi kalau kedua orang
tidak tahu, biasanya akan dialihkan dengan jawaban lain, ada yang menggunakan
patokan waktu, dan ada yang menggunakan pendekatan dari kendaraan apa yang
dipakai.
Dari contoh di
atas, nampak jelas bahwa untuk ukuran penilaian orang terhadap suatu fakta yang
konkret, misalnya jarak (yang secara material adalah panjangnya bentangan
antara dua tempat atau benda yang diukur), bisa berbeda-beda tetapi kebenaran
sejati tentang jarak itu sendiri secara objektif (ada, material, dan bisa
diukur) tetaplah tidak relatif. Kebenaran itu relatif, ada, riil, dapat diukur
dengan cara yang benar, dan bukannya objektif. Perasaan bahwa segala sesuatu
itu relatif lahir dari cara berpikir gampangan yang lebih mementingkan kehendak
subjektif dan individualistik, sebuah fallacy, sesat filsafat yang
berkembang dalam anggapan orang yang biasanya malas berpikir dan bekerja keras
dalam menyelesaikan masalah. Cara berpikir relatifistik ini benar-benar
membodohi dan (kalau mau dirunut) selalu sesuai dengan kepentingan segelintir
orang yang ingin hidup enaknya sendiri, karena hidupnya telah enak yang
menyebabkan ia malas berpikir dan juga harus menutup-nutupi realitas kebenaran.
Mereka, kalau bukan orang yang malas, juga orang yang tak jujur, dan
menyembunyikan agenda tertentu untuk menyelamatkan kepentingan sendiri dan
menginjak-injak orang lain.
Bayangkan,
jika di zaman yang konon sudah modern ini, masih ada orang yang beranggapan
bahwa kemiskinan rakyat Indonesia disebabkan bukan oleh suatu hal yang bersifat
material atau konkret, misalnya karena adanya sejumlah perusahaan-perusahaan
negara yang dijual kepada asing, berapa kekayaan alam yang dirampas penjajah,
berapa jumlah subsidi rakyat yang dicabut, berapa uang yang tidak dialokasikan
untuk pendidikan dan berapa uang yang banyak digunakan untuk teknologi militer
serta uang yang dikorup, dan ukuran-ukuran atau tindakan kuantitatif (quantitative
meassures) yang nyata. Nyata, tindakan dan kebijakan nyata, bukan? Yang
karenanya dapat dihitung, dipahami, dan dimengerti. Tapi apa yang terjadi pada
saat masyarakat kita menderita cacat pengetahuan (dan memang sengaja dibodohkan
terbukti akses terhadap pendidikan sekolah dan pendidikan demokrasi diingkari)?
Banyak orang yang menganggap bahwa bencana dan penderitaan (kemiskinan dan dan
penindasan) bukan karena sebab-sebab konkret, tetapi karena sebab lain, takdir
Tuhan dan sebab-sebab lainnya yang berada diluar dialektika material.
Komentar