Penyair Muda vs Game


Oleh: Matroni el-Moezany*

Menarik apa yang di tulis oleh Fajri Andika dan Ramayda Akmal yang di muat di Minggu Pagi No 36 TH 64 Minggu I Desember 2011 yang kedua-duanya menanggapi tulisan saya, berarti Yogyakarta benar-benar ada penikmat sastra walau mereka tidak atau belum menulis sastra.
Boleh mereka (Fajri dan Ramayda) berbeda pendapat dengan saya, karena kedua berasal dari paradigma yang berbeda dan itulah keindahan hidup. Fajri lebih menitikberatkan pemuda dan game, kalau Ramayda sangat teoritis menganalisis tulisan saya. Keduanya memiliki tujuan yang berbeda, dan saya sangat senang karena berdialektika dalam keilmuan merupakan wadak untuk menjaga eksistensi kepenulisan, terutama sastra. Jadi dalam tulisan ini saya ingin lebih banyak menanggapi tulisan Fajri, karena Ramayda lebih teoritis yang sudah baku dan mungkin analisisnya pun dari tokoh-tokoh teoritis. Karena tulisan saya sebelumnya memang menggunkana analisis empiris.    
Tapi ketika saya membaca tulisan Fajri yang seakan pesimis ketika menulis puisi yang mengatakan bahwa menulis puisi itu tidak bisa mengangkat status sosial ekonomi. Ini saya kurang setuju, karena tidak semua penulis puisi itu “miskin harta” kita lihat sejarah sastra dunia ketika para sastrawan melawan penguasa dan bagaimana sastrawan mendampingi penguasa bahkan semua filsuf dunia mereka kaya dan status sosialnya pun sangat luar biasa tinggi. Bahkan Rasulullah S.A.W hanya merunduk terhadap seorang sastrawan Zaid bin Tsabit sampai memberikan sorbannya, jadi hal ini sastrawan lebih tinggi status sosialnya. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa sekarang sastrawan minim dalam status sosialnya? Salah satu penyebab adalah buku-buku yang kurang berkualitas seperti yang di singgung oleh Darmaningtyas dan pendidikan yang jauh dari realitas, sehingga perkembangan masyarakat pun semakin hari bukan malah semakin cerdas dan memiliki pemikiran yang lebih luas, justru yang terjadi adalah masyarakat sekarang lebih memilih yang instant tanpa mau berproses, membaca dan berpikir seperti dalam menulis puisi.
Lagi-lagi kita mengharap terhadap pemuda sebagai generasi, akan tetapi ketika masih sekolah dan kuliah hanya mengandalkan guru dan dosen dan di luar sekolah dan kampus kita kosong, alias tidur, makan dan ngegame (mentradisikan game), maka pemuda yang seperti itu hanya menjadi pengisi ruang-ruang kosong yang tidak mampu mencerdaskan bangsa dan dirinya sendiri. Apa jadinya kalau pemuda yang hidup dalam gebalau dan kacau di segala bidang kehidupan, sehingga tidak ada teladan, tidak ada pendidikan, tak ada perdamaian, dan tak ada pemikiran, tak ada di negara ini yang bisa memunculkan sosok-sosok pemuda masa depan bangsa yang gemilang begitulah apa yang dipertanyakan Gunawan Budi Susilo (lihat: Mata Baca,vol.2.no/oktober 2003).
Kalau kita melihat sejenak pemuda yang ada di Yogyakarta saja, mulai dari mahasiswa UNY, UPN, UGM, dan perguruan lainnya, mahasiswa-mahasiswa itu banyak belajar teori dan kurang dalam prakteknya. Apakah lulusan jurusan sastra inilah yang kemudian hanya mampu mengajar, akan tetapi tidak mampu menulis dan berpikir kritis. Seperti apa yang dikatakan Presiden Cerpen Indonesia Joni Ariadinata bahwa pada waktu lalu lebih banyak diskusi, membaca dan menulis, tapi kalau mahasiswa sekarang lebih memilih pulsa yang hanya habis untuk main sms-an, daripada membeli buku sastra yang untuk seumur hidup. Maka tidak heran kalau buku-buku sastra tidak banyak orang suka, anehnya mahasiswa jurusan sastra sendiri enggan membeli buku sastra, apalagi membacanya.
Menyangkut anak muda yang sering menghabiskan waktu untuk jalan-jalan dan ngegame untuk menghilangkan penat dan rasa jenuh itu mungkin butuh. Tapi bukan itu yang saya maksud, yang saya maksud anak muda yang “mentradisikan game” dalam kesehariannya. Karena yang saya lihat dari pemuda semalaman ngegame, pagi-seharian ngegame, bangun tidur game dan ini benar-benar terjadi, tak ada waktu untuk ritual, membaca buku dan refleksi.
Lalu bagaimana ketika pemuda kita di Indonesia dari Sabang sampai Meraoke seperti itu? Ketika yang namanya pemuda sudah tidak mampu mencerdaskan dan tidak mampu memahami kesehariannya. Kalau kita mau menyalahkan, siapa yang salah? Kapitalisme-kah? Globalisasi-kah? Teknologi-kah? Atau siapa? Akhirnya pemuda dan kebudayaan adalah diri kita sendiri. Seperti apa pernah dikatakan oleh penulis Kolumbia Gabriel Garcia Marquez bahwa sebuah kenyataan bukanlah yang tertulis di kertas. Tetapi yang hidup dalam diri kita dan menentukan saat-saat kematian sehari-hari yang tak terbilang banyaknya. Dan yang menjadi sumber kreativitas yang tidak pernah habis. Penuh penderitaan dan keindahan.
Lahirnya penyair seperti Chairil Anwar, Rendra, Iman Budhi Sentosa, Ahmad Tohari, Wiji Tukul Pram, D. Zawawi Imron, Emha, Umbu, dan penyair-penyair besar lainnya memiliki konteks yang berbeda, jadi kalau kita berkaca pada mereka (penyair besar) penyair negara (istilah Malaysia) kurang cocok, karena konteksnya jauh berbeda dan prosesnya pun berbeda. Yang bisa kita ambil dari penyair besar hanya roh atau spirit untuk mentradisikan berpikir, membaca dan menulis.      
Dengan demikian, dialektika Fajri dan Ramayda saya ucapkan terima kasih telah banyak melahirkan wacana yang lebih luas, akan tetapi saya berharap tulisan ini tidak hanya berhenti sampai di sini. Saya masih sangat banyak membutuhkan kritikan dari semua penulis, terutama penulis sastra. Karena demi sastra saya berjuang masa depan bangsa dan masyarakat dunia.


*Penyair dan mahasiwa pasca UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura