Kebudayaan Sastra Romantis


Oleh: Matrony el-Moezany*

Dalam kebudayaan sastra. Sastra tidak lepas dari romatisme-romantisme di dalam kata-kata walau sebagian sastrawan atau penyair memilih kata-kata yang membakar api para politik dan para pelacur yang memang jelas tanpa tanda dan simbol, tapi yang namannya sastra itu tidak akan pernah lepas dari estetika kata-kata. Sebab kesusastraan diakibatkan oleh perluasan sampai tingkatan yang mendefinisikan dalam terma-terma semantik dengan menghubungkan antara makna premer dan makna sekunder yang ada di dalamnya. Sekunder yang melingkupi objek-objek yang diketahui, membuka karya bagi beberapa pembacaan.
Di antara pemahaman dan eksplanasi dalam romantisme, itu bersifat epistemologi dan ontologis. Ia mempertentangkan dua metodologi dan tiga lingkup realitas, alam,  pikiran dan rasa. Suatu distribusi berbeda akan konsep pemahaman, eksplanasi dan interpretasi yang digugestikan oleh analisa wacana yang dihasilkan sebagai sebuah peristiwa, maka kita dapat memahami sebagai makna sastra yang bernilai estetik.
Berdasarkan pada konsepsi yang nampak sebagai upaya untuk mundur pada klaim romantisme akan kecocokan yang serupa dengan kreator yang di pandang genius. Dan itu bukan pemahaman kita sebagai fenomena kultural. Mungkin dengan ini kita harus pergi jauh dari pandangan ideal romantisme tentang keserupaan dengan psikis. Di sini sangat erat hubunganya dengan puisi yang mana dalam dunia sastra mempunyai mempunyai teori yang signifikan. Dimana kata-kata harus mengalir dalam merespon ketakberhubungan sematik pada level kalimat yang utuh yang dapat memberi simbol pada setiap perluasan makna. Misalnya dalam mitos Babilonia kuno, memberikan signifikansi lebih sekedar luasnya lautan yang dapat dilihat dari karang. Dan matahari terbit dalam sebuah puisi oleh Wordsworth mengsignifikansikan lebih sekedar fenomena meteorologi sederhana.
Tentunya kita sebagai manusia yang berbuya tidak akan terlepas dari historis, sebab problem yang mengelaborasikan adalah reformulasi suatu problem di mana penderahan abad 18 memberikan formulasi modernnya bagi filologi klasik. Bagaimana membuat kehadiran kembali budaya, di balik adanya jarak kultural? Romantisme Jerman memberikan peran dramatik terhadap problem ini dengan pertanyaan bagaimana kita menjadi kontemporer dengan kegeniusan masa lalu? Lebih umum lagi, bagaimana seseorang menggunakan ekspresi kehidupan melalui sastra agar dapat mentransfer diri ke dalam kehidupan fisik.
Maka tidak mengherankan jika seseorang menaruh perhatian yang sangat besar pada bahasa puitik romantik.
Suksesnya kebudayaan romantisme telah menyingkirkan bahasa puitis sebagai suatu cara penyingkapan kekayaan pengalaman konkret manusia. Dalam pandangan sastrawan, dunia di pandang dan dihayati sebagai sesuatu yang bernyawa (hidup) dan kehadirannya dapat dirasakan dalam kesunyian. Karena semesta ini merupakan sesuatu yang organis, yang terdiri atas satuan-satuan yang saling terkait, masing-masing diresapi oleh kehadiran kesatuan yang lain dalam diri seseorang. Inilah alam dalam kekentalannya (Tempo, 06/03/05).
Melalui kebudayaan sastra romantisme mengajukan kesan baik untuk memanfaatkan pengungkapan puitis melalui pengelaman untuk mengoreksi nilai kesusastraan puitik romantik. Puisi dapat menginklusi nilai untuk mentransendental presisi formulasi kita atas semesta. Dengan begitu apa yang dapat mengikat puitik romantik keharusan untuk menggiring bentuk keberadaan ke dalam bahasa puitis. Dalam artian ini tidak ada seorang pun yang lebih bebas ketimbang dari seorang penyair. Bahkan ucapan seorang penyair terbebaskan dari visi dunia biasa hanya dikarenakan ia membuat dirinya sendiri bebas bagi keberadaan baru yang harus ia giring ke dalam bahasa puitik romantiknya.
Adalah sulit untuk mengatakan apa yang membuat bahasa puisi sebagai bahasa terikat. Dalam realitasnya, sebagai awal sejarah bahasa puisi merupakan bahasa tidak terikat atau bebas yang terlepas dari kendala-kendala leksikal dan sintaktis.
Dalam hal ini bagaimana sebuah hermeneutika romantis memberikan eksplanasi dan pemahaman yang berorientasi pada sastra yang bernilai estetika dalam makna, bahasa dan kata. Sebab ketika seseorang memaksudkan sesuatu lebih dari yang ia sebenarnya katakan? Lalu kita bertanya apa itu memahami wacana adalah sebuah pembaca atau sebuah karya literer? Bagaimana kita membuat makna dari wacana tertulis?. Jadi benar apabila polaritas yang tumbuh dan tidak teratur antara eksplanasi dan pemahaman sebagaimana yang dipahami secara tidak jelas dalam proses komunikasi pembicaraan menjadi dualitas yang jelas-jelas bertentangan dengan hermeneutika romantis.
Dengan kata lain, kita hanya bisa menebak makna pembaca yang bersifat literer dikarenakan maksud yang diinginkan oleh pengarangnya di luar jangkauan pembaca. Tentunya di sini ada perlawanan terhadap hermeneutik romantis yang itu sangat berdaya. Karena kita telah mengetahui jargon yang telah mendominasi masa romantik, sejak Kant mengetahui dan menetapkannya bahwa mamahami pengarang lebih baik dari pada memahami dirinya sendiri. Tentunya menebak atau memperkirakan apa yang disebut Schleiermacher dengan validasi terhadap apa yang ia sebut dengan gramatikal. Kedua hal ini sangat penting bagi proses pembacaan bagi pembaca. Transisi dari mere-reka (menebak) ke penjelasan terselamatkan oleh investigasi objek khusus penebakan. Mengapa? Karena menebak adalah untuk mengartikan makna verbal atas pembaca untuk mengartikan secara utuh.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura