Bahasa Kata dan Makna


Oleh: Matrony el-Moezany*  

Memasuki era modern yang semakin banyak maraknya wacana dalam pemikiran kontemporer yang tidak hanya mengidentifikasikan suatu tema penting, namun juga suatu kebutuhan yang mendesak untuk re-elaborasi problematika bahasa yang menandai zaman. Bahasa seperti yang dikutip oleh Martin Heidegger adalah sebagai tempat tinggal manusia (the house of being), karena dengan bahasa kita dapat mengungkap apa yang kita inginkan. Dengan bahasa pula, makna hadir dengan bebasnya dalam atmosfir kesadaran kita. Bahasa adalah satu-satunya pilihan untuk menampakkan realitas yang kita pun tidak mampu meredamnya. Lalu bagaimana memahami makna, bahasa itu dan bagaimana kita merengutnya? Tentunya dengan interpretasi kita dapat melakukan semua itu.
Dengan melalui interpretasi suatu perubahan teks bahasa ke dalam suatu teori yang sistematis dan komprehensif, yang berusaha mengeksplanasikan keutuhan bahasa manusia dalam beragam cara penggunaan di mana bahasa itu diletakkan. Bahasa juga bisa dibaca secara terpisah, namun sedikit demi sedikit hanya sebagai alat bagi solusi terhadap suatu problem tunggal, yaitu pemahaman bahasa pada tingkat hasil karya tertentu seperti puisi, cerpen, dan esai, yang bersifat literer. Dengan kata lain semua karya-karya secara khsusus, dan bahasa sebagi sebuah karya pada umunya.
Dalam linguistik modern, problem wacana menjadi suatu hal yang orisinil, dikarenakan dewasa ini wacana dapat dipertentangkan dengan suatu kontradiktif yang tidak di justifikasi oleh para filosof kuno. Item kontradiktif ini merupakan objek otonom investigasi saintifik. Investigasi adalah tata cara linguistik yang mempunyai struktur spesifik pada setiap sistem linguistik yang di ketahui oleh beragam bahasa yang digunakan komunitas bahasa yang berbeda.
Semantik-semiotik bahasa adalah keutuhan basis yang memberikan respon yang berlawanan terhadap dua pendekatan dimensional, dimana bahasa terletak pada dua keutuhan yang tereduksi. Lebih jauh objek semiotik tanda-semata bersifat virtual. Sebab hanya kalimat yang bersifat aktual karena ia merupakan fenomena pembicaraan. Kalimat bukanlah sebuah kata yang lebih besar atau lebih kompleks, kalimat bisa dibentuk dengan kata-kata, namun kata-kata adalah hal yang lain dari kalimat pendek. Suatu kalimat juga memang dibuat dari tanda-tanda, tapi ia sendiri bukanlah sebuah tanda (Paul Ricoeur).
Perbedaan diantara dua jenis linguistik semiotik-semantik merefleksikan jaringan korelasi ini. semiotik ilmu tentang tanda, bersifat formal sampai batas pemisahan (dissosiasi) bahasa kedalam bahan-bahan pokoknya. Semantik ilmu tentang kalimat-kalimat, langsung fokus pada konsep makna. Menurut Paul Ricoeur bahwa distingsi antara semiotik-semantik merupakan kunci dari keseluruhan problem bahasa itu  Bermula dari distingsi ini bahwa wacana merupakan peristiwa bahasa.
Namun dengan kreteria semacam ini, hanya akan memberikan salah arah, sebagaimana yang diatakan Benveniste, semata peristiwa mudah berlalu dan sirna. Dengan begitu ilmu linguistik akan menjadi justifikasi pengenyampingannya, dan prioritas ontologis wacana akan menjadi siginifikan dan tanpa konsekwensi. Keberlakuan wacana tidak hanya bersifat transhistoris dan sirna.
Wacana dipandang baik sebagai suatu peristiwa apabila pertama sebagai suatu fungsi predikat yang dikombinasikan oleh suatu identifikasi, kedua sebagai suatu abstrak, yang bergantung pada keseluruhan konkrit yang merupakan kesatuan antara peristiwa dan makna dalam kalimat. Dimana ada makna pengucap dan makna ucapan. Memaknai ucapan berarti apa yang dimaksudkan oleh sang pembicara. Sebab bahasa tidaklah berbicara tapi oranglah yang berbicara. Misalnya, Roman Jakobson memulai dari adanya hubungan tiga arah antara pembicara, pendengar dan pesan yang di sampaikan, dilanjutkan dengan manambah tiga faktor pelengkap lainnya yang memperkaya modelnya. Misal lagi, pengalaman yang dialami dan dirasakan dalam hidup, tetap merupakan suatu privasi seseorang, namun makna dan artinya menjadi milik umum, dialog adalah suatu peristiwa yang menghubungkan dua peristiwa, berbicara dan mendengar.
Dalam dialektika peristiwa dan makna yang telah dikembangkan dalam diri wacana sangat dominan. Memaknai kata adalah apa yang diinginkan oleh pembicara. Namun memaknai kata adalah juga apa yang dimaksudkan oleh kalimat tersebut. Jadi setiap gerak atau tindakan ini memberi jalan bagi dialektika peristiwa dan makna. Oleh karena dunia ini adalah kumpulan referensi yang diungkap oleh setiap jenis teks, deskriptif atau puitis yang kita baca, pahami dan senangi.
Dalam konteks ini, benar apa yang dikatakan oleh Heidegger, dalam analisisnya tentang vestehen di dalam Being and Time bahwa apa yang pertama kali kita pahami dalam sebuah wacana bukanlah orang lain, namun sebuah proyeksi, yakni outline cara baru keberadaan di dunia. Hanya dengan tulisan yang membebaskan teks, tidak hanya pengarang aslinya, namun juga dari sempitnya situasi dialogis, yang mengilhami masa depan wacana sebagai proyeksi sebuah dunia, jadi bila wacana dihasilkan sebagai sebuah peristiwa, maka ia dapat dipahami sebagai makna.
            Dengan demikian, segala aspek linguistik tidak akan lepas dari bahasa sebagai wacana baik wacana peristiwa, predikat, dialektika peristiwa makna. Walau sudah dengan teori-teori para pakar lingistik, mereka tidak lepas dari beberapa hal yang berkaitan perkataan dan tulisan, yang membahas metafora baik metafora semantik-semiotik, simbol, eksplanasi-pemaknaan.


   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura