Sajak-Sajak: Matroni el-Moezany

Panggilan Sia-Sia

Jika korupsi seringkali terjadi, maka aku berharap bangsa hancur sampai koruptor berteriak, meminta tolong, aku tidak akan menolong, biarkan koruptor mati berkalang tahi.
Biarkan dia, mencari sisa nyawanya sendiri, biarkan mencari tempat sendiri, biarkan dia pergi ke luar negeri, mencari ketenangan, aku tetap tak akan menolong.
Aku ingin koruptor menjadi penjual tahi, yang menghabiskan uang pergi ke luar negeri, dan hari-harinya berisi tahi, sambil berteriak meminta membersihkan, aku tetap tidak akan menolong, biarkan saja mereka makan tahinya sendiri.
Ia bekerja sewenang-wenang, mengotori rumahnya dengan tahi, menjemur bajunya di bawah tangisan rakyatnya, kehujanan tak ada yang menolong warganya, aku akan menolong warganya, biarkan koruptor mati kehujanan.
Aku ingin koruptor menjadi anjing, yang di pelihara oleh rakyatnya, jika malam harus tidur, di mandiin, bakar jika mau, dibiarkan kelaparan jika mau. Aku ingin koruptor seperti anjing kelaparan.
Aku ingin koruptor menjadi tahi, berjalan tak dihiraukan, malam-malam meminta, sedang aku duduk tak memberinya, hahahahahahahahahahahahahahaha.

Yogyakarta, 2011


Pengabdian

Kuruptor, hanya engkau yang tak bisa kuselamatkan
Cobalah pahamkan padaku, tentang rakyat
Sungguh tahi engkau, tak bisa mengajarkan kata-kata
Aku memilih engkau dengan senang, tapi engkau mati tahi

Yang bagiku, engkau tanggungjawab, malah mematikan
Kau bawa sejuta bahasa rakyat, tapi semua kekosongan sia-sia
Sungguh laknat hidupmu, membiarkan rakyat kelaparan
Apalah arti sebuah puisi, jika engkau tak mampu membaca

Pengabdian hanya ruang kosong, hanya seolah-olah.
Rakyat tak ada di jiwamu
Syukurlah engkau masih hidup, walau tanpa makna

Yogyakarta, 2011


Cuaca dalam Jiwa

Tak henti-hentinya ingin menguburkan cinta
Menjadi senja yang lihai mencari rasa

Sebelas pintu telah kumasuki
Melinangkan airmata memenuhi
Tapi entahlah, kekinian lebih manja mengolah kata menjadi hianat

Kucoba cuci gelas kotor di dapur
Menghilangkan debu penghianatan
Walau bangsa ini tak mau untuk mandi

Aku tetap bersama rumput-rumput kecil

Yogyakarta, 2011


Pohon dan Perjalanan

Di jejakku ada pohon
Di jejakku ada sungai
Di jejakku ada gunung

Berjalan bersamaku

Matahari naik berjejak menemui gunung
Lapar datang ke sungai

Berjalan bersamaku

Siapa itu yang kelaparan, kemiskinan dan menderita?
Aku tak mengenal, tapi mereka menemuiku

Berjejak bersamaku
Aku mengenal, tapi mereka berjalan bersamaku,
Dan mereka berkata padaku “Kami orang-orang yang dihianati negara”

Berjalan bersamaku

Dan mereka berkata padaku “Kami bersamamu”
Dan kami orang-orang kelaparan,
Di antara pohon dan perjalanan
Kelaparan, menderita dan sakit hati
Mereka berjuang bersamaku
Mereka menanti “saudara-saudaraku”

Oh, engkau saudara selava yang kusayangi
Kecil jejak, merah gairah
Biji kemanusiaan

Perjalanan akan berat
Hidup pun akan berkarat
Tapi, mereka berjejak bersamaku

Yogyakarta, 2011

Begitu Selalu

Begitu selalu lapar hidup yang kutemui
Jiwa menjerit tercekik kesewenang-wenangan
Rakyat kelaparan berkeping-keping
Rumah hancur berkalang tanah ratah

Yang jernih untuk kuminum hanya air sungai
Yang jujur untuk kutemui hanya angin
Tersingkap karena kelihaian Maha
Negara terkantuk-kantuk karena modern
Walet dan mata terbang tinggi

Yogyakarta, 2011


*Penyair, lahir di desa Banjar Barat, Gapura, Sumenep, Madura. Buku antologi bersamanya adalah “Puisi Menolak Lupa” (2010) “Madzhab Kutub” (2010) dan Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010 Dewan Kesenian Jatim. Kini tinggal di Yogyakarta.
Hp; 085233199668

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura