Sajak-Sajak: Matroni el-Moezany

Aku

Lapar aku, makan aku, minum aku, tidur aku, lelap aku, bangun aku, mandi aku,
Belajar aku, kerja aku, waktu aku, usia aku, mati aku, engkau aku, kami aku,
Aku aku, padahal satu aku?

Jogja 2011


Perihal Saat-Saat Itu

Bukit-bukit pasir
Langit menurunkan hujan, kabar dan apa saja
Untuk kutumpangi sebagai wujud dari imanku, aku tak mengerti
Bagaimana iman ada di aku?
Setelah aku bertemu dengan iman, aku bertanya
“Mengapa engkau mendiami manusiaku?”
Aku juga tak tahu apa-apa, jawab iman sambil mengangkat wajahnya ke cakrawala
Lalu,
Siapakah kamu yang rela menjelaskan adanya iman di tubuhku?

Lalu iman mengajakku pada waktu
“mengapa aku bisa mendiami manusia?”
Tanya iman sedih, karena tak bisa menjawab tanyaku

Aku memang ada saat aku ada, tapi aku tak paham, jawab waktu, iman dan waktu diam memunguti daun-daun jatuh

Keterdiaman menemukan ide yang sama
Kita ke langit, ajak waktu
Di langit mereka tak menemukan jawaban juga
Langit pun sedih, naiklah aku, iman, waktu dan langit
Tapi mereka tak menemukan apa-apa
Karena di sana iman, waktu dan langit tak ada kecuali Aku Yang Maha Ada

Jogja, 2011




PEMULUNG

Tiap pagi aku melihatmu, menenteng wadak-wadak bekas, berharap di tempat-tempat sampah memunguti matahari,
engkau rela melinangkan airmatamu menyembunyikan

di depan waktu, di betulkannya wadaknya, dieratkannya agar tak jatuh,

sebagai pemulung, cepatlah berangkat,
sampah itu tak lagi memerasmu, getir haus, tertunda

di hari yang pagi, pemulung datang kembali
di tinggalkannya si isteri, tak ada airmata, keringat berkaca-kaca

hanya sebutir tempat sampah, satu saja,
keduanya harapan yang gemuruh sehabis ledakan

segeralah berangkat, tempat sampah itu telah menjelma kekayaan dengan pantulan pagi, di kost tua, nyeri melihat, ia tetap semangat, membetulkan harapan,

ia tak mengenalmu

kepercayaan pada harap, pada nafas panjang dan hembusan pagi, gemanya mental perjuangan

ketika jiwanya menangis, di gurun harap, dengan setetes airmata, tidak diperlukan lagi negara di sini

pohonan diam di sampingnya, ada pagi, sepi di cela-cela melihatmu, menjelma lukisan cakrawala

kudekati nyeri itu dengan kata, ia masih membetulkan harap, tiap hari, terlahir Tanya, di sinar pagi, yang menciumi dinding kamarku, dan di tepi mata dengan desah tertahan, berangkatlah ia tanpa perintah pemerintah

di pojok kamar itu, ia mengambil bekas barang-barang
begitu banyak yang mengucapkan selamat tanpa ia menyautnya
tangannya di lambaikan, topi terpakai saja, di iringi nyanyian pagi yang di simpan di sakunya, yang selamanya menjadi harapan sunyi untuk terus di lepaskannya
dari baju pagiku

ia suka diam dalam resah, ingin merekam kerja-kerja bangsa yang selalu gagal mengurus aku,
di sinar retak yang berimbun daun, di tuliskannya satu tangan sunyi menikam pagi
ingin rasanya membuat presiden pribadi, meskipun kesia-sian bangsa menginjakku
menjadi pemulung sunyi

karena pernah aku punya harap ini, menjadi nyata dan bisa kunikmati bersama
menyandingkan sorga, menyatu dengan semesta untuk merasakan bahagia

ia menetapkannya menjadi musafir sunyi
di waktu nol memulai jejaknya dadanya begitu pecah, bibirnya setengah tersenyum
di tengah-tengahnya ia sudah tetapkan
ia ciptakan khotbah-khotbah pemulung

segala yang disampaikan, tak ada manusia yang mendengarnya,
keculai sekumpulan semut, dedaunan, kerikil dan sekeping harap

dalam sunyi, ia mendengar malaikat bernyanyi,
sabarlah musafir sunyi, segeralah ke dirimu, sungguh ia tak bisa
membayangkan ia tak mengenal dirinya di puncak harap nyata

ia masih saja membetulkan harap jejaknya
sambil sepucuk sunyi lepas dari perjalanan ini

pada hari-hari pagi yang sesungguhnya, ia nisbatkan sebagai pemulung sunyi
menemani matahari, angin, dedaunan, doa-doa dan sekeping perjuangan


Jogja, 2005-2011



*Penyair, lahir di desa Banjar Barat, Gapura, Sumenep. Aktif menulis di media massa baik lokal maupun nasional. Buku antologi bersamanya adalah “Puisi Menolak Lupa” (2010) “Madzhab Kutub” (2010) dan Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010 Dewan Kesenian Jatim. Kini tinggal di Yogyakarta.


Hp; 085233199668

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura