Sajak-Sajak: Matroni el-Moezany

Sajak-Sajak: Matroni el-Moezany*

Aku Yang Terlupakan

Menjerit tak terbahasakan
Menangis tak berairmata
Terluka tak berdarah

Sesungai dan dedaunan, kusemaikan sebagai pena dan tinta
Melukiskan wajahmu yang penuh mimpi

Di lekuk jalan bisu, kutarik nafas panjang, terbentang jalan kutempuh.
Padahal maling-maling pun berdandan,

Kusempatkan pesan pada ombak angin yang lihai mengutarakan kata
Menepis luka di tepi bara. Padahal, aku tak mampu meniadakan lautan di tubuhmu. Berenang di matamu, tidur di jiwamu. Kugapai cakrawala kecil
Mengusik sunyi malam, di tepian luka
Yang diberikan pada bahasa. Padahal, tiada tahu, apa pesan di balik semua kehidupan?

Gemuruh pagi, mengisi sepi waktu. Sementara tangan-tangan masih berat
Memberikan kepastian untuk kesunyian yang tak pernah basih
Mengulas ketidakadilan waktu

Kurias ruang waktu
Beragam warna di dinding
Kucoba menepi, melihatmu lebih dekat
Mencari terpaan makna yang tak puas di tengah kehidupan
Walau berenang di laut tunggunglanggang
Aku tak percaya bahwa kita terlupakan
Oleh deretan batu-batu masa

Ketidakhidupan nafas resah yang berairmata, tak membasahkan kertas-kertas
Di bawah pensil kenistaan, kubuai seluruh basah, menyejukkan gersang manis pohon lidahmu. Cara apakah kubuat rumah singgah
Menuliskan sebatang sajak kecil untuk resahku

Galauan hidup belum terbuahkan
Sementara mimpi lebih dulu sampai, padahal, kutaksadar malam terhias gulita dan bintang, melihat jalan jarang kutempuh di tepian waktu

Resahku yang tiada bersamudera, luatan sudah murka merobohkan jiwa-jiwa sajakku,
Aku yang terlupakan berairmata
Mencari kemungkinan baru tak tersentuh

Aku yang terlupakan, tak sempat menyumbangkan ide keberlanjutan kehidupan
Sudah kupaksa naik menemui malam, tapi mengapa betahku menaruh airmata di saku kejujuran.

Yogyakarta, 2011

Mungkinkah Melupakan?

Seringkali mencoba menumpas keraguan
Di hidup ramai menuai makna damai
Makna hidup lahir dari jejak, tidak sekeparat penguasa masa
Yang selalu menitip pesan kosong,
Mungkinkah melupakan bibir manis madu yang terkasih dari dorongan kuasa
Jilbab uang terbungkus rapi selesai kau beri untuk sepi
Kusangka kau dermawan, ternyata kau lawan
Kusangka kau kawan, ternyata kau hewan

Tak jelas, harus berkata siapa
Untuk empat kali aku memberikan salam
Menjadi, sebagai jalan panjang tak terisi

Mencoba menjadi hati yang bersih, tetap kotor lahan sunyi yang kerap kau beri
Tempat singgah tak bisa kuberi apa pun, termasuk lubang mesteri, api pelan-pelan membakar seluruh keberadaan mimpimu yang jarang ditemui kata-kata

Kata-kata adalah lidah sungai mengalir menyampaikan pesan damai
Untuk pejuang iman yang lurus menemukan ramuan di tepi huruf
Kuduga ia pelataran laut menjenguk rumah bambu
Ternyata, ia pulau-pulau kecil yang singgah di jiwa karena lautan belum ada
Maka, kusatukan mimpi pulau menjadi samudera
Hingga manusiaku hilang menjadi air, air dan air.

Yogyakarta, 2011


Pensil Tengah Malam

Tengah malam
Menebar terpaan pinta, segala dibiarkan
Jejak pensil kembali menakar, menentukan seberapa jumlah harap
Dibutuhkan

Pensil tengah malam
Menangis dalam pinta
Melahirkan kobra-kobra berbisa
Berharap sampai di puncak pinta

Malam dua pensil
Mengajak sajak lahir ke logika nyata
Melihat keber-ada-an yang nyata tak nyata

Dari sangkar emas berbisa
Sudah lama tinta berteriak “berhentilah” membohongi jejakmu
Dari gontai lebam kehidupan yang tak mampu melumpuhkan tintaku

Yogyakarta, 2011


Selir Manja Di Leher Bambu

Rekan jejak beralas sandal
Sebiasa mungkin kau bersama

Haruf mushallah yang tertanam dalam, di dirimu
Biarkan ia bicara untuk kedua halinya
Sebagai serumpun bunga di wajah rembulan

Bibir mengalir sungai-sungai
Leher berkeringat adalah keberuntungan
Makanan adalah kehidupan
Rawatlah ia bersama-sama
Di ranjang kebersamaan

Kebersamaan adalah kata-kata
Ia bisa menjadi darah, duri, batas, dan api
Seringkali kau harus mampu menjadi air
Mengalir untuk memadamkan api
Membersihkan darah
Menghapus batas dan
Meranumkan duri

Hidup yang penuh lekuk
Kadang datang tiba-tiba
Menyelinap masuk di lubang paling terkecil
Di sela-sela kesibukanmu mengulah kebersamaan

Yogyakarta, 23 Februari 2011



*Penyair, lahir di desa Banjar Barat, Gapura, Sumenep. Aktif menulis di media massa baik lokal maupun nasional. Buku antologi bersamanya adalah “Puisi Menolak Lupa” (2010) “Madzhab Kutub” (2010) dan Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010 Dewan Kesenian Jatim. Kini tinggal di Yogyakarta.


Hp; 085233199668

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura