Sajak-Sajak: Matroni el-Moezany

*


Rumah Rahasia

Aku suka gerakmu
Aku suka senyummu
Di wajahmu ada dua jerawat
Di dagu bagian kiri
Satunya persis di ujung hidung

Langit bertanya pada bulan
Seberapa indah jerawatmu

Senyummu tak membuat layu
Akan keramat jiwa bergerak
Mengikuti lekukan bibirmu

Aku suka kau pakai celana ketat
Kulihat garis-garis rahasia
Di balik bokong seksi
Seakan tersirat pesan Tuhan
Untuk dinikmati menjadi kata-kata

Sinar bulan menyiratkan garis
Yang tercetak celana
Entah bagaimana ketika harus bersentuhan

Apakah garis-garis itu masih ada
Atau hanya simbol eksistensial
Yang tak bisa aku raba dengan imaji

Kurangkai segala cara
Kuteliti segala bahasa
Untuk mengungkap rumah rahasia
Yang tercetak celana-celana bangsa

2010-2011

Aku Suka Senyummu

Ketika sampai di jalanan malam
Kerampungkan segala aktivitas walau tak tuntas
Malam yang menyetubuhiku
Membuat nafsu semakin tinggi
Semakin klimaks dan semakin mamanas

Aku suka senyummu
Sembilan gigi putih berjajar
Persis di dua bibir manismu
Tajam matamu membias alis
Semakin sejuk, apalagi kerudung
Yang melapisi kedua pipimu

Laut makin berderu
Jiwa makin bergetar kencang
Karena aura memancar cahaya
Yang memiliki ruang keindahan

Jejak jiwa
Yang melukiskan wajahmu
Tak henti-hentinya mengisi tinta
Menuliskan perjalanan

Yogyakarta, 2010



Ketika Kuciptakan Malam Dalam Puisi

Detik dan jejak menjadi raba-raba
Sarau-surau berisi rasa
Dalam bidang yang tak terbaca
Untuk siapa dia berpahala

Senja yang mengantar malam
Jiwa yang menyambut kegelapan
Gelap yang menyelimuti kehausan

Aku tersesat di jalan
Dan malam tak memberiku ruang
Padahal aku ingin bermalam bersama puisi
Tidur di ranjang kelembutan
Bermesraan di hidangan yang tak terasa

Entah sejak kapan puisi bersikap seperti itu
Mulai manja dan bermalas-malasan
Sering marah tak mau bercerita tentang kehidupan

Apakah malam ini terlalu gelap
Atau ia sering kecapeaan
Melihat semesta yang sering tak bersahabat

Malam yang berhias bintang
Tak mampu mendamaikan hatinya
Bulan pun resah melihat ketaknyamanan

Lalu untuk siapa malam ini
Ketika lampu menyala dan sepi menganga

Kusimpan rapat-rapat rahasia malam
Puisi yang kini pilu tak mau diganggu

Maka, kuciptakan malam untuk diri
Agar kesendirian menyamai ketakhadiran

Tak mungkin kumenyalahkan malam

Jogja, 10-11

SEPERTI BIASA

Membangunkan terbaring teduh
Malahirkan benih-benih rindu
Yang lama akan menjelma
Sebuah keterpurukan waktu

Culas-culas matahari
Menyisakan sederet peristiwa
Membiarkan kuning keemasan
Mencuri sepertitiga diri

Kupersiapkan jiwaku di bius tenang
Kupersiapkan otakku dibius dengan tenang
Kupersiapkan tidurku dibius dengan tenang
Tuhan sampaikanlah

Yogyakarta, 2010


AKU INGIN

Aku ingin hidup damai
Bersama langit dan bumi

Hujan turun
Jernih dan deras

Akan kuracun cakrawala
Dengan kata-kata
Puisi menggetarkan semesta

Gemuruh ombak
Gemuruh langit
Gemuruh para penyair

Yogyakarta, 2010-2011

Pertanyaan yang Tak Terjawab

Tak seharusnya aku bayangkan sesuatu
Yang membuat jiwa gelisah dan merajau
Bintang tak selama kurengkuh
Sementara dipertigaan-perempatan peminta masih gembira
Membiarkan tangan menjadi tempat kekayaan

Tuhan memang tak perlu ditanyakan maksud
Tapi apakah salah sedikit bermaksud
Untuk memastikan bahwa mereka ada bersama kita
Hidup berdampingan menjadi masa yang tak biasa

Kita perlu untuk menghadirkan rasa
Sebagai bekal keberlanjutan kata
Walau tak ada yang menyuruh membias semesta, tapi
Apakah aku akan meng-iya pada hidup?

Berisilah semua kemenanyaanku
Untuk bersimpuh riuh menjadi bisu
Di tengah kekuatan para pemburu

Membiarkan, tak selamanya baik
Sebelum aku mampu menyentuh sesuatu yang paling terdalam
Itulah hakikat kemenyatuan;
Kemenyatuan bisu dan pemburu
Yang selamanya akan jadi batu

Tak ada jalan menuju keberagaman salju
Selagi kita masih mementingkan sendiri
Untuk mengisi ruang itu, dan mengatakan
“Aku pemimpinmu” yang tak bisa tanggungjawab

Birokrasi memang terlalu kejam
Engkau akan di buang jika tak searah
Padahal banyak angin yang memberi tujuan
Untuk sampai pada kemenangan waktu

Tapi mengapa engkau tak mengikutiku; kata angin

AC terlalu nyaman, sementara engkau terlalu alami
Untuk seorang pejabat tinggi seperti aku

Aku akan tetap di sini walau tanpa angin yang memeluk
Karena engkau biasa dari ketakmengetian dan membiarkan kenikmatan mati

Jogja, 2011




*Penyair. Lahir di Desa Banjar Barat, Gapura Sumenep, Madura, Aktif menulis di media massa baik lokal maupun nasional. Buku antologi puisi bersamanya adalah “Puisi Menolak Lupa” (Obsesi Press, 2010) “Madzhab Kutub” (Pustaka Pujangga, 2010) dan Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010 Dewan Kesenian Jatim. Kini tinggal di Yogyakarta.


Hp; 085233199668

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura