Hanya Air Mata Film Indonesia Menjadi “Ada”

Oleh: Matroni el-Moezany*

Tema di atas sengaja saya angkat untuk sama-sama melihat realitas publik per-film-an Indonesia saat ini dan akhir-akhir ini. Sangat banyak film Indonesia yang konfliknya hanya sebatas air mata, artinya ketika konflik dalam film dan konflik tersebut sampai dia menangis, maka di sanalah letak ketertarikan film Indonesia saat ini bahkan air mata sebagai puncak konflik dalam film tersebut. Apakah tidak ada konflik lagi sehingga hanya sebatas menangis, menangis dan menangis saja yang menjadi klimaks film Indonesia?
Dengan melihat realitas tersebut, secara tidak langsung pasti memiliki implikasi besar terhadap masyarakat. Jadi, kalau melihat film yang ada sudah banyak yang hanya bermain dengan cinta, cinta, dan cinta-cintaan. Lantas bagaimana bisa cerdas masyarakat kita kalau hanya acara TV setiap waktu sebatas itu-itu saja, tidak lebih. Bagiamana mungkin bangsa kita akan maju kalau hanya perfilman bangsa kita masih di ranah yang sangat dangkan dalam hal pendidikan dan mendidik. Artinya dalam hal ini bangaimana sutradara lebih cerdas lagi mencari permainan film, sedikitnya bagaimana film ketika dipublikasikan masyarakat melihat mendidik, tidak hanya cinta seperti masih anak-anak.
Apakah sutradara tidak malu, ketika film yang dia buat hanya cinta?. Misalnya Kepompong, Nikita, Sekar, Lia, Kasih dan Amarah, Sakina, Muslimah, Dewi, Air Mata Cinta, Hareem, Cinta Fitri, Cinta di Antara Dua Hati, Alisa, Cinta dalam Bola-Bola Coklat, Cinta Bunga, Melati Untuk Marfel, Terlanjur Cinta, Sang Juara, Inayah, Cinta Monyet, Cintaku, Monalisa, Cintaku Cinta Cintanya, Cinta Tak Kenal Bosan, Masihkah Kau Mencintaiku, Love Is Cinta, Aku Bukan Bidadari, Amanda dan masih banyak yang lain.
Itulah bukti nyata bahwa film Indonesia masih jauh untuk dikatakan film yang berkualitas. Jadi, tidak diherankan kalau artis-artis Indonesia juga tidak berkualitas. Kalau dari segi kecantikan mungkin ia, tapi dalam memerankan film sama sekali tidak seindah orangnya. Artinya kualitas film Indonesia tidak pantas dijadikan referensi awal dalam memperjuangkan kecerdasan masyarakat Indonesia. Sebab sutradara kita masih jauh dalam kualitas. Seperti film Cinta Fitri dikatakan masyarakat adalah film yang monomental akhir-akhirnya ini, anehnya walau film tersebut tidak lahir dari realitas masyarakat masih banyak yang suku. Seharusnya film itu berakhir, tapi masih dilanjutkan. Seakan-akan film Indonesia dipaksakan untuk selalu dilanjutkan padahal naskahnya sudah habis.
Fenomena kemudian yang terjadi adalah apakah para sutradara tidak pernah melihat film lain untuk dijadikan contoh, bagaimana sih film yang bagus dan berkualitas itu? seperti mereka tak peduli tentang kualitas yang penting bagi mereka materi. Jadi yang ada sekarang materialitik film (film meterialistika-kapitalis), tidak ada pemikiran untuk membuat film yang bermutu sebagai tontonan yang mencerdaskan bangsa. Saat ini di Indonesia belum ada film yang memang betul-betul mendidik dan mencerdaskan masyarakat, walau pun ada tapi masyarakat bayar mahal untuk menyaraksikan film yang berkualitas.

Film
Dalam hal ini adalah imajinasi, sebab imajinasi atau wujud imajinasi yang paling terlihat ke depan dalam mengekekspresikan kekuatan dan keluasan, kekayaan imajinasi adalah film. Film tidak hanya sebongkat fiksi, atau drama, puisi, dansa, musik, lukiasan, psikologi, agama dan filsafat dalam satu kesatuan. Tapi film sebuah jembatan yang paling canggih antara “dunia nyata” dan “dunia khayal”, antara “aktualitas” dan “fantasi”. Kita sudah sekali menyerap film karena dalam proses imajinasi dari film kita masuk ke dalam dunia fantasi (sebagai kreasi baru yang tercipta) dalam bentuk reproduksi dunia nyata sehari-hari.
Yang menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa film itu paling mudah mencekam orang sebagai media komunikasi terletak pada bentuk film itu sendiri yang sekaligus merupakan jembatan antara dua dunia. Artinya dalam peta permfilman kita ada kesamaan yang diproyeksikan “dunia kreasi” dan sekaligus dunia nyata yang dengan realitas sosial. Anehnya tidak semua orang sadar dan menyadari bahwa film merupakan reproduksi dari dunia nyata, tidak menyadari itu kecuali bila film putus-putus dan jelek. Kalau boleh katakan film Indonesia jauh dari itu semua. Beda halnya dengan media foto. Kita menyadari hanya sebagai reproduksi adari realitas atau dunia nyata (gambar mati) sedangkan film adalah gambar hidup. Gambar adalah sisi fantasi kreasi sedangan hidup adalah sisi riilnya.
Beda pula dengan lukisan yang menghadirkan dunianya sendiri, tergumpal dalam kanvas dan sapuan cat warna-warni yang memadat, tidak hidup seperti film. Maka lukisan memilik dunia sendiri. Film meninggalkan bekas-bekas dalam ingatan lebih lama seperti gores hidup sendiri, sedangkan lukisan hanya sekilas memberi kesan bagi mata kita lalu selesai. Film juga dalam medianya sendiri tidak perlu melebih-lebihkan dan mampu memuat tidak hanya satu aspek kehidupan saja tetapi rangkaian sejarah kehidupan. Saat ini Indonesia belum memiliki film yang benar-benar mengeksplorasi-kecerdasan. Artinya film Indonesia hanya sebatas konflik harta, harta, dan selalu harta.
Film yang disebutkan di atas kebanyakan konfliknya terletak pada harta, permusuhan, iri, dengki dan kekayaan yang kemudian melahirkan tangis dari aktor. Jadi jelas bahwa walau film lebih menonjol kadar imajinasinya serta kekhasannya dalam menjembatani antara dunia nyata dan dunia imaji. Di banding dengan bentuk-bentuk kesenian lain, film lebih mampu menjangkau dunia khalayak. Maka tidak heran kalau film lebih besar pengaruhnya dalam membentuk persepsi.
Lalu, apakah dengan melihat sejarah dan realitas film, sutradara tidak berfikir untuk lebih gejenius lagi mencari tema yang lebih berkualitas dibanding hanya cinta-cintaan, atau mencari tema yang lebih mencerdaskan daripada hanya iri dan dengki. Jadi harapan masyarakat umum bukan hanya tangis, tapi bagaimana film Indonesia kita lebih mendidik dan tidak cenging.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura