Catatan Perjalanan Dari Tepi Mimpi
Belum lagi angin datang
membuang lapar
seisi semesta layu
cakrawala menjadi jurang
impian hanya puncak dari segala gunung
perahu sembunyi di balik bunyi
yang tertinggal gaung melengkung
berdesah menjadi rintih
pada burung yang menghapus udara
sayapnya tak bersejarah
sepenggal mimpi tinggal sendiri
burungburung pergi
meninggalkan mimpi
melenyap mimpi
di ujung sana
Yogyakarta, 2008
Tiada
tiada yang kau haruskan
karena tiada sang penilai untuk-nya
Yogyakarta, 2008
Zaman
zaman apakah ini ibu?
banyak orang kelaparan
ada anak kecil meminta
ada orang menangis
apa mereka itu tidak bisa berpuisi
bisa, jawab ibu,
aku terharu
aku ingin menangis
kalau seperti ini
mau diapakan
jiwa dan rasa ini ibu?
simpan dan lihatlah
karena kau tidak bisa
berbuat apa-apa
lalu siapa
presiden?
pemerintah?
ilmuwan?
sastrawan? Bukan, siapa?
Kita?
kita juga kita
tidak kita yang seutuhnya dalam jiwa
Yogyakarta, 2008
Gejolak Jiwa yang Rapuh
Malam yang aku harap
mati dalam jurang matamu
dan hilang dalam kelopak waktu
Adalakah zaman dan kita
yang bisa mengobah sesuatu?
kita hanya bisa bertanya
Karena belum bisa
melayani itu semua
Yogyakarta, 2008
Sekali Selesai Hari Ini
Sekali selesai hari ini
senja hilang bersama burung
seribu kata pergi menyesal
tanpa risau dan galau
tanpa raga dan jiwa
hari ini hilang
bersih sehampa kanvas
kau menangis sendiri
sejati
Yogyakarta 2008
Inginkah?
Kalau kuingin mengatakan ingin
Tapi, kau tidak tahu
Apa arti sebuah bunga atau yang lain
Yogyakarta, 2008
Di Tubuh Senja
Senja yang berdiam
Celurit di sebuah ketika adalah uratku
Yogyakarta, 2008 Kesejukan, Itukah Aku
Dari kata yang memukau
dan menyuburkan tanah
kutanami bunga yang anggun
lalu kau menangis lagi
gelisah di tengah sawah
juga sepanjang sejarah
huruf harapan tiada waktu
tanpa biji kecuali liur
tanpa pupuk kecuali risau
Aku tahu, kau tak mengerti
tiada waktu, mewaktu
kala sinar yang kita buahi
tak ada semesta
kecuali satu, kesejukan
dimana rumahmu berpeta
kita segera tahu
tiada guna tanah yang tak bercacing
dan kering
kau boleh menangis
begitu pun kau memperbolehkan aku menangis
lalu kau buta bilang dalam jiwa, untukku
tiada lagi tepi, yang kau beri padaku
cacing adalah kesejukan
kesejukan adalah cacingku
ibu risau dengan segala risaumu
Semesta ini lembut
saburan airmata pada tanah
dan kuburan miring tempat kita
berkalang dalam ulat
Yogyakarta, 2008
Pizza di Pagi Buta
senyum pagi?
Kengerian jiwa
yang tak kau mengerti, apa?
adalah tanda keberhentian waktu
Yogyakarta, 2008
Kesaksian
Bila mata menjadi saksi
Dimanakah kau selipkan kata-kata
Bila kata-kata menjadi saksi
Dimanakah kau selipkan rasa
Bila rasa menjadi saksi
Dimanakah kau selipkan tingkah
Yogyakarta, 2008
Kosong
Inilah semesta yang kubawa dari desa ke kota
di sana aku menyimpan rasa, rintik dan hujan
sebentuk waktu dari malam yang kosong
bukalah, semesta
bukalah……
Wahai atas yang bernanah, izinkan mata agar luka
tak membuat risau
Nanah gersang biarlah gersang
lihatlah cinta jadi sunyi dan
rindu benar mati seiring rempah-rempah
Disini,
wajah desa laksana wanita gelisah
ayat-ayat sampah, berlalu-lalang
ah, masih adakah jembatan antara mimpi ke plaza
Waktu pergi seperti terlepas dari hadapanku
sementara langkahku hilang di jalan
Mungkin aku sudah menjadi hantu
diantara gedung-gedung di tepi jalan
di puisi laparku, sepasang kata tumbuh
setinggi puisi, setingggi cintaku, padamu….
Yogyakarta, 2008
Di balik jauh yang terlalu
Di balik jauh yang terlalu
kuhirup masa pada waktu basah
Jika rasa dan basah
di ladang luas
kutebar mata untuk melihat
kejenuhan yang lembut
Bila matahari menghilang, maka
hilang pula aku
bila aku menghilang, maka
hilang pula rasa
Matahari tetap erat memegang diri
semesta tak akan sempurna kau eja
karena semesta punya dua lisan
jiwa dan rasa
Akan kuharap rahasia terdalam
di surau sunyimu
Yogyakarta, 2008
Sejenak Kata
Maka, sejenak kata
di rasa pada bahasa
mengalir seumpama air
di atas pusara
Pada gubahan titik labirin
yang tak tersentuh
mungkinkah terbaca?
Yogyakarta, 2008
membuang lapar
seisi semesta layu
cakrawala menjadi jurang
impian hanya puncak dari segala gunung
perahu sembunyi di balik bunyi
yang tertinggal gaung melengkung
berdesah menjadi rintih
pada burung yang menghapus udara
sayapnya tak bersejarah
sepenggal mimpi tinggal sendiri
burungburung pergi
meninggalkan mimpi
melenyap mimpi
di ujung sana
Yogyakarta, 2008
Tiada
tiada yang kau haruskan
karena tiada sang penilai untuk-nya
Yogyakarta, 2008
Zaman
zaman apakah ini ibu?
banyak orang kelaparan
ada anak kecil meminta
ada orang menangis
apa mereka itu tidak bisa berpuisi
bisa, jawab ibu,
aku terharu
aku ingin menangis
kalau seperti ini
mau diapakan
jiwa dan rasa ini ibu?
simpan dan lihatlah
karena kau tidak bisa
berbuat apa-apa
lalu siapa
presiden?
pemerintah?
ilmuwan?
sastrawan? Bukan, siapa?
Kita?
kita juga kita
tidak kita yang seutuhnya dalam jiwa
Yogyakarta, 2008
Gejolak Jiwa yang Rapuh
Malam yang aku harap
mati dalam jurang matamu
dan hilang dalam kelopak waktu
Adalakah zaman dan kita
yang bisa mengobah sesuatu?
kita hanya bisa bertanya
Karena belum bisa
melayani itu semua
Yogyakarta, 2008
Sekali Selesai Hari Ini
Sekali selesai hari ini
senja hilang bersama burung
seribu kata pergi menyesal
tanpa risau dan galau
tanpa raga dan jiwa
hari ini hilang
bersih sehampa kanvas
kau menangis sendiri
sejati
Yogyakarta 2008
Inginkah?
Kalau kuingin mengatakan ingin
Tapi, kau tidak tahu
Apa arti sebuah bunga atau yang lain
Yogyakarta, 2008
Di Tubuh Senja
Senja yang berdiam
Celurit di sebuah ketika adalah uratku
Yogyakarta, 2008 Kesejukan, Itukah Aku
Dari kata yang memukau
dan menyuburkan tanah
kutanami bunga yang anggun
lalu kau menangis lagi
gelisah di tengah sawah
juga sepanjang sejarah
huruf harapan tiada waktu
tanpa biji kecuali liur
tanpa pupuk kecuali risau
Aku tahu, kau tak mengerti
tiada waktu, mewaktu
kala sinar yang kita buahi
tak ada semesta
kecuali satu, kesejukan
dimana rumahmu berpeta
kita segera tahu
tiada guna tanah yang tak bercacing
dan kering
kau boleh menangis
begitu pun kau memperbolehkan aku menangis
lalu kau buta bilang dalam jiwa, untukku
tiada lagi tepi, yang kau beri padaku
cacing adalah kesejukan
kesejukan adalah cacingku
ibu risau dengan segala risaumu
Semesta ini lembut
saburan airmata pada tanah
dan kuburan miring tempat kita
berkalang dalam ulat
Yogyakarta, 2008
Pizza di Pagi Buta
senyum pagi?
Kengerian jiwa
yang tak kau mengerti, apa?
adalah tanda keberhentian waktu
Yogyakarta, 2008
Kesaksian
Bila mata menjadi saksi
Dimanakah kau selipkan kata-kata
Bila kata-kata menjadi saksi
Dimanakah kau selipkan rasa
Bila rasa menjadi saksi
Dimanakah kau selipkan tingkah
Yogyakarta, 2008
Kosong
Inilah semesta yang kubawa dari desa ke kota
di sana aku menyimpan rasa, rintik dan hujan
sebentuk waktu dari malam yang kosong
bukalah, semesta
bukalah……
Wahai atas yang bernanah, izinkan mata agar luka
tak membuat risau
Nanah gersang biarlah gersang
lihatlah cinta jadi sunyi dan
rindu benar mati seiring rempah-rempah
Disini,
wajah desa laksana wanita gelisah
ayat-ayat sampah, berlalu-lalang
ah, masih adakah jembatan antara mimpi ke plaza
Waktu pergi seperti terlepas dari hadapanku
sementara langkahku hilang di jalan
Mungkin aku sudah menjadi hantu
diantara gedung-gedung di tepi jalan
di puisi laparku, sepasang kata tumbuh
setinggi puisi, setingggi cintaku, padamu….
Yogyakarta, 2008
Di balik jauh yang terlalu
Di balik jauh yang terlalu
kuhirup masa pada waktu basah
Jika rasa dan basah
di ladang luas
kutebar mata untuk melihat
kejenuhan yang lembut
Bila matahari menghilang, maka
hilang pula aku
bila aku menghilang, maka
hilang pula rasa
Matahari tetap erat memegang diri
semesta tak akan sempurna kau eja
karena semesta punya dua lisan
jiwa dan rasa
Akan kuharap rahasia terdalam
di surau sunyimu
Yogyakarta, 2008
Sejenak Kata
Maka, sejenak kata
di rasa pada bahasa
mengalir seumpama air
di atas pusara
Pada gubahan titik labirin
yang tak tersentuh
mungkinkah terbaca?
Yogyakarta, 2008
Komentar