Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2015

SAJAK BANGSA

Gambar
Pohon dan tanah aku rawat tiap hari tak membiarkan anak-anak dan ibu-ibu membawa beban sendiri bersama puisi, aku rawat segala kehijauan bersama bangsa, aku berikan kedamaian bersama kemerdekaan, aku lahirkan kemenangan tubuhmu aku rawat dengan filsafat kusiram dengan air ketakterhinggaan kutanam di tanah kesejukan bangsa adalah potongan-potongan huruf hijaiyah potongan-potongan daun yang jatuh dari ranting yang dihadirkan waktu ke dalam ketajaman mata dan dada laut boleh kering, tapi ikan-ikan tak boleh mati apalagi bangsa yang hidup di dua hakiki yang melampaui darat dan air ‪#‎ dnp6‬ *) Dimuat dalam buku NEGERI LAUT: DARI NEGERI POCI 6

Ibu Kota Sebenarnya

“Menurut kalian ibu kota Indonesia dimana?” Tanya Hendro “Anak KKN menjawab Jakarta, sementara Niji diam, karena pertanyaan itu bagi Niji sudah lama, tapi mengapa Hendro bertanya hal itu kembali” Malam dingin, ruangan penuh suara tawa, karena pertanyaan itu, ditanyakan dengan santai sambil tertawa. Sementara di luar sinar redup menyelimuti kegelapan dan pohon-pohon mengisyarakan adanya malam dan dingin semakin mengigit. Perempuan-perempuan di ruang itu, masih asyik membuat kopi hangat, karena malam itu malam yang sebenarnya, penuh dingin. “Ayo-ayo apa” sambil tertawa “Desa” jawab Hendro “Kok bisa?” kaget perempuan-perempuan itu “Andai saja tidak ada desa, kota tidak akan ada, andai orang desa tidak menanam padi, ketela, dan lain-lainnya, orang kota tidak akan bisa makan, adanya kota karena desa. Banyak orang desa pergi ke kota, menjadi orang kota. Padahal sebenarnya mereka orang desa, karena pindah ke kota akhirnya kota ada, jadi kota ada karena desa. Jadi orang kota j

Dimanakah?

Malam berikutnya, bulan terbit lebih lambat, karena awan lebih tebal dari malam sebelumnya. Niji kembali menuliskan perjalanan waktu. Membaca perjalanan Negara. Perjalanan yang sebenarnya terlalu banyak lekuk dan lengkungan. Sementara penguasa negeri ini selalu berkata demi rakyat, tapi kenyataannya demi kepetingan dirinya sendiri. Kelompoknya sendiri. Partainya sendiri. Hari-hari Niji penuh kegalauan, kegelisahan. Ketenangan masih di simpan Tuhan. Pemimpin kita masih saling sikut, saling menyalahkan, tak ada yang ingin mengaku, semuanya memiliki ahli hokum alias pengacara untuk memenangkan hal itu. Pemimpin kita seperti pertandingan, semuanya ingin menang, tak ada yang mau kalah. Padahal dalam sebuah pertandingan harus ada yang kalah. Anehnya di sebuah Negara pemimpinnya tak ingin dikalahkan semuannya ingin menang. “Sementara rakyat dibiarkan meminta, di beli dan di jajah kapital” “Pemimpin negari ini gimana sih” Tanya orang gila di tepi jalan Mangkubumi Tiba-tiba pagi itu