Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2015

Mencari Titik Cahaya

Malam Minggu, tanggal 28 Mei 2011, kamar sebelah ramai dan ribut dengan game. Niji menyendiri di kamarnya membaca novel Gunung ke Lima Paulo. Dua hari berikutnya Niji berfikir tentang keadilan Allah. Apakah Allah benar-benar adil dalam menangani alam semesta? Niji berfikir bahwa dirinya selalu gelisah tentang dirinya yang hidup tak menentu. Sebagai penyair dunia, Niji masih hidup biasa, berteman dan berguru pada siapa pun termasuk pada alam semesta. Niji yakin alam semesta lebih pintar dari Prof. Dr. guru besar, guru, dan dosen. Waktu hari Senin yang seharusnya Niji puasa, dia tidak puasa. Alasanya “Aku masih murka pada Allah” “Mengapa” tanya perempuanku “Entahlah kadang Allah harus aku murkai, agar Allah paham bahwa aku benar-benar berharap pertolongan-Nya” “Pertolongan apa” “Semua apa yang kujalani dan apa yang kuharapkan dari kehidupan ini” “Apa itu” tanya perempuanku serius “Aku ingin hidup cukup, aku ingin ada, pingin itu ada, aku ingin hidupku layak” “Ap

Hanya Uang

Haruskah keselaluan kita menjadi ada, padahal kita sendiri kadang juga belum kenal siapa dirimu, apakah kita pernah melihat dirimu sendiri? Atau kita pernah melihat bahwa dalam tubuh ada otak, perut, dan hati? Itu saja kadang kita belum pernah melihatnya, padahal itu dunia nyata dan berbentuk benda. Satu lagi, apakah kita pernah melihat bahwa otakmu berfikir ini-itu? Memang rumit ketika berbica pada manusia sebagai manusia, ia tak akan pernah puas dengan dirinya sebagai manusia. Kadang ia menyesal karena tak berbuat baik. Kadang penyesalan itu tiada. Memang begitulah ketika dunia manusia berbicara. Di dunia ini siapa yang tak bisa menulis dan berbicara. Semua orang bisa. Tapi yang tak bisa hanya satu yaitu bagaimana ia mampu mengaplikasikan apa yang ia tulis untuk kenyataan. Tindakan nyata.   “Apalagi di dunia kampus, politik, dunia kekuasaan dan birokrasi” Luar biasa cerdasnya mereka, tapi yang dia bicarakan ya, itu-itu saja, tak ada jawaban apa yang diinginkan kemanus

Berjalan dalam waktu

Keinginan kadang tidak sesuai apa yang diharapkan. Di jalanan menuju keberlanjutan banyak lekuk yang harus di tepis dengan bijak. Di kebijaksanaan inilah manusia terjebak untuk selalu mengikuti dirinya sendiri, padahal setiap manusia memiliki batas dan kemampuan yang sangat berbeda dalam menyikapi hidup dan formalitas. Sementara Niji harus menyikapi itu, bagaimana dia tidak salah terhadap nasehat dan juga tidak keliru terhadap dirinya sendiri. Dua harapan yang mungkin rumit untuk masuk dalam kehidupan Niji. Tapi sampai detik ini nasehat itu masih menyelimuti Niji, di samping dia seorang kakak yang harus perhatian terhadap adiknya. Tapi apakah salah kalau dalam satu keluarga memiliki perbedaan? Tentu tidak. Perbedaan inilah yang selalu menemani matahari tiap hari, menemati waktu dan malam. Tapi mengapa Niji gelisah dengan perbedaan nasehat itu. Entahlah? Niji masih memproses kegelisahan itu agar keputusan nanti tidak mengecewakan dirinya dan nasehat itu.   Tapi itu masih ad

Mencari Matahari

Bulan Juni tanggal 18 dua ribu sepuluh Niji Munaqasah, pada bulan Agustus tanggal 7 Niji wisudah, saat dimana Niji menjadi sedih karena kekasihnya tak datang, alasannya sakit. Walau kesedihan itu hanya sebatas materi, alias absurt. Entah mengapa walau Niji bertiga dengan Ibu dan bapak, Niji senang, dan bahagia karena kedua orang Niji datang mendampingi Niji wisudah. berfoto bertiga, walau adik-adik Niji ikut, mereka tak mendampingi di kampus, mereka hanya menunggu di kos. Akhirnya Niji foto-foto di kos bersama adik-adik dan keluarga yang lain. Tapi senang dan bahagia menjadi satu jalan menuju pintu yang belum Niji rasakan sebelumnya. Kebanyakan orang setelah wisudah bingung, dan mau kemana? Itu pertanyaan orang-orang pencari materi, walau Niji juga mencari, tapi seberat apa yang diharapkan kebanyakan orang. Bagi Niji wisuda bukan jalan mencari kerja, tapi jalan menuju pengabdian pada orang lain dan masyarakat. Bukan mengabdi pada harta dan kekuasaan, apalagi sistem. Ilmu yang di

Menunggu Matahari

Untuk menginjak keberlanjutan, Niji tambah sebel. Dia lelaki baik, walau pun kadang ia terpaksa bersikap kasar atau berpikir kasar, itu dilakukannya untuk tujuan yang lebih mulia. Mengabdi pada rakyat, menyelamatkan kaum marginal dari penderitaan karena penguasa, mengikuti langkah cahaya dalam hidupnya, hanya Allah. Yang Maha adil bagi hambanya. Ketika Niji mendengar uang rakyat di curi sampai miliaran, menurut saya, kata bapak-bapak yang berumur 50 tahun ketika Niji nonton TV bareng , koruptor itu di gantung di cambuk, dan di tembak mati disiarkan di telivisi agar rakyat tahu, ini lho yang mengambil uang kamu, kata bapak Aris sambil nonton siaran tv. Hanya teroris yang di tembak mati, koruptor juga lho, lanjut bapak Aris. Setelah Niji mendengar penjelasan bapak Aris tadi. Niji berpikir mana lebih banyak dampak teroris dengan koruptor terhadap rakyat? Mengapa undang-undang lebih tragis terhadap teroris daripada koruptor? Padahal undang-undang untuk koruptor masih bisa dipol