Mencari Matahari
Bulan Juni tanggal 18 dua ribu sepuluh Niji Munaqasah, pada bulan Agustus
tanggal 7 Niji wisudah, saat dimana Niji menjadi sedih karena kekasihnya tak
datang, alasannya sakit. Walau kesedihan itu hanya sebatas materi, alias
absurt. Entah mengapa walau Niji bertiga dengan Ibu dan bapak, Niji senang, dan
bahagia karena kedua orang Niji datang mendampingi Niji wisudah. berfoto
bertiga, walau adik-adik Niji ikut, mereka tak mendampingi di kampus, mereka
hanya menunggu di kos. Akhirnya Niji foto-foto di kos bersama adik-adik dan
keluarga yang lain. Tapi senang dan bahagia menjadi satu jalan menuju pintu
yang belum Niji rasakan sebelumnya.
Kebanyakan orang setelah wisudah bingung, dan mau kemana? Itu pertanyaan
orang-orang pencari materi, walau Niji juga mencari, tapi seberat apa yang
diharapkan kebanyakan orang. Bagi Niji wisuda bukan jalan mencari kerja, tapi jalan
menuju pengabdian pada orang lain dan masyarakat. Bukan mengabdi pada harta dan
kekuasaan, apalagi sistem. Ilmu yang didapatkan di kampus bukanlah untuk diri
sendiri, melainkan untuk orang lain dan masyarakat. Dan Tuhan yang kita mintai
akan mengikuti kita, sebab Tuhan akan selalu menjadi tempat pengaduan kita,
walau kita salah dalam beretika terhadap Tuhan. Tak sepantasnya kita mencari
ilmu hanya tujuan mencari kerja, tapi bagaimana ilmu yang kita dapat bermanfaat
terhadap orang lain dan diri sendiri.
Ilmu bukan alat untuk mencari kerja, tapi alat untuk memberi pencerahan
terhadap rakyat, terhadap diri sendiri, dan hasil kerja kita. Sebab kalau kita
ingin kerja, tidak usah kuliah, karena wilayah kerja sesuatu yang sangat
relatif dan semua mampu untuk kerja. Jadi kerja adalah kerja itu sendiri,
sedangkan ilmu adalah wahana untuk mengetahui apa yang kita kerjakan? Apa
manfaat kerja? Mengapa kita harus bekerja? Bagaimana hasil kerja memiliki guna
untuk orang lain dan diri sendiri?
Pertanyaan itu yang mengganggu keseharian
Niji. Detik tak bermakna adalah keberagaman makna yang belum mampu Niji baca. Kekinian
yang tajam kejam. Sangat sulit melahirkan kesadaran. Mental terbunuh, jiwa terhapus
dari jiwa yang sebenarnya. Rasa tak memiliki roh apa-apa. Pertanyaan Niji tak
membuat kelalaian dan kekejaman zaman ini menjadi selesai dengan dijawabkannya
pertanyaan itu. Terlalu Sakitnya Melahirkan Kesadaran.
Aku berlari di hatimu
Karena takut kata-kataku
mengering
Kegersangan, kedangkalan, dan
kebingungan
Dipantai ketiadaan
Hidup dari tubuhku yang berwaktu
Walau masa lalu kejam
Kekinianku lebih kejam
Baru sekarang aku kesakitan
Melihat kematian kesadaran
Padahal sadar itu milikku
Menyadari juga milikku
Mengapa dibiarkan
Tersandung kekinian
Hidupku menjadi sampah
Mati dan terlempar
Aku tak ingin terbunuh oleh
diriku
Malam
Tak berdetak melihat di tepi
rindu
Kesunyian yang mengitari tradisi
Hidup di ruang waktu
Akan hampa
Jika kita tak mampu memberi roh
pada mereka
Seharusnya dengan dilahirkan bayi kesadaran, mereka senang, bahagia, tapi
mengapa kekinian benar-benar tak mengakui bahwa itu anak mereka yang harus di
rawat di didik sampai anak itu dewasa, mampu membaca tanda, makna, simbol, dan
bahasa Tuhan. Tapi itu semua hanya menjadi nyanyian palsu:
Sudah lama aku
simpan dikotak jiwa
Sarapan masa
yang tak banyak kita tahu
Gelap terang
cahaya malam
Tak juga
kuhiraukan
nyanyian
cahaya mengutusku
Lewat pesan
tanda dan makna
Entah mengapa
aku tetap tak menyampaikan
Banyak sajak
kulahirkan
Banyak dosa
kuberikan
Banyak rasa
kusampaikan
Tapi mengapa
tak banyak perubahan yang kuberikan
Rekaman yang kini sudah terasa pelan-pelan mengikis jiwa. Mengikis sadar,
mengikis menyadari dan mengikis kesadaran kita, mereka dan aku, tak mampu kita
bendung, karena kekinian terlalu halus lembut licin seperti belut. Melecut
meleset dari tangan, sehingga perjalanannya menuju diri tak bisa kita hadang.
“Kata siapa tak bisa di hadang”?, tanya seorang diri di tepian sana
Buktinya banyak teman-teman kita zaman ini yang larut dalam kekinian yang
terluka. Gelisah, dan keterpesonaan. Kita tak menyadari bahwa kekinian itu kadang
melukai kita, menyakiti kita. Kini sungguh luar biasa menggerogoti tubuh kita membawa
tubuh kita, melemparkan diri dan pemikiran kita, itulah bukti bahwa kekinian tak
selamanya memiliki ruang yang indah.
“Apakah kamu masih belum melihat kekejaman itu?”
Sekarang belum ada orang yang benar-benar berani. Berani melawan
ketidakadilan, melawan kekejaman, dan melawan dirimu sendiri. Tapi kebanyakan
kita adalah orang-orang yang larut dalam keseharian. Keseharian akan menjadi
ladang yang sangat indah jika kita mampu meramu, juga sebaliknya keseharian
akan menjadi penyakit, menjadi penderitaan. Jadi bagaimana kita menyikapi,
mengambil, memaknai, dan memberi nilai-nilai kearifan keseharian itu sendiri.
Niji bersikap damai, santun, santai, dan reflektif-kritis terhadap
keseharian itu. Kita boleh mengisi waktu senggang dengan rekreasi, pergi ke
mall, dan liburan luar negeri, tapi Niji resah dengan bersikap seperti itu. Berdamai
dengan alam, berdamai dengan orang lain, tentunya berdamai dengan Tuhan. Kalau
kita ingin berdamai dengan Tuhan, kita harus berdamai dulu dengan alam.
26 November 2010 Niji menjadi relawan kemanusiaan, saat ini Gunung Merapi
meletus sangat dahsyat. Rumah-rumah di sekitarnya hancur berkalang tanah,
memakan korban nyawa dan jiwa. Banyak orang menyebarkan nasi bungkus ke
berbagai barack pengungsian, saat ini relawan seakan menjadi manusia yang
memiliki makna luar biasa, tapi di balik itu semua relawan hanya menjadi
relawan yang tidak memiliki makna apa-apa, karena relawan sudah menjadi liptick
belaka.
Ada relawan yang berangkat dari formalitas, KKN dari perguruan tinggi
walau pun KKN ini tidak sepenuhnya, karena KKN hanya enam puluh hari, setelah
itu selesai KKN, padahal korban Merapi belum selesai secara tuntas. Lalu apa
makna KKN yang perguruan tinggi menerjunkan mahasiswa, ketika KKN memiliki
waktu untuk mengabdi pada masyarakat. Apakah perguruan hanya membutuhkan
laporan sehingga tidak peduli di lokasi selesai atau tidak. Sementara mahasiswa
juga hanya dan Cuma ingin nilai. Okey, tidak masalah kalau KKN tidak ada
bencana, kita boleh memberikan waktu selama enam puluhhari, tapi kalau bencana
seperti ini akankah KKN hanya enam puluh hari cukup?
Kalau relawan dari perguruan tinggi sudah selesai, Niji masih terus
mendampingi korban merapi sampai di sana tuntas, maklum mahasiswa kan harus
belajar di ruang yang penuh system tak mutu, mahasiswa di transfer ilmu
pengetahuan tanpa henti oleh dosen, walau pun mahasiswa tidak mengerti apa? Yang
penting dosen mengisi waktu yang sudah ditentukan oleh fakultas, hanya dan Cuma
untuk memberikan pengetahuan, makanya saat ini banyak pengajar yang tak mampu
mendidik. Tahunya hanya menyampaikan pengetahuan.
Akhirnya tidak hanya bencana letusan gunung merapi, gempa bumi, lahar
dingin, sunami, akan tetapi kini yang terjadi bencana pengetahuan, bencana
eksistensi, bencana politik, dan bencana agama. Mengapa tidak? Haruskah Niji
menjelaskan? Tentunya tidak, karena sebenarnya mereka itu sadar, Cuma tidak
menydari saja.
Rumah, nyawa, dan harta yang hilang berkalang tanah tak bisa kembali. Masyarakat
di sana hanya menunggu sesuatu yang tak pasti, padahal kemenungguan itu tak
memiliki makna apa-apa, maka, bangunlah dengan diri sendiri, merdekanlah
dirimu, agar kemanjaan yang tertanam dalam dirimu tak selamanya menghamba pada
Negara. Negara akan selalu sombong jika masyarakat selalu meminta, dan mengemis.
Biarkan Negara sibuk dengan dirinya sendiri, menaikkan harga, menaikkan gaji, tapi
kita sebagai masyarakat bawah menyadari bahwa Negara hanya sebuah nama yang tak
memiliki fungsi apa-apa bagi rakyatnya.
Negara hanya dimiliki oleh orang-orang elitis. Tontonan bola di bulan Desember
2010 sampai mencapai satujuta, harga ini sangat tidak mungkin bagi kalangan korban
merapi dan masyarakat bawah. Tontonan menjadi tempat berpolitik dan menjual, walau
pun penjual banyak yang laku, apakah tidak melihat di luar sana masih banyak rakyat
yang ingin menonton secara langsung terkendala oleh harga tiket yang sangat
mahal.
Bola Indonesia aneh, padahal belum menjadi juara sudah seperti dewa, di
agung-agungkan, hanya final, itupun masih di taraf asia belum dunia. Keterpesonaan
mereka terlalu berlebihan, akhirnya bukan permainan yang bagus dilapangan, tapi
terlalu suka sama orangnya bukan pada mainnya. Eufo ria yang berlebihan mereka tak
sadar kalau itu hanya masih di ruang sangat kecil. itu bukan apa-apa.
Sepertinya sudah Wah! Padahal permainan tak seberapa. Bermain di ruang
kecil sudah seperti itu, bagaimana persepakbolaan Indonesia mendunia, mungkin
orang akan merayakan dengan bunuh diri, dari saking fanatiknya. Kita boleh suka
dan cinta pada bola, akankah harus fanatik dan diagung-agungkan? Biasa aja
kali!
Tanggal 29 Desember 2010 Niji kembali bersemangat, “Akan kuciptakan
Filsafat cinta dalam keseharianku” dia berkata.
Aku ciptakan filsafat cinta dalam keseharianku, bagiku cinta ada, bukan
untuk dipikirkan dan dirasakan, karena ketika cinta dirasakan dan dipikirkan ia
akan menjadi bara yang akan membakar semesta dan tidak seorang pun yang mampu membendungnya.
Bagiku cinta yang aku ciptakan bukan semata-mata ada dengan sendirinya, tapi
cinta yang bisa untuk di-ada-kan dalam dua dunia Aku dan orang lain.
Mengelola, menyikapi, membaca, saling memberi dan saling mengisi dalam
keberlanjutan itulah filsafat cinta sebenarnya. Jika seseorang bunuh diri, stress,
dan gila katanya karena cinta, itu salah besar. Cinta tak memiliki tujuan
seperti itu, cinta tak memiliki hati seperti itu, cinta tak memiliki kejahatan,
keburukan, kesesatan. Mereka melakukan bunuh diri, gila karena mereka belum
memahami apa arti yang sebenarnya.
Walau pun setiap manusia memiliki cinta, tapi kalau belum mampu membacan
dan memahami cinta, dia akan sia-sia dalam menjalani hidupnya. Jangan salahkan
cinta jika engkau mati tak berdaya. Sebab cinta tak mengajarkan engkau mati dan
bunuh diri, tapi cinta melebihi itu, cinta mengajarkan kebijaksanaan, kearfain
dan kebersamaan.
Tidak cukup kita hanya mengartikan sesuatu, cinta misalnya, karena di
luar diri manusia ada banyak nasehat yang kadang belum terpikirkan yang datang
dari seseorang juga dari analisis membaca realitas.
Realitas yang kita lihat padahal bukan yang sebenarnya. Niji bingung,
seperti apa realitas yang sebenarnya jika yang aku lihat ini bukan realitas
yang sebenarnya?
Kini kebertanyaan Niji kembali mengelola dirinya. Nasehat malam itu,
membuat Niji harus berpikir, merenung bahkan ingin rasanya merobek ijazah yang
didapatkan di kampusnya. Kenyataan selalu berkata lain, padahal keinginan Niji
untuk menempuh masa depan selalu dia pikirkan, tapi mengapa nasehat itu mampu mempengaruhi
Niji.
Apakah nasehat itu di ikuti atau harus dijadikan likuan hidup yang juga
penting untuk diperhitungkan. Atau pemberi nasehat itu sudah tak ingin membantu
apa yang dicita-citakan Niji, sehingga dia kadang menyuruh Niji pulang rumah.
Berkabutlah jiwa dan pikiran Niji berisi berbagai nasehat, tapi yang mana
harus di ambil. Sebab tidak mungkin Niji ambil semua nasehat itu. Niji manusia
biasa yang belum mampu menelan semua nasehat. Niji memang harus banyak belajar
tentang masa depan masa menuju kehidupan selanjutnya.
Pagi sudah menemui wajah Niji, sementara nasehat itu masih berteduh untuk
di olah dan dikembangkan, harus diapakan nasehat itu, apakah harus di buang
atau biarkan ia ada di sana, sampai Niji benar-benar mau untuk mengikuti
nasehat itu?
Malam itu sampai Pagi, Niji benar-benar terujuk untuk ada bersama
nasehat, tapi Niji ingin menyelesaikan proses kreativitas untuk lebih maju dan
berkembang sesuai apa yang diinginkan. Akankah itu akan terputus oleh nasehat
kakanya itu?
Keberlanjutan selalu Niji pikirkan, bagaimana berjalan sesuai apa yang
diinginkan kakaknya itu. Tapi Niji selalu berfikir bagaimana seharusnya aku. Akankah
aku harus ikut nasehat itu? Sementara perjalanan masih panjang. Di tengah
gejolak itu Niji selalu berkata pada Tuhan, berilah jalan damai dan riski yang
melimpah ruah kepadaku, agar keseimbangan hidup ini aku capai bersama diriku
dan orang yang akan mendampingi aku selamanya.
Itulah salah satu nasehat yang keluar malam itu. Aku nikah atau
melanjutkan s2, karena bagi kakakku belajar harus kuliah. Bunyi nasehat “karena
jika kamu ingin s2 kamu harus belajar bahasa inggris, itulah syarat untuk masuk
s2”, begitulah dia menashatiku. Aku percaya itu, untuk saat ini memang bahasa
orang lain sangat dibutuhkan di dunia kampus, entah mengapa? Yang jelas itu
salah formalitas kampus yang harus di penuhi semua orang untuk masuk s2.
Sementara Niji belum ada usaha ke arah itu, Niji masih menjadi relawan
Merapi waktu itu, jadi kakakku datang untuk memberi nasehat karena takut aku terlanjur
masuk di ranah yang tidak diinginkan dia.
Komentar