Di muat di Mimbar Umum Sabtu, 04 Mei 2013

ESAI : Menghadapi “Ketidakmenentuan” dengan Puisi


"sebuah ulasan puisi Iman Budhi Sentosa (Orang-Orang Malioboro 1969)”
Oleh: Matroni Muserang*
M
alioboro “banyak orang” mengatakan identik dengan para penjual dan pusat jajanan dan perhiasan, akan tetapi kalau kita melihat sedikit lebih dalam dan lebih luas, ternyata Malioboro tidak hanya sebatas itu. Malioboro menyimpan dan melahirkan banyak orang-orang hebat yang mampu menggetarkan cakrawala kesusastraan Indonesia. Malioboro sebagai pusat jajanan, maen-maen dan refreshing ketika menjadi objek untuk di baca dan dituliskan oleh orang-orang yang peka, cerdas dan kritis maka, Malioboro akan indah, bermakna, tapi tidak menutup kemungkinan Malioboro akan bermakna lain, tergantung bagaimana kita membaca dan menuliskan.
Dalam esai ini, saya sedikit ingin memberi catatan kecil terhadap puisinya Iman Budhi Sentosa yang berjudul “Orang-orang Malioboro 1969” yang diambil dari antologi puisi bersama “Antologi puisi Suluk Mataram 50 Penyair membaca Yogya” yang diterbitkan Great 2012.  
Bukan tanpa alasan penyair Chairil Anwar memersembahkan hidupnya untuk kesenian. Sapardi Djoko Damono yang mencoba memastikan bahwa kehidupan nyata lebih tidak logis dan lebih tidak masuk akal dari syarat menulis puisi. Rendra dengan alam mendamaikan amanat batin dan cetusan pikirannya dengan sarana ekspresi yang dapat menyampaikan pesan itu atas cara yang semakin membuat senyawa isi dan bentuk sebuah sajak menjadi hidup. Joko Pinorbo penyair celana dan sarung bersajak tentang hal yang sangat sehari-hari yang apabila dipersonifikasikan akan memerlihatkan dimensi kehidupan yang sering tenggelam dalam banalitas, tetapi bisa diajak bicara dalam dialog yang memikat dan penuh inspirasi (baca:Ignas Kleden).
Iman Budhi Sentosa yang berangkat dari Malioboro untuk menjadi penyair, tidak serta merta indah dan nyaman akan tetapi penuh ujian dan tunggang-langgang kehidupan; rumah kami Maliobro/ mata kami malioboro/hati kami Malioboro/buku kami Malioboro/puisi kami malioboro. Bagaimana seorang penyair mampu menggambarkan, mengolah sedemikian rupa sehingga melahirkan puisi yang indah, bermakna, dan memiliki roh yang kuat. Penyair dan puisi kalau saya boleh mengutip Mudji Sutrisno dalam Oase Estetis­ (2006) berpendapat, bahwa keduanya sama-sama bermuara pada pengalaman menghayati kehidupan ini.
Penghayatan kehidupan lewat bantuan pertanyaan dasariah, radikal dengan mengaitkan secara eksplisit pada pertanyaan mengenai siapa aku, apa artinya hidup ini, ke mana arahnya, bagaimana Iman Budhi Sentosa sebagai pelaku sastra yang hidup melihat ….di antara debu, trotoar dan tahun-tahun kelabu secarik kertas/,…mengeja lapar yang semalam tertunda tersangkut pada bentangan kabel telepon di atas kepala kita/Di pojok Stasiun Tugu, masih terlintas kereta demi kereta sedang kami malam menyimpan cemas dalam saku/dalam kata/dalam senyum/ketika hanya secarik catatan layak dibanggakan, dipamerkan/menyusuri Ijazah yang terlipat dalam angan-angan.
Lalu bagaimana ketika penyair ini menghayati hidup bersama sesamanya, apa tujuan dan arti hidup bersama sesamanya? Sedangkan puisi harus memaparkan pengalaman itu secara langsung, konkrit, detil tanpa membuatnya menjadi sistematis. Bahasanya diungkapkan secara langsung, indah mengalir memaparkan kehidupan yang ada. Kata-kata yang amat artistik dan penuh gairah perjuangan dalam melawan politik, kehidupan, agama, dan kebudayaan tentu saja sastra itu sendiri. Artinya, karena puisi ingin menyampaikan pesan lewat membahasakan pengalaman hidup, maka Iman Budhi Sentosa membahasakan ujaran, yaitu memaparkan dengan bercerita dan berpuisi berkisah lewat kata-kata.
Dimensi personal yang peka dan kritis melihat realitas adalah modal utama kita menelaah data-data yang kita saksikan. Tanpa dimensi personal ini sebuah sajak dengan mudah sekali tergelincir menjadi pamflet perjuangan atau orasi sosial-politik yang sunyi dari makna-makna; menyusuri Malioboro, pagar tembok asam merangkai sunyi/lebih dan santun dari hening rumah sendiri/kadang ada debat/mengadu kutipan-kutipan dari buku tua menguji jejak pujangga/menukar pena dengan tajamnya lidah yang tak terukur oleh rumus matematika. Apa yang mengharukan di sini bukan saja dan bukan terutama keadaan sosial dan masalahnya, tetapi sikap pribadi dan sentuhan personal penyair pada masalah dan kondisi sosial tempat dia terlibat secara langsung.
Dan inilah yang menjadi masalah kepenyairan kita saat ini. ada banyak penulis puisi yang hanya mengandalkan “imajinasi hampa” yang kadang luput dari realitas yang sebenarnya, maka tidak heran kalau Denny J.A menawarkan puisi-esai dalam menulis puisi agar ke“jujur”an juga dituliskan dalam bentuk potnoot. Potnot dalam puisi-esai hanya ingin membuktikan data yang penyair terlibat secara langsung atau tidak, walaupun puisi-esai ini masih mengundang perdebatan panjang.
Dalam sajaknya, Iman Budhi Sentosa dengan tegas memilih untuk berpihak pada para korban diskriminasi, dan seakan menitipkan protes, simpati, dan tekadnya melawan arus ketidakadilan melalui suara para aktor puisi, dan merasa memikul tanggung jawab untuk melakukan “pembelaan” diri terhadap mereka yang tidak sama dalam takaran hidup.
Iman Budhi Sentosa ditakdirkan untuk berhadapan dengan hambatan yang tak dapat disingkirkan dalam mencapai niatnya, sambil menderita lapar, tarap sosial hanya lantaran keyakinan yang dianutnya, dan mengalami persekusi oleh pihak yang memperlakukan mereka sebagai penyair, yang dalam praktik tak banyak bedanya dengan nasib para asongan dan kupu-kupu malam, yang tak diakui keanggotaannya dalam masyarakat dan menjadi tak ternilai dan tak bermakna secara sosial. Tapi, kami ada, disini/menyaksikan lampu-lampu menjelma merkuri/mengukur panjangnya langkah dari keraton hingga pemberhentian ini dengan baju lusuh/mulut tambu mengaduh/tanpa sedikitpun memandangi langit/negeri berawan yang robek dan belum terjahit. …/bertahun-tahun kami mengais remah cerita yang bertebaran di kali lima sepanjang Senisono sampai Hotel Garuda/ untuk bekal sabar mengolah musim dan cuaca/bertahun-tahun kami bertabrakan dengan angin pasat tenggara yang membuat bibir retak dan kering./..namun juga memberi tahu bagaimana belajar menjadi batu yang tak pernah lapuk dalam terkaman waktu.
Atas nama yang sama dan atas cara yang sama para penyair dari masa ke masa meluahkan kegelisahannya dengan berbagai cara penyampaian, dengan berbagai bentuk dan perbandingan, dan kita kadang merasa ragu apakah puisi mempunyai nilai penting karena otentisitas ekspresinya atau otentisitas masalah sosial yang diungkapkannya. Penyair Inggris William Blake yang hidup pada pertengahan abad ke-18 hingga awal abad ke-19, senantiasa menyanyikan kedukaan yang melanda masyarakatnya, dan pada suatu ketika merasa harus mengatakan dengan gayanya sendiri terbelahnya masyarakat antara mereka yang berada dalam kesenangan yang serba manis dan mereka yang terdampar dalam kegelapan derita yang tak kunjung putus (Ignas Kliden).
Terlepas apakah penyair ini berbicara lain, sepenuhnya saya serahkan kepada penyairnya, kenapa? di Malioboro, kami pernah menjadi bayi/pernah bertapa/sekaligus bercinta/pernah menyerupai sampah/pernah belajar mengeja/pernah tak dikenal tetangga/pernah menghitung bintang/mengikuti jejak tikus tua/membangun sarang yang nyaman/di bawah tanah kelahiran kedua yang bernama Yogyakarta. ***
Penulis, adalah Penyair

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani