Cakrawala Pemikiran Gus Mus



Judul : Gus Mus Satu Rumah Seribu Pintu
Penulis : Labibah Zain dan Lathiful Khuluq (eds.)
Penerbit : LKiS
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : xxiv + 295 hlm
Peresensi : Matroni el-Moezany*

KH. Ahmad Mustofa Bisri merupakan sosok tokoh yang universal,  bukan milik kalangan tertentu. Kini Gus Mus lebih banyak waktunya untuk tetap menyebarkan Islam ke berbagai daerah tanah air, bertemu dengan santri-santri dan berbagai kelompok masyarakat lainnya untuk bersilaturrahmi dan bekerja social. Melihat kegiatannya, Gus Mus tidak bias kita rumuskan siapa dianya melalui format-format status baku seperti apakah ia penyair, sastrawan, budayawan, mubaligh, cendikiawan atau apapun saja. Keterlibatan Gus Mus bersifat multideminsional. Ia juga sekedar seoarang guru rendahan di khalaqah, semacam pondok pesantren untuk ratusan bahkan ribuan anak-anak kecil di desanya di Jombang, Jawa Timur.
Dari keinklusifan Gus Mus memaknai Islam, dan budaya yang muncul dari kota, bukan dari desa. Karena lumrahnya, orang-orang desalah yang masih setia merawat Islam. Ini yang bikin Gus Mus bangga dengan desa. Gus Mus juga membaca buku-buku karya Abu al-A’la Maududi, Sayyid Qutub, Hasan al-Banna dan sebagainya, kebanyakan diterjemahkan orang kota. Gus Mus tidak melihat latar belakang dari kalangan deso atau pesantren yang menerjemahkan buku-buku ini.
Dan memang, diakui Gus Mus, kini semangat keberagamaan yang berlebihan justru muncul dari kota. Semisal Kota Jakarta, Bandung, Solo dan sebagainya. Karena demikian menggebu-gebunya dalam beragama, akhirnya timbul Islam yang terbuka untuk siapa saja. Artinya tidak mudah mengatakan kalau tidak seperti ini jahannam. Gus Mus menyayangkan semangat orang kota ini, karena acapkali kengototan itu tak dibarengi dengan ketekunan belajar agama. Akhirnya, yang terjadi adalah ketidakseimbangan antara semangat keberagamaan dengan pemahamannya terhadap ajaran agama. Repotnya, mereka merasa seolah-olah mendapat mandat dari Gusti Allah untuk mengatur orang di dunia ini.
Gus Mus juga mengritik perilaku anarkis kelompok Islam tertentu atas kelompok lain yang berbeda, dengan alasan supaya mereka dicintai Allah SWT. Artinya mereka yang melakukan anarkins seperti Bom, sesungguhnya belum mengenal Allah SWT, karena Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Kasih dan Sayang atas hamba-hamba-Nya.
Orang yang tidak kenal Gusti Allah tapi ingin menyenangkan-Nya, salah-salah malah mendapat marah-Nya. Jadi tidak logis ada orang mau menyenangkan Allah SWT, tapi tidak mengenal-Nya. Inilah sejatinya, kelompok Islam yang ngaji agamanya tidak tutug alias tidak tuntas. Mereka baru belajar kulitnya, lantas berhenti mengaji. Dan mereka mengira ajaran Islam hanya sependek itu. Jadi tidak heran kalau efeknya ke mana-mana bawaan mereka marah melulu, inginnya ngebom terus. Padahal, masih banyak ajaran agama seperti tawadhu’, sabar, dan seterusnya. Mereka inilah yang menjadi masalah, karena siapapun yang berbeda pasti akan disalahkan dan disesatkan.
Dan sikap fanatisme atau jumud ini yang menjadi awal tidak adanya toleransi. Karena kejumudan juga, kadang orang yang beragama melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agamanya secara tidak sadar. Tapi kalau dasarnya cinta, seperti kaum sufi, itu tidak ada fanatisme dan kejumudah. Untuk itu, Gus Mus berpesan dalam buku ini, hendaknya kaum muslim belajar terus tanpa henti. Dan berfikirlah segila mungkin, toh ayat al-Qur’an yang menyuruh berfikir itu sama banyaknya dengan ayat al-Qur’an yang menyuruh untuk berzikir. Jadi, jangan pasang plang dulu “saya wakil Pengeran”. Tapi pelajari dulu yang dalam. Kalau tidak, alih-alih dicintai Allah SWT, tapi malah dibenci-Nya.
Penulis buku Gus Mus Saru Rumah Seribu Pintu (LKiS: 2009) ini lantas mengritik perilaku kelompok Islam tertentu yang gemar merusak properti milik Jemaah Ahmadiyah atau memukuli jemaahnya, karena menganggap mereka sesat. Gus Mus menamsilkan, ada orang yang hendak pergi ke Jakarta lalu berhenti di Rembang Jawa Tengah. Ia lantas berjalan terus ke arah Surabaya. “Saya lalu bilang, mau ke Jakarta kok ke timur? Berarti kamu ini salah alias sesat. Ya, saya tempeleng saja. Apa seperti itu caranya? Cara ini tidak benar dan lucu. Ini terjadi, karena tak lain karena orang belajar ajaran agamanya tidak tutug atau belum tuntas. Bahkan dalam sindirannya Gus Mus berkata “Baru sarjana muda leren (selesai), lalu merasa sudah S3,”.
Mengapa berkata demikian karena Gus Mus dinilai memiliki kualifikasi sebagai pawang kultural karena dalam kehidupan kesehariannya, ia memiliki komitmen yang cukup kuat terhadap perkembangan syiar Islam melalui pendekatan budaya. Gus Mus bukan saja memiliki kedalaman pemahaman agama yang jernih, santun dalam beretorika, namun benar‑benar figur budayawan religius. Hal itu dapat disaksikan dalam karya‑karyanya yang berupa buku, puisi, bahkan pada goresan kuasnya pada kain kanvas.
Dari sakin lenturnya sosok Gus Mus ini memperoleh banyak apresiasi dari berbagai pihak, terutama dari kalangan cendekiawan, sastrawan, seniman, dan budayawan. Sejumlah sastrawan seperti Taufik Ismail, Gunawan Muhamad, Emha Ainun Nadjib, Sutarji Calzoum Bachri, Syu'ba Asa, Slamet Effendi Yusuf dan lain‑lain bahkan telah mengurai kepiawaian Gus Mus dalam buku yang berjudul "Gus Mus Satu Rumah Seribu Pintu" yang diterbitkan LKiS bekerjasama dengan Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga.
Jadi untuk melihat kebenaran cakrawala pemikiran Gus Mus mari kita melihat bersama dan belajar diberbagai buku maupun yang ditulis sastrawan dan budayawan Indonesia, selamat membaca mengapresiasi bagi para sastarawan dan budayawan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani