Mungkinkah

Mungkinkah?
Oleh: Lestari Dewi*

Pada hari yang lelah, warnet adalah tempat istirahat. Di dunia maya, aku bisa menyapa teman-teman. Cerita nostalgia, kabar bahagia, peristiwa menyedihkan, dan gambaran dunia terpampang bergantian seperti pajangan. Mataku menelan lembar-demi lembar layar, menyusuri kota demi kota bahkan kadang-kadang kutergerak untuk melihat dunia. Teknologi memang gila. Ruang dan waktu dirangkumnya dalam satu sentuhan jemari saja. Ah, tak heran orang menyebutnya dunia maya. Jejaring ini meleburkan peristiwa dan masa.
Detik-detik jam terus berjalan. Tak sadar 4 jam sudah berlalu. Aku agak kesal. Kenapa waktu berjalan sedemikian cepat. Ternyata, aku hanya memandangi computer ini. Ketika aku sadar aku sudah 4 jam, aku kesal. Hah, berapa uang yang harus kukeluarkan untuk membayar internet ini. Sambil menggerutu kecil, kumaki-maki diriku, “dasar tolol, ngapain saja kamu tadi, sudah lama gak dapat apa-apa lagi”.
Aku jadi tambah capek. Biasanya habis ngenet aku refres dan pasti dapat ide baru. Yah, aku adalah seorang penulis. Warnet adalah duniaku. Tapi, apa yang terjadi dengan hari ini? Huuuuuuuuhh, sebel. “dari pada sebel sendiri, aku mending mandi biar seger, teruuus, tidur deh”.
Setapak demi setapak kulangkahkan kakiku menuju lemari baju berwarna biru. Tak sengaja di kamarku ada capung yang terperangkap tidak bisa keluar. Aku ingat pesan ibu, “hati-hati jika memegang capung, jangan sampai sayapnya rusak atau robek, tidak bisa terbang”.
Kudekati capung itu, ternyata diam. “ah, kamu capek ya, tadi mesti muter-muter cari pintu keluar, kasihan kamu”.
Kuamati capung itu, “ha, benar kata pak Munawar, kamu seperti pesawat”. Tiba-tiba ibu masuk ke kamar dan bertanya “kamu bicara sama siapa nak?”, sahutku, “capung ibu”. Caapung? Aneh kamu. Lho, kamu belum mandi? Ngapain saja tadi, sudah dua puluh menit kamu belum juga mandi, ayo cepat mandi dan lepaskan capung itu?”
Kuteruskan langkahku menuju lemari biru. Kumerasakan hari ini tidak seperti biasanya. “Kenapa aku kok aneh ya, mikir dan mikir terus, heran, penasaran dan takjub ketika melihat sesuatu. Kok seperti orang bodoh dan kuper saja memikirkan sesuatu yang sepele deh”.
Ketika aku mengatakan aku bodoh dengan keheranan dan pertanyaan yang mungkin tidak menentu itu, bayangan pak Munawar melintasiku dan tersenyum. Seolah-olah mengingatkanku tentang sesuatu. Tapi kutak tahu, apa itu?.
Sambil menikmati udara sore, kunikmati pemandagan langit yang begitu indah membiru. Kumelihat seekor capung dan burung terbang jauh diangkasa. “Wah, burung itu hebat, bisa terbang ke angkasa, kok bisa ya”. Ibu mendengar ucapanku dan berkata” ya bisa, bahkan kamu juga bisa seperti burung, terbang, tapi bukan pakai sayap, kamu naik pesawat” cetuk ibu kepadaku.
“Seandainya aku kaya, aku punya uang buk, pasti akan kususul burug-burung itu, akan kutemani mereka terbang dan melihat dunia yang begitu indah”.
Kududuk disamping ibu lalu kubaringkan tubuhku. Tiba-tiba ibu menyerukan pernyataan yang aneh, “kamu jangan mencari uang, tapi carilah pengetahuan. Kenapa ya, bangsa ini bisa miskin, padahal kekayaan bumi dan laut melimpah ruah, kenapa pesawat yang menciptakan orang Barat, kok bukan bangsa kita, semakin hari kita semakin jauh tertinggal dengan mereka, hutang bertambah banyak, sungguh menyesakkan. Kamu sebagai generasi bangsa ini, harus mampu bangkit dan membawa bangsa ini menjadi yang lebih maju, ya, setidaknya tidak seperti sekarang.”
Aku tercengang dengan nasehat ibu, kukedip-kedipkan mataku sambil tangan menyangga dagu. Ya, begitulah kebiasaanku waktu memikirkan sesuatu.
Diam beberapa saat, serasa angin menjadi saksi bisu percakapanku dengan ibu. Dia seolah-olah bukan ibuku yang seperti biasanya. Aku heran, angin apa yang merasukinya.
Sesaat kemudian, ibu melanjutkan ceritanya. “Kamu tahu nak, dulu, bangsa Barat itu lebih miskin dan terbelakang dengan kita. Tapi mereka bangkit, belajar, dan akhirnya bisa seperti sekarang ini, memiliki teknologi modern dan hebat. Apakah bangsa kita nantinya bisa seperti mereka, kita menemukan dan menciptakan teknologi yang baru dan lebih hebat dari mereka. “sambil tarik napas dalam-dalam, ibu mengatakan, “mereka adalah orang-orang tangguh, berpikir panjang ke depan, sadar akan keadaan, mau belajar dan yang lebih penting refleksi dan tidak hanya mentransformasi, menjiplak dari orang lain. Coba kamu baca sejarah bangsa atau negara yang sekarang menjadi pemimpin dunia. Itulah kehidupan, terus mengalir.”
Aku terdiam mendengarkan nasehat ibu. “lho, ibu kok bilang begitu, tahunya dari mana?”. “ya kamu harus belajar, rajin membaca, sekarang informasi kan tidak sulit di dapat, sudah banyak buku, internet, kurang apa lagi? ”ah, ibu kok seperti itu, aku malu bu”. Kuangkat tubuhku dari pangkuan ibu. Kuajak masuk ibu karena matahari telah menyembunyikan wajahnya. “Seperti hari-hari biasanya, kami selalu sholat magrib berjamaah. Sehabis sholat, aku mesti pergi ke madrasah untuk menimba ilmu agama. Aku merasa beda dengan hari ini, sepertinya ada banyak hikmah yang kudapat.
Aku merasa sabta Tuhan benar-benar menyapaku. Kukedip-kedipkan mataku, kuangkat tanganku ke dagu ”oh iya, aku sekarang tahu, seorang filsuf itu dahulunya adalah orang yang selalu bertanya, heran, takjub, dan ingin tahu, tapi apa seperti aku ya?.”
Aku merasa senang sekali dengan apa yang kurasakan. “horee, horee, aku akan menjadi seorang filosof”. Aku dekap badan ibu kuat-kuat. “Bu, anakmu ini akan menjadi filosuf bu.” ``apaa?” kata ibu sambil berbengong-bengong. “Kamu ini kok aneh, kesambet dari mana, apa maksud kamu nak?”
“Iya bu akan kubalas orang yang menjajah bangsa kita, akan kubuktikan kepada dunia aku mampu menyaingi mereka. Akan kubawa Indonesia seperti Negara Amerika, yang menjadi penguasa dunia, heeem, tentunya sebagai penguasai yang tidak dzalim buk”. Mata ibu berbinar-binar, senyumnya merah merekah dan mengajukan jempol jarinya di depan hidungku. “iya, itu baru anak ibu”.
Tiba-tiba panas menerusup badan, lemas, aku merasa terpaan angin topan yang hitam menghantuiku, aku bingung dengan yang kukatakan. “kamu kenapa nak, kok lemes dan mukamu kamu tekuk seperti itu?” Tanya ibu. “mungkinkah bu Indonesia akan maju dan bisa bangkit dari keterpurukannya?”
“Di dunia ini segalanya tidak ada yang tidak mungkin nak. Ayo ibu kasih kamu buku sejarah dunia dan negara yang sekarang ini menjadi super power. Kamu tidak boleh berkecil hati. Mereka dulu sangat kecil dan Amerika kamu tahu, adalah anak benua yang ditemukan oleh siapa dan tahun berapa? Kita pasti bisa, tapi kapan waktunya itu, ibu tak tahu”. Aku penasaran dan tercengang dengan kata-kata itu. Kiranya kita harus menengok sejarah kita dan sejarah dunia.
“Tapi, kamu jangan melupakan impianmu nak, entah itu apa, kamu harus bercita-cita. Bermimpilah kamu seindah mungkin, berhayallah kamu untuk bisa naik ke bulan dan merengkuh matahari?”
“Apa buk, naik ke bulan dan merengkuh matahari, ah aneh-aneh saja ibu”
“Mungkin sekarang masih aneh, tapi siapa tahu kemudian hari bisa ke sana. Kamu gak tau apa, kalau ada orang yang sudah naik ke bulan dan memotretnya? Meskipun ibu belum yakin kebenarannya, tapi itu mungkin”.
“Iya ya buk, apa sih di dunia ini yang tidak mungkin, semuanya mesti mungkin. Begitu to maksud ibu?. “Tapi, menurut ibu, orang-orang itu tahunya dari mana bu?”
“Siapa”?
“Ya mereka, orang-orang yang hebat bisa menciptakan kapal terang, apolo, menciptakan lampu, mereka kok tahu, dahulunya dari mana dapat inspirasinya. Aku gak pernah punya pikiran untuk menciptakan sesuatu, apalagi yang belum ada?”
“Itulah nak, kenapa ibu suruk kamu sekolah dan belajar, ibu ajarin kamu ngenet, biar kamu tahu, dari mana mereka mendapat inspirasi itu. Makanya setelah SMA ini kamu mau tetap sekolahkan?” “iya buk, aku ingin menciptakan seuatu seperti prosesor”.
“Apa, prosesor? Professsor kaliii. Prosesor itu, pendingin di kulkas itu lho, kamu aneh-aneh saja, kalau professooor, memang orang yang pinter, sudah menciptakan teori atau berhasil menemukan sesuatu yang baru, masak anak ibu mau jadi prosesor”.
“Ih ngeledek, maksud ku profesorlah buk, biasa, disengaja. Tak kirain ibu sudah ngantuk.” “kamu, mesti aja bisa ngeles kalau keliru” sahut ibu.
Hari semakin malam, desiran angin mengantarkan tidur malamku. Seberkas cahaya tidak terlihat. Biasa, kami selalu tidur dalam kegelapan. Keesokan harinya, sehabis sarapan pagi, aku pergi kuliah. Kebetulan pelajaran hari ini fisika. Akan kutanyakan pada guruku, kenapa orang-orang Amerika bisa pintar dan bisa menciptakan sesuatu? Sejak kecil aku selalu diceritakan tentang seorang yang bijak, pandai, seperti filosof dan ilmuwan-ilmuwan yang lain. Aku ingin menjadi seorang pemimpin bangsa ini, aku ingi membawa dunia menuju perdamaian, Indonesia tidak terpuruk dan terbelakang.
Sepulang dari sekolah, aku langsung pergi ke warnet. Itulah kebiasaanku. Aku kaget dan sedih melihat berita Indonesa. Semakin hari semakin terjajah. Yah. Meskipun secara kasat mata merdeka, tapi Indonesia sesungguhnya masih terkekang dan terjajah oleh dunia.
Aku temukan pernyataan seorang ilmuwan, seoranf filsuf Albert Eistein tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah pesat ini. “Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat kerja dan membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit kepada kita? Ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan malah menjadikan manusia budak-budak mesin”. “Apa maksud kata-kata ini, benarkah manusia akan mencelakai dirinya dengan pengetahuan yang ia miliki, mungkinkah aku aka menjadi lalim dan dzalim nantinya?”
“Aku pegang catatan di computer itu, akan kuberikan kepada ibuku” aku bergegas pulang dan kusuguhkan pertanyaan itu kepada ibu.
Kutunjukkan catatan itu dan ibu tersenyum, ia berkata kepadaku “ilmu membuat orang jadi pandai, teknologi memberi kemudahan, namun semuanya tak membawa bahagia, hanya sepi dan kengerian yang terbayang. Kenyataan terjadinya hal itu adalah karena masing-masing pengetahuan terpisah satu sama lain. Ilmu terpisah dari moral, moral terpisah dari seni, seni pun terpisah dari ilmu. Pengetahuan kita hanya memiliki sepotong-potong, tidak utuh” senyum lugas ibu menyapaku.
“Apa maksud ibu?” tanyaku
“Bermimpilah meraih bulan, tetapi jangan lupa, tengoklah orang dibawahmu, jadilah orang yang bijak. Kamu mesti tahu maksud ibu”


*Cerpenis kelahiran Nganjuk, 30 Desember 1987, sekarang belajar Filsafat di UIN Yogyakarta dan aktif di Komunitas Rumah Tanya Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani