Puasa, Gempa dan Kita

Puasa, Gempa dan Kita
Atrony El-Moezany

Puasa yang kita kerjakan sehari-hari apakah merupakan sebuah pelampiasan atau sekurang-kurangnya mengendalikan kita dari perbuatan yang tidak dinginkan. Padahal mental kita (manusia) lebih mengarah pada melampiaskan dibanding mengendalikan. Sebenarnya inilah masalah yang sangat vital atau mungkin ini sebuah masalah yang tidak kita sadari, padahal hal semacam ini harus, bahkan wajib diselesaikan mumpung masih bulan Ramadhan saat ini. Di mana bulan ini adalah bulan yang penuh dengan ampunan, barokah, dan rahmad.
Padahal, kita tahu keselamatan peradaban, estetika budaya, estetika seni, kesejukan jiwa dan kemasyarakatan lebih mengacu pada pengendalian daripada pelampiasan. Bahkan idiom kemerdekaan kita selama ini sedemikian tidak terkontrol, sehingga identik dengan pelampiasan. Maka Ramadhan kali ini menjadi sangat penting untuk melatih agar tidak seperti itu. Bukan hanya tak makan dan tak minum serta tak banyak omong dan lain sebagainya, akan tetapi juga berbagai macam kepentingan yang lain untuk mencoba melatih diri selama bulan Ramadhan. Termasuk tidak ribut, riuh rendah, gebyar-gebyar. Puasa mungkin juga merupakan perjalanan memasuki kesunyian, mengajinya, meresapinya, merenunginya kemudian menemukan cahaya kenikmatanya.
Tetapi tidak selamanya kita bisa merenungi, meresapi dan menikmati adanya puasa Ramadhan, tapi di bulan ini juga selalu ada euforia di hari raya, itu seolah ungkapan keterlepasan derita dari sebulan lamanya. Bahkan hasrat yang dikekang selama sebulan itu keluar dalam bentuk konsumerisme tanpa batas waktu dan ruang, kita lihat anak-anak bahkan semua masyarakat yang sudah menampilkan bentuk konsumerisme tadi. Dan tanpa sadar kita melakukanya, bareng-bareng. Apakah itu ekspresi pencarian kita di bulan puasa atau ke-Fitri-an kita atau praktik kelarutan dalam puasa publik?
Semesta ini sudah selalu pikuk dengan kita atau sudah bosan dengan keberadaan kita dan begitu memasuki Ramadhan semakin pikuk adanya. Model dan alat perniagaan yang membuat apa saja menjadi komoditas semakin jadi pengeras suara dari kepikukan itu. Penderitaan diributkan bukan oleh orang-orang yang menderita saja, akan tetapi oleh saudagar-saudagar penderitaan yang menjualnya di sana sini dengan keributan opini, dan asumsi, sambil menempuh strategi jangan sampai ada solusi. Wakil Presiden, persiapan calon tahun 2009 ribut terus kapan saja dan tentang apa saja. Jakarta ribut ingin menyulap dirinya menjadi Singapura yang metropolitan. Bagi yang ingin memasuki ladang kesunyian, mengajinya dan meresapi esensi puasa Ramadhan dengan mencoba menyelinap memasuki pintu dunia "kasyful hijab", mungkin mereka mulai belajar membuka jiwa dan telinga batin kita sehingga terdengar suara-suara dari juah.
Kalau kata Allah, para rasul dan nabi, atau auliya adalah objek kita dalam melaksanakan puasa, maka kita hanya ikut-ikutan dalam menjalankan puasa dan ikut-ikutan dalam membersihkan untuk bersentuhan dengan frekuensi itu. Mendengar suara itu saja alhamdulillah rasanya. Suara mereka beberapa waktu yang lalu yang saya dengar adalah ketika ada kitab-kitab klasik yang di tulis oleh para ulama zaman dulu. Mereka itu dengan beberapa kitabnnya dia berpendapat bahkan sampai dijadikan kebenaran bagi orang-orang agamis. Salah satu dari kitab bilang kita sudah mempunyai rujukan yang benar dalam mengambil keputusan hukum dalam melaksanakan puasa. Bagi mereka puasa hanya sebatas ritual yang sifatnya lebih pada fisik, padahal yang di maksud puasa adalah "menahan". Menahan di situ mempunyai makna uneversal-holistik yang memerlukan ta’wil-an yang terus-menerus.
Di situ para ilmuan yang hebat-hebat itu selama ini mondar-mandir ke mana saja kok baru sekarang mereka mencari Tuhan? Setelah 100 abad menjadi politkus kok baru mencari siapa dan di mana Sang Pemberi Mandatnya itu ada?" Komunitas pecundang belang bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh terguncang-guncang sampai basah seluruh badannya oleh lelehan keringat, karena sudah banyak membawa uang milik rakyat. Menjelang hari Ramadhan ini saya mendengar rombongan ilmuan itu sengaja lewat-lewat di sekitar saya dan berkata-kata yang aneh-aneh seperti itu. "Puasa kok suasananya lebih ribut dibanding tidak puasa. Puasa cap apaan itu. Wong namanya saja puasa kok ribut. Anggaran belanja makanan, minuman keluarga-keluarga kaum pelaku puasa malah lebih meningkat dibanding hari-hari sebelum puasa. Bahkan jalan tol pun beranjak naik. Ada apa dengan puasa Ramadhan kali ini?
Puasa kok banyak yang cengengesan-nya ribut jualan kue puasa, jajan puasa, kado puasa, lawakan puasa, ustadz puasa, dan album puasa. Dan ketika gempa mengguncang Bengkulu, Jambi, Padang, punggung bawah Pulau Sumatera kejadian yang dulu diramalkan sudah seharusnya terjadi sekitar setahun lalu para ilmuan itu langsung menerobos lagi. Saya yakin Gempa datang untuk mencoba melawan ributnya suara Ramadhan, komoditas Ramadhan, industri Ramadhan, eksistensi dan vokalisme taushiyah Ramadhan. Tapi berani taruhan bahwa gempa yang diizinkan Tuhan untuk terjadi di malam pertama memasuki Ramadhan itu tak akan mampu mengalahkan riuh rendahnya budaya industri Ramadhan.
Kita sebenarnya tidak ingin kehilangan makna atau esensi puasa Ramadhan hanya pengaruh ribut, hiruk-pikuk dan keributan-keributan Ramadhan di sekitar kita yang malah membuat kita jatuh dari ketakwaan yang mencoba ditumbuhkan di bulan mulia ini. Tapi, realitasnya memang demikian. Kita jadi merasa santai atau enjoi dalam menjalani Ramadhan ini, karena tidak ada tambahan ilmu. Padahal, kita lebih banyak hobi cengengesan ketimbang baca buku atau mendengarkan ceramah ustadz dan meresapinya, kalau kultum tarawih dan kuliah subuh.
Andai saja puasa lebih banyak meresapi dan merenungi kesunyian Ramadhan, tapi malah dibikin full suasana itu hanya untuk ribut-ribut. Misalnya, koe puasa, Terus, isinya hanya ngomongin orang yang membekas di benak kita. Yang di harapakan bukanlah "hitam-putih", tapi tidak terkesan kaku, garing dan menggurui. Tetap asyik dan cair. Nilai puasa dapat, hiburan berkualitas juga kita rasakan. Yang muncul malah ribut an sich, bahkan seringkali melanggar hukum syara’, kita sebagai pemuda muslim, jujur saja bahwa soal ini bisa menjadi pengaruh buruk kepada kita. Bukannya mendidik, tapi malah menjerumuskan dan memelihara kebodohan masyarakat.
Bukankah itu mencerminkan suksesnya misi-visi kita kaum muslim atas kehidupan manusia?" Ilmuan yang lalu menjawab "Untuk melakukan keributan-keributan perusak ke-khusyuk-an Ramadhan, bulan privatnya Allah itu, umat manusia tidak memerlukan pengaruh atau provokasi kita para ilmuan. Kita akui bahwa dengan kebesaran dan kesejukan jiwa bahwa kecerdasan manusia untuk mengotori hidupnya sendiri sudah jauh melebihi target maksimal nenek moyang kita para ilmuan dahulu kala untuk merusak hidup manusia." Lalu apakah manusia tolol?
Meski Tuhan mengizinkan ada tsunami terjadi dan sepadan dengan tsunami di zaman Nabi Nuh dan Firaun, meskipun gunung-gunung diledakkan, meskipun gempa disebarkan, meskipun tanah bumi diretak-retakkan walau manusia sudah terlanjur tidak memiliki alat di dalam diri dan sistem kebersamaannya untuk belajar dari bencana-bencana itu. Setiap bencana hanya melahirkan tiga bersaudara: politisasi bencana, komodifikasi bencana, dan wisata bencana (Emha Ainun Najib) Mereka sesungguhnya tidak mengerti Ramadhan " Saya termangu-mangu dan menjadi ragu sendiri terhadap itu semua kata-kata ilmuan atau malaikat atau isyarat dari Tuhan sendiri.
Jika secara sosiologis puasa berarti proses perjalanan menemukan cahaya dengan merenungi, meresapi dan mengajinya, maka secara religius puasa adalah proses perjalanan menemukan penyatuan eksistensial dengan Tuhan.
Puasa dan gempa secara metaforis, kita (masyarakat) juga berarti ekspresi kekejukan setiap manusia untuk kembali kepada "aku" yang sejati. Puasa sebenarnya adalah upaya membersihkan diri (tazkiyatunnafs) dari kehampaan yang memalingkan kita dari suara hati. Sehingga segala kata-kata dan perbuatan sering kali bertentangan dengan rasa keadilan, nilai kejujuran, dan prinsip kemanusiaan yang holistik-universal. Idul Fitri berarti kembali kepada rasa penyatuan eksistensial dan kembali mendengarkan suara hati nurani yang paling terdalam.

*Pemerhati dan aktif di Forum Sastra Pesantren Indonesia (FSPI) tinggal di Yogyakarta
No, Rek, 0112529222 BNI, Cab, UGM Yogya, a/n Matroni

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani