Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2016

LGBT Untuk Siapa

Oleh: Matroni Musérang* LGBT atau GLBT dan singkatan lainnya dari " lesbian , gay , biseksual , dan transgender ” yang kemaren-kemaren menjadi boming di medsos, yang menyeret artis Syaiful Jamil (sekedar contoh). Namun istilah ini (LGBT) sebenarnya sudah lama menjadi perdebatan di antara banyak pemikir sosial dan kemasyarakat dunia, hanya saja kita sering kaget-kaget kalau fenomena baru dan menjadi perbincagangan banyak orang. Padahal kalau kita selalu membaca dan belajar berbagai hal.     LGBT yang seringkali memunculkan pikiran negatif. Apakah benar negatif? Apakah sudah paham mengapa muncul LGBT? Mengapa mereka mati-matian memperjuangkan? Ada apa dibalik itu semua? Siapa mereka? Dan untuk apa dan siapa? Pertanyaan ini penting untuk kita ketahui, agar tidak mudah menjustifikasi manusia ke jurang kesalahan. Kesalahan yang di identikkan dengan dosa, kafir dan musuh. Apakah setiap kesalahan dijamin dosa, dijamin kafir, dijamin musuh? Belum tentu kawan. LGBT sebuah ko

Rajabiyah dan Spirit Religiusitas

(Catatan Rajabiyah MWC NU Gapura) Oleh: Matroni Musèrang* Masyarakat NU se-Nusantara tentu paham bahwa bulan Rajab merupakan lahirnya Nahdlatul Ulama yang dimotori oleh para ulama besar Nusantara. Ulama yang memiliki spirit untuk memperkenalkan keberagaman dan keberagamaan. Keberagaman dipahami sebagai ruang budaya dan ruang pemikiran. Keberagamaan dipahami sebagai pluralitas agama yang ada di Nusantara. Dalam esai ini saya akan mencoba merefleksikan rajabiyah tahun ini khususnya di MWC NU Gapura. Rajabiyah sebagai pertanda dan penanda bagi lahirnya NU dan berkobarnya “gerakan” para ulama besar untuk mengajak ke ruang pemikiran ahlus sunnah wal jama’ah. NU adalah ahlus sunnah wal jama’ah. ahlus sunnah wal jama’ah adalah NU. Namun ahlus sunnah wal jama’ah bukan semata-mata ikon kosong, akan tetapi di dalamnya mengandung spirit sejarah ( al-tarikh ), spirit kemanusiaan ( al-insaniyah ), spirit keislaman ( dirasah Islamiyah ), spirit religiusitas (dirasah addin ), spirit kei

Pesantren

Oleh: Matroni Musèrang* Pesantren itu menghadirkan sebuah kamar. Luasnya sekitar 3 x 3, terlalu sempit untuk belajar, membaca dan ritual. Penghuninya delapan. Ruang terasa bauh, dan berantakan. Ketika jendela di buka yang membeberkan dunia luar yang begitu luas dan perkasa. Dalam pesantren itu pula para ulama, Kiai, guru dan ustadz melukiskan indahnya belajar dan dialog keilmuan dengan sederet imaji yang makin lama makin delamatis. Sang Kiai “tertidur dalam keberagaman”. Sang bapak “terbaring lelah”. Mata Kiai itu menatap ke sesuatu yang mungkin hanya sebuah citra ketidakberdayaan sebuah gambaran “orang yang terlena di tengah zaman”. Mata yang terbatas. Malam dan Siang itu waktu terus mengirimkan perubahan dan perkembangan untuk memberikan angin segar, dan tampak “sudah banyak santri belajar di sini”. Suasana damai, seperti daun-daun hijau yang padat rimbun. “Keramaian pohon-pohon sejuk selalu”. Kiai menuliskan baris-baris kitab sekitar berabad-abad yang lalu, di Mes