Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2016

Penyair Momen atau Penyair Monumen

Oleh: Matroni Musèrang Dewasa ini, kita dikagetkan dengan ribuan penulis sastra Indonesia terutama puisi, cerpen dan novel, dengan berbagai latar belakang yang beragam. Ini pertanda sastra Indonesia terus berkembang dan maju seiring perubahan yang tak bisa di bendung. Sastra yang ditulis oleh anak SD, mahasiswa, sarjana sampai orang tua yang tidak pernah belajar teori mengisi halaman-halaman sastra di koran, majalah, jurnal, buliten, online, facebook, twitter, blogspot, buku. Banyaknya lomba sastra yang diadakan, pertemuan penulis sastra yang diadakan tiap tahun sekali, dengan kurator dan peserta yang tidak sedikit. Siapa yang akan berkata sastra Indonesia “mati”. Banyak komunitas dan diskusi sastra diadakan setiap minggu, tiap bulan, setengah bulan sekali, sebagai bentuk wacana keilmuan sastra terus hidup dan diwacanakan.   Namun pesatnya penulis sastra kita, mengandung tanda tanya besar, sebab perubahan itu terus bergerak, dan berotasi, dengan demikian, perjuangan menjadi

Re-Interpretasi Makna BHAPA’ BHABU’ GURU RATO

Oleh: Matroni Musèrang* Orang Madura tentu tahu dan mendengar istilah Bhapa’ Bhabu’ Guru Rato . Ada tiga kata yang penting untuk kita refleksikan maknya. Bhapa’ ( eppa’ ) atau bapak. Bapak tentu simbol orang yang menjadi pemimpin keluarga. Sebagai pemimpin keluarga ia harus mampu membaca watak istri, anak-anaknya termasuk juga harus mampu membaca saudara dari isteri dan saudara dari dari bapak. Pemimpin keluarga bagi orang Madura merupakan hal penting, sebab kalau ada bhek-rembhek (musyawarah keluaga) yang diutamakan adalah pihak laki-laki yang dalam hal ini di simbolkan oleh Bhapa’ . Artinya untuk menjadi pemimpin desa, pemimpin Kabupaten, presiden, apalagi pemimpin ummat, ada tanggungjawab besar yang harus diemban oleh seorang pemimpin yaitu kemampuan membaca semua watak atau karakter manusia, karakter budaya dan karakter keilmuannya. Bhabu’ (embu’) atau ibu. Yang disimbol dengan sosok perempuan. Ibu atai perempuan bagi orang Madura adalah sosok sangat dekat dengan an

Sarjana dan Pengangguran

Oleh: Matroni Musèrang* Kemaren pada tanggal 2 April 2016 saya dan isteri saya main ke salah satu teman akrab saya. Dia merupakan sarjana pendidikan yang baru lulus dari perguruan tinggi. Setelah wisuda dia bingung mau hendak kemana? Ada rencana mau ke Jakarta, kerja menjaga tokoh. Selalu bingung dengan kerja. Dia pingin kerja. Sebab kesarjanaannya belum bisa ia menjadi sosok yang diharapkan. Mungkin karena dia orang desa yang tidak bisa bersaing melawan kompetisi untuk menjadi guru. Saya dan dia akrab setiap kali bertemu di rumahnya, dan telvon pasti selalu tersenyum terbahak-bahak, kadang diskusi, kadang goyonan dan lainnya. Title sarjana kita tahu merupakan dambaan setiap orang, karena diyakini sebagai perantara ia akan mendapat kerja kantoran, menjadi anggota DPR, sehingga wajar jika hari ini banyak mahasiswa “hanya” mengejar ijasah, nilai dan IPK, ketika IPK tinggi diyakini akan mudah masuk dimana pun membutuhkan kerja. Jangan salahkan mahasiswa jika tidak mau membaca.

Jejak Sepi

kuintip jejak makna dalam sepi pecinta, cinta kau berjalan dengan rasa membaca isyarat waktu kau terima apa adanya seperti laut yang menerima limpahan apa saja kemudian kau lemparkan menjadi hujan dan kita hidup dalam kepolosan kulihat semesta menderita, tapi kau sambut dengan mesranya ketika hujan rumput menghijau di kala kemarau matahari terbit dan terbenam membawa keindahan ada limpahan cinta tak terbatas di sana yang membuat semuanya bertumbuh aku tetap tidak menemukan tempat batin istirahat sungai, di sana ada batu yang keras, ada air yang lembut akhirnya kubermukim pada cahaya tanpa beda

Bila

bila puisi terluka aku tulis di atas darah agar tersapu oleh kata tapi bila cahaya tanpa sinar aku akan melukai tubuh bulan agar tak ada lagi keterlukaan bila kau terluka tanpa darah aku kuberi rahasia agar terdiam dalam malam bila berdarah tanpa luka akan kusuguhkan rasa agar bahasa tak lagi sengsara bila menderita tanpa luka kata-kata akan lahir menemui semesta karena semuanya sudah ada bersama kita

Ruang Sunyi

aku sudah tertanya "mengapa rumah ini sunyi" kerumunan gelap kulihat perawan kunang berkata "aku sedang mencarimu" memicu langkah dandanan wajahmu Aku terasa tetap hampa tanpa sinar walau secercah bayang mengelupas kata Matahari aku rindu pada kelopak bunga layu di tangan lembut kesunyianmu Aroma yang kau kasih membuat gelap jadi samar dalam langkah jari-jari kaki Kebisingan terkuak di ruang waktu terkulai sengkarut lugu Di tengah rumpun cerah aku merayu tuhan tak terimah seongkuk kata karena nyawa singgah di ronggongan Aku hanya geleng-geleng di atas tumpukan masa terjuntai di balik sukma kealpaan Memang susah adakah "susah" yang tak selesai kata kemalangan di masa silam kembali lahir menampakkan lidahnya untuk berkata "aku sedang mencarimu" Yogyakarta, 2007

Bendera, Setiamu

Di jalanan, di tiang-tiang Di depan dinas, di halaman rumah Di teras-teras rumah, di istana Tersimpan pesan sejarah Lukisan makna bergelayut Menemui jiwa pejuang Menanamkan biji darah Aku melihat wajahmu merah putih Berkibar jauh Tak pernah turun dipangkuanku saat aku datang kuletakkan di kuburmu sebuah kuburan suci dan indah tengah mekar aku pulang dengan kapal kerinduan dan napak tilas kesunyian di ruang diri semestaku aku melihat tubuhmu di rusak oleh keganasan politik oleh kerakusan saku-saku kenistaan oleh kerja suram keegoisan dimanakah anak-anak suci kemerdekaan bila janin-janin cinta kau aborsikan dengan uang kau kirat dengan kekuasaan dimanakah anak-anak yang bernama kesucian dimanakah janin-janin yang kau titipkan di rahem ibu pertiwi apakah sudah kau bunuh dengan ketidakjujuran apakah sudah kau bunuh dengan pedang kebingungan atau sengaja kau rahasiakan dalam jambangan kesetiaan kesetiaan pada seni keangkuhan kesetiaan pada seni kebobrokan