Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2016

Surat Kepada Jamal D Rahman

Salam kenal, salam sejahtera untuk jenengan, semoga dalam keadaan sehat dan damai selalu. Surat ini saya buat di saat hujan turun di senja hari tanggal 23 Februari 2016, di saat di teras rumah ada penjual rujak kesukaanku, di saat semangat belajarku masih hangat, untuk itulah surat ini sekedar bertanya dan sharing pengalaman, sebab saya masih haus akan air kepenyairan, sebab saya yakin seyakinyakinnya bahwa jenengan lebih tahu dan mengetahui bagaimana makna dan metode puisi itu, akan tetapi saya yang hidup di Sumenep yang “jauh” dari pengetahuan sastra bahkan saya tidak pernah sekolah sastra. Namun hanya membaca dari buku ke buku itu pun tidak saya pahami, untuk itulah surat ini saya sampaikan sebagai bentuk saya ingin belajar sama jenengan.   Mas Jamal surat ini saya tulis benar-benar berasal dari hati yang dalam saya sendiri mas, karena ingin selalu terus belajar sastra. Bagi saya sastra adalah kehidupan saya sendiri. Saya kuliah di Yogyakarta berkat menulis sastra saya ma

Qur’an Bada Huruppe, Tèngka Tade’ Huruppe

Oleh: Matroni Musèrang* Tesis di atas saya dengan dari sesepuh Madura yang kebetulan saya silaturrahmai ke Dasok. Qur’an Bada Huruppe, Tèngka Tade’ Huruppe, bahasa tergiang-giang sampai saya pulang ke rumah. Saya berpikir bahwa segala yang ada di dunia pasti memiliki makna, termasuk peribahasa di atas. Peribahasa di atas membuat saya harus membuka cakrawala keilamuan filsafat yang selama di Yogyakarta saya belajar. Saya berpikir dan merenungkan peribahasa tersebut. Pertama Seolah-olah Tèngka lebih agung daripada al-qur’an. Kedua atas dasar apa pribahasa ini muncul dan tujuannya? Saya berpikir terus dan terus, sampai akhirnya saya harus mengeluarkan hermeneutika untuk membaca pribahasa Madura ini. Walau pun hermeneutika diperkenalkan oleh orang Barat, namun ini cocok untuk digunakan sebagai instrument untuk membuka pribahasa local ini yang selama ini menjadi bahasa tanpa makna bagi generasi muda. Di sinilah saya mencoba memaknai dan merenung pribahasa. Ternyata sesepuh kit

Filoshopia Pendidikan[1]

Oleh: Matroni Musèrang* Ada sebuah perkataan dari Ali Bin Abi Thalib yang cukup membuat kita tercengang dan terkagum-kagum bahwa didiklah anak-anakmu, bukan dalam keadaan yang serupa denganmu. didiklah dan persiapkanlah anak-anakmu untuk suatu zaman yang bukan zamanmu. mereka akan hidup pada suatu zaman yang bukan zamanmu . Ada sebuah Tanya yang menggelitik saya, Ali Bin Abi Thalib yang hidup ribuan abad yang lalu mampu membaca masa depan yang luar biasa. Pendapat Ali Bin Abi Thalib kontekstual, artinya pendidikan bukan barang, bukan bentuk, bukan materi yang bisa diperjualbelikan. Mengapa? Kalau pendidikan sebuah bentuk, materi maka ia tidak akan bertahan sampai sekarang, ia akan habis di masa Rasul, ia akan habis dimasa Sahabat. Ini bukti nyata bahwa pendidikan selalu berubah, berkembang dan terus berproses seiring perkembangan sosial-kemasyarakatan. Maka, kita harus mampu membedakan pendidikan, pengetahuan dan Lembaga Pendidikan . Pendidikan m enurut   Ki Hajar De