Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2016

Pengantar Mengembarai Sublimasi Cinta dan “Kematian”

Oleh: Matroni Muserang Cinta adalah jalan terdekat menuju kematian (Andi Magadhon) Kata-kata di atas sengaja saya kutip dari pertemuan saya dengan Andi Magadhon. Malam itu di Komunitas Rudal saya ngobrol banyak persoalan sastra dan proses kreativitas seorang penyair. Cinta bagi pribadi penyair (Andi Magadhon) merupakan sebuah ruang yang tak bisa diselesaikan dengan rasionalitas, akan tetapi membutuhkan alat lain yaitu tidak usah “dipikirkan” karena semakin dipikirkan cinta akan berbentuk tak tentu, kadang sejuk, kadang juga panas sehingga membuat kita linglung dan tak berdaya. Maka hati-hatilah dengan cinta, walau pun pada hakikatnya cinta jalan terdekat menuju kemantian, lalu pertanyaan yang kemudian lahir adalah apakah kematian di sini? Dan tentu saya tidak akan membahas apa kematian tersebut, lebih baik baca antologi puisi “Langit kesetiaan” dengan baik, agar kita menemukan makna kematian yang ada kaitannya dengan cinta. Tugas saya di sini memberi pengantar, jalan, atau p

Catatan Perjalanan Bersama Syaf Anton Wr

23 desember 2015 yang lalu, ada acara peluncuran antologi puisi tunggalnya mas Anton (panggilan akrab Syaf Anton Wr) “Langit Suasa, Langit Pujangga” (2015) di Yogyakarta, tempatnya di teatrikan perpustakaan umum UIN Sunan Kalijaga. Kita berangkat tanggal 21-nya, karena mau mampir ke rumah anak wanitanya mas Anton di Klaten. Kebetulan Klaten-Jogja 30 menit naik motor. Sumenep-Yogyakarta perjalanan yang melelahkan, karena bus patas yang kita tumpangi tidak sebagus yang kita kira. Kita berangkat jam 8 malam dari terminal Arya Wiraraja Sumenep sampai di Klaten pagi, saya langsung istirahat, mas Anton melepas rindu bersama dua wanita cucunya. Kami di sambut dengan baik, namanya di depan ada mas anton sebagai ayah, wajar, seperti bertamu ke rumah Tuhan, kalau bertamu bersama orang-orang yang dicintai Tuhan, maka Tuhan pun akan menyambutnya dengan baik. Hanya saja kita mau bertamu bersama siapa? Istirahat selesai, kita jalan-jalan bersama dua cucunya ke liling kota Klaten. Ke mall, ke

Ombak Pantai Takerbui, Gersik Putih

mengunjungimu disuguhi desir angin kambing yang merawat rumput di tepian ombak gudang-gudang memintamu untuk menuai harapan walau kesepian bahasa seringkali kau ilusi ombak pantaimu melilit kerinduan petani garam hujan menghujam bara yang kian ragam angin deras menyerbu rambut dan tubuhmu tambak udang, jalanan berbatu, pohon plembang berdiri di tepian matamu yang malu di sapa angin dan di dalamnya berdiri pabrik garam asin :serupa keringatmu walau keringat mengombak di pantai dadamu batu-batu mengakar di kedalaman kepala ombak pantai seperti biasa menerpa angin dan menyapa cakrawala dingin tentu merasuk ke tulang lututmu menegangkan pori-pori sementara luka kaki bergema di pelataran kotak-kotak garam :ombak engkaulah pantaiku Battangan, 2015

Ombak Pantai Gililabak

kau menawarkan ribuan tanya bagi kombang yang terbang ke halamanmu membangun rumah-rumah singgah halamanmu adalah karang-karang putih dan pasir putih ombak-ombak bening, sebening ikan-ikan di lihat mata butuh waktu lima belas menit sampai di batas awal memulai jejak paling sunyi lantaran di tepi utara dan tepi selatan pun di jaga oleh keyakinan leluhur kau akan kehilangan arah jika tak memberi waktu “jangan kau lintasi aku” katanya

Ombak Pantai Kalianget

  duduk di antara dua pantai satu menuju talango satunya menuju takerbui menyeberangimu seperti menyeberangi seribu pulau di sumenep menuju pantai-pantai kapital yang kini baru dimulai pantai cahaya yang ternaman di kedalaman buta pantai masa depan yang di isi dengan kesemrautan sementara ombak melaju menuju bibir waktu tergerus wajah-wajah egois luka batu mengakar di kedalaman karang-karang mengakar di lubuk paling sunyi dan menyimpan tetes barah yang tak terurai kalianget…. ombakmu mulai tak ternilai ia di gilas zaman yang kusam bangunan kuno membias rasa sejarah walau tak bermakna ombakmu adalah pantai bangunan kuno yang dirimu sendiri enggan membaca Battangan, 2015

Ombak Pantai Giliyang

  dari ombak pantai Dunkek aku melihat airmata menjadi samudera berdebur di ruang dada belum meluas ke luar mata ia masih pulau seribu ombak yang kini menyimpan pulau oksigen tatanan diperindah ombak-ombak kecil memoles tocanggah, goa mahakarya, goa air menuai harapan di ketinggian masa depan yang tak kau pahami berapa banyak syakal lagi agar engkau menemukan cahaya mengantarkan pada titik rasa yang di sunting oleh waktu engkau memang tak punya sawah tegal dan bebatuanmu yang membuat dunia bergetar hingga dada kapital berteriak tak tahan kaki-kaki kampung seolah seni yang menutup jiwa dan pikiran tak ada wanita hamil sebuah Tanya apalagi anak-anak yang menaruh cinta pada tanah o.. ombakmu indah, se-indah bulu alismu yang berjajar megah-megah di bibir senja o… ombakmu… Battangan, 2015

Ombak Pantai Dungkek

di pelataran dadamu kau bangun pasar di tepiannya kau bangun karang-karang dan meliter penyangga ombak perahu menunggu penumpang ombak-ombak manja menyambbutnya dengan tangan bahagia lantaran pantai yang memberimu damai menyuruhmu berdagang sambil menyulam airmata apakah engkau rela ikan-ikan di pantai hidup di telaga airmata dan kau biarkan ia mabuk lantaran airmatamu tak asin cukup ombak pantaimu yang mengenangi hati dan pikiran agar kau temukan karang-karang waktu mengakar di kedalaman sunyi riak ombak tak lagi terdengar riak perombak menebar denyar pantaimu pantai pelabuhan berlabuhnya para pemburu ombak dari serpihan awan yang jatuh menjadi bajak Battangan, 2015

Ombak Pantai Salopeng

tubuhmu tertutup bukit pasir dan lisptik cemara pelan angin menyapu keringatmu dari terpaan panas mesin penguasa di tepian kau tanam nyiur-nyiur manja yang kau ambil sebagai minyak goreng dan kau jadikan sumber pendapatan tapi kini tak ada kau lebih suka belanja melabuhkan diri pada senja dan kesementaraan walau kau tak punya sawah yang merapat di dada cukuplah cinta yang mengakar di kedalaman jiwa bila kau punya sawah dan tegal akankah kau berikan tanah-tanahmu pada waktu? Padahal kau tahu bahwa waktu berwaktu Battangan, April, 2015

Ombak Pantai Badur

aku anak batu kapur yang menetes dari lempengan batu-batu tepian batu menyiramkan air tawar pada pelupuk mata gelombang tepian tegalan hijau tempat menanam jagung dan bebuahan batu-batu dan tegalan menanam biji menerpa zaman menyulap air tawar menjadi tanaman hijau gelombang dan pantai menyatu di kedalaman lautan kita bahagia dengan kehijauan tegal walau batu-batu menempel di pundak cangkul apakah engkau akan memotong pundak kami bila pundak ini tempat kami menanam? Apakah engkau akan mengotori pantai kami bila pantai ini tempat kami melepas lelah? ombak pantai badur engkaulah bunyi sunyi yang kau bungkam dengan besi Battangan, Agustus, 2015

Ombak Pantai Lombang

setetes ombak menyeretku ke tengah samudera menyelami karang-karang jiwa memaknai laut yang membara lantaran bibirnya tempias ke dasar bahaya di tepi bulu alismu, Uliefa aku menaiki perahu waktu gelombang menerpa gerimis menyapa cemara yang mengganti bulu matamu tak henti-henti aku elus menerangi lampu cakrawala dan menemani langit senja ombak pantai lombang kadang kau datang dengan tenang kadang kau datang dengan perkasa dan aku tak peduli pada penjaga dan penguasa yang menyeretmu ke ladang sengsara wajahmu putih, tubuhmu biru kau pelihara ikan-ikan tongkol putih yang segar dan terkenal enak semoga kau tak mati di telan ambisi ombakmu seputih ikan-ikan cemaramu sehijau karapan Battangan, Januari, 2015

Kampung Pasir, Legung

aku tidur di hamparan pasir halaman dadamu melihat ke atap rumah melihat pikiran bintang masa depan apa yang akan terjadi nanti, di sini di rumah-rumah pengetahuan rumah bersemayamnya roh zaman menyelinap tanpa pikiran dan kata dan nenek tua yang tak tahu tentang doa-doa rahasia yang menyelinap dibalik gelombang harapan petik laut dan lodruk sarapan syukur laut legung tak dimengerti seperti apa ia hanya nama tanpa sejarah Kampung pasir yang tiba-tiba ada cukup tanda tanpa rumah cukup tawa tanpa bara hingga kau terlena oleh penghisap ikan asap yang mengepul dari sasap kau tidak tahu akan bertahan berapa lama ikan-ikan tongkol Legung menerpa wajah pagi ditepian matahari bila bibir gelombang dan pori-pori batu menerjang tubuh sepi Battangan, November 2015