Sulitnya Menjadi Penyair




Oleh: Matroni Musèrang*

Pertengahan bulan Maret 2012 lalu saya menjadi peserta temu penyair Nusantara Melayu Raya (NUMERA) di Padang yang dimotori oleh penyair Negara Malaysia yang melibatkan para sastrawan dari Negara tetangga, di antaranya Malaysia, Brunei Darussalam, Philipina, Singapura, dan Thailand. Dan panitia tidak menyediakan uang transpot.
Tentunya saya senang di undang ke Padang untuk acara tersebut. Tapi saya tak bias hadir karena kendala uang transpot. Bukan saya tidak usaha mencari dana transpot, saya sudah membuat surat ke Dinas yang ada di Yogyakarta sekedar meminta bantuan dana transpot, tapi tak ada dinas satu pun yang memberi bantuan dana, alasannya klasik, “tak ada anggaran untuk acara tersebut” dan saya tidak usah menyebutkan dinas apakah itu yang jelas di kota budaya ini.
Dari awal saya menginjakkan kaki di kota ini pada tahun 2005, saya mengira kota ini akan memberi apresiasi yang baik untuk para penulis, terutama penulis sastra, tapi kenyataannya jauh dari apa yang saya harapkan, penulis sastra tak mampu menarik rasa para orang-orang Dinas untuk sekedar memberi sumbangan berupa uang. Entah mengapa? Apakah memang dari pusat benar-benar tidak ada anggaran akan hal itu? Saya tidak tahu.
Bagi penyair sangat sulit untuk mendapat dana untuk pergi ke luar kota dalam temu sastra, jika acara tersebut tidak ada kepentingan dengan dinas tersebut. Hal ini sebenarnya tantangan dan sekaligus ironi berkepanjanga. Entah ini karena presiden kita tak paham puisi atau dari saking cerdasnya pemimpin kita. Karena kalau kita melihat para pemimpin Indonesia semua paham puisi dan membacakan puisi.hanya SBY yang tidak paham puisi apalagi membacakan puisi. Maka tidak heran kalau penyair di Indonesia sangat sulit mendapat kursi dan pengakuan yang baik atau penghargaan dari Negara.
Kalau boleh berkaca terhadap Negara tetangga Malaysia misalnya, di sana ada sastrawan Negara, di Indonesia mana? Jadi sabarlah sastrawan Indonesia, karena kalian adalah manusia yang banyak di hina dan di buang oleh negaramu sendiri saat ini. Kata-katamu sia, puisimu sia-sia, karena jiwa pemimpin kita memang tak memiliki jiwa kesenian atau kepenyairan, maka tidak heran kalau dalam jiwa-jiwa pemimpin kita gersang jauh dari masyarakat.
Saya menulis ini tidak harus memasukkan teori Karl Marx, tokoh social, tokoh filsafat atau yang lainnya, karena yang duduk di kursi Negara orang-orang cerdas tapi tak punya “hati” maunya memikiran partainya sendiri, politiknya sendiri, tanpa memikirkan keadaan rakyat, bahkan dasar Negara yaitu pancasila mau dihilangkan.

*Penyair


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani