Cara Membangun Perkampungan Puisi[1]

Oleh: Matroni Musèrang*

Setelah saya membaca manuskrip puisi “Cara Berbagi GembiraF. Rizal Alief ini, ada gaya baru dalam menulis, dari pertama saya kenal dan berkencan dengan Faidi di Yogyakarta tahun 2006 tidak seperti ini puisinya, dalam manuskrip ini dua-dua yang dipisah titik di tengah, kalau Sofyan dengan #, tapi Faidi dengan titik, tapi saya tidak tahu mengapa harus titik sebagai pemisah? Dalam catatan ini saya akan fokus pada latar belakang judul ini muncul dan bagaimana relasi makna antara judul dengan sub judul puisi. Sebab tulisan ini hanya sebagai pintu awal untuk kita diskusi.
Saya membaca manuskrip yang berisi 45 lima judul puisi dalam perspektif filosofis secara garis besar ada dua gerbong pertama dalam manuskrip ini menawarkan “kesejukan, kedamaian atau kegermbiraan”, kedua menawarkan cara bagaimana kesejukan, kedamaian dan kegembiraan itu dibangun.  
Perspektif filosofis bukan kemudian saya ingin membahas satu-persatu dalam puisi ini, tidak, akan tetapi saya ingin mencari gagasan besar yang terkandung dalam manuskrip ini tentu dengan paradigma saya. Paradigma untuk melihat konteks dewasa ini yang ngetren dengan wacana kekerasan antar pelajar, kekerasan atas nama agama atau keyakinan, perang ideologi, perang karena persoalan identitas struktural dan kultural dan bagaimana manuskrip ini memberikan jawaban.
Bagi manuskrip puisi ini ada cara (metodologi) untuk berbagi Gembira, mengapa? Di tengah gempuran ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat dan kompleks orang-orang semakin sulit untuk menemukan kegembiraan, semakin sulit menemukan kebahagiaan dan semakin sulit menemukan kedamaian. Manuskrip ini hadir untuk memberi metode baru (angin segar) bagi pembaca bahwa kegembiraan, kebahagiaan dan kedamaian masih ada, maka dibutuhkan cara untuk menguaknya agar muncul kepermukaan sebagai relasi dialektika bagi kita.
Ada 17 judul puisi yang menjadi jembatan untuk menuju rumah kegembiraan, kebahagiaan dan kedamaian. Salah satunya puisi “Pohon Kenangan”;
Telah basah tubuhku mencari jalan. Lorong kosong menuju kebun kenangan
Berkali-kali aku padamkan lampu. Kulirik rembulan dari balik pintu

Mendesak masuk sajak yang berhimpitan. Dari luka ke luka kubertahan
Aku menyusuri pasir dan batu. Bergilir kumengalir rindu ke rindu
Tidak ada keputusasaan dalam puisi ini, ia terus berjalan mencari jalan, hingga menemukan kebun-kebun kenangan yang berserakan, ia terus masuk walau berhimpitan dengan kesumat kompleksitas kemanusiaan, ia terus bergerak maju walau luka, mengapa? Karena diperjalanan selalu ada rindu. Kerinduan ternyata membuat kita semakin kuat untuk menuju rumah kebahagiaan, kedamaian dan kebahagiaan. Kerinduan seperti apa yang membuat seseorang semakin kuat untuk terus berjalan dan membangun rumah kedamaian? Ketika seseorang di mabuk rindu, ia tidak akan mau untuk sembuh. Apalagi dimabuk cinta.
Adalah kerinduan yang hijau (Kuberteduh di bawah pohon rindu), sebab kehijauan tempat yang teduh, dan didalam keteduhan itulah hati damai, dan didalam kedamaian itulah (Aku menyandarkan hati pada rindu), jadilah manusia yang selalu rindu (dengan cinta baru). Dengan kerinduan seseorang akan menemukan kegembiraan baru (fresh love), artinya pengetahuan kita harus selalu di update agar hujan rindu dalam pikiran dan hati kita tak henti-henti.
Ketika pikiran dan hati kita hujan rindu, maka kedamaian, kegembiraan dan kedamaian akan tercipta. Bagaimana caranya untuk membangun perkampungan puisi yang penuh kedamaian, kegembiraan dan kebahagiaan? Adalah dengan membangun rumah;
Rumahku

Akhirnya selesai juga rumah tenang. Rumah yang kubangun untuk berlindung
Tinggal aku buat halaman belakang. Tempat menanam rindu dengan senang

Halaman depan aku bikin persegi. Bunga-bunga bermekaran tiap hari
Pagar tegak, rapi, kubuat sendiri. Hati terasa nyaman menyimpan mimpi

Di sini aku hidup berkecukupan. Aku menata hidup tak berlebihan
Tiap hari aku bersenyuman. Tiap malam mimpi indah berdenyaran

Ini rumahku, rumah yang sederhana. Tempatku berlindung dari banyak dosa
Selalu aku buka pintu, jendela. Doa-doa datang menyalakan mata
Sebab kita akan berakhir pada satu titik. Titik itu adalah sebuah perkampungan. Dan perkampungan itu boleh apa saja, terserah kita mau di isi apa. Tapi yang jelas manuskrip puisi mengajak kita untuk selalu memberi kegembiraan kepada siapa pun dan kapan pun (rahmatan lil alamin) dengan cara kita harus menjadi diri kita sendiri, bukan menjadi orang lain. Kegembiraan bagi puisi Rizal sederhana yaitu cukup kita membangun rumah, hiasilah rumah itu dengan kesejukan, untuk menjadi sejuk sebuah rumah, tanamilah ia bunga-bunga, pohon, tumbuhan atau kehijauan dan siramlah ia dengan rindu.
Seorang petani akan selalu rindu pada tani, rindu mata cangkul, rindu buah, karena rindu si petani terus berjuang agar apa yang dia tanam menjadi lebat, rimbun dan subur. Maka ketika kerinduan untuk membangun kedamaian, kegembiraan dan kedamaian kita akan sampai
Pada Akhirnya

Pada akhirnya aku cukup diam. Menyaksikan petani tak pernah diam
Gagal panen tahun lalu dibuang. Hujan sehari tak mampu dibendung

Pada akhirnya aku menutup pintu. Dalam sunyi aku mengirim doaku
Semoga akar masih akan menjalar. Hingga mereka memetik buah segar
Namun, saya secara pribadi lebih cocok manuskrip ini diberi judul “Pengantar Kebahagiaan” seperti judul pertama kali kau berikan, alasannya sederhana kumpulan puisi lebih banyak membahas persoalan tani, dari 45 puisi yang ada 20 membahas tani, pohon, atau sesuatu yang hidup dan hijau. Semoga manuskrip ini menjadi pintu awal dalam menapaki keberlanjutan. Amin

Battangan, 22 september 2016



[1] Pengantar diskusi manuskrip puisi F. Rizal Alief di Lesbumi MWC NU Gapura, tanggal 24 September 2016, jam 15.00 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani