Mencari “Merdeka” di Tengah Kemerdekaan
Oleh: Matroni Musèrang*
Satu
bulan sebelum bulan kemerdekaan (agustus) saya dan teman-teman desa rapat untuk
mengadakan kegiatan rotin yang diadakan setiap tahun sekali, yaitu kegiatan
lomba desa dalam rangkan hari kemerdekaan yang ke-71. Tentu dalam kegiatan itu
ada yang setuju juga ada yang tidak, bahkan panitia mengundang semua apara desa
yang hadir hanya dua orang, entah alasan apa mereka tidak hadir. Akhirnya kita
sepakat untuk mengadakan lomba baca kitab, cipta dan baca puisi, tarik tambang,
estafet, hijab tanpa cermin, tembak bola berhadia, esai, catur, dengan tema
“kembali ke desa”.
Teman
ini menarik untuk kita refleksikan bersama mengingat suburnya urbanisasi yang
kini menghias wajar kampung kita. Salah satu penyebabnya adanya arus
globalisasi materialisme dan budaya capital sudah menjadi lemak di tubuh
masyarakat. Lemak itu terus subur sehingga mereka gemuk. Namun gemuknya mereka
tidak sehat, mengandung penyakit. Penyakit untuk mendapatkan kekayaan materi,
sehingga harus ke Jakarta, Malaysia, Arab Saudi, Hongkong, dan Bali sebagai
tempat untuk mengumpulkan kekayaan materi.
Hal
ini wajar sebab mereka gengsi jika tetangga punya mobil dan rumah megah. Gengsi
inilah yang kemudian membuat mereka harus berangkat ke kota. Mereka lebih rela
tanahnya di jual untuk membeli tokoh di Jakarta, daripada bertani di kampung
halaman. Belum lagi serangan maraknya penjualan tanah yang semakin hari semakin
tajam dan tinggi. Desa sebagai sebuah kekuatan ekonomi kata Iwan Fals tidak
disadari. Akhirnya para peserta lomba esai banyak yang mengkritik hal itu, saya
pun hanya membaca dan memantau sebagai panitia. Kegiatan pun berjalan lancar.
Merdeka
sudah 71 tahun. Sehingga banyak acara
untuk merayakan hari kemerdekaan ini salah satunya adalah di PC NU sumenep yang
mengangkat tema “Refleksi NKRI Harga mati, hargailah para pahlawan” dengan
pemantik K. Dzardiri Zubairi, malam itu benar-benar hangat sharing tentang
kemerdekaan bangsa ini. Sebab bagi audiens kita belum merdeka. Padahal sudah
jelas 17 Agustus 1945 merupakan hari kemerdekaan, tapi mengapa mereka
mengatakan kita belum merdeka. Inilah yang dikatakan “Mencari Merdeka di Tengah
Kemerdekaan”.
Mengapa
harus dicari, karena di gemuruh perayaan kemerdekaan 71 ini banyak di antara
kita yang merasa tidak merdeka, karena banyaknya kekerasan atas nama agama,
kekerasan antarpelajar, politik yang lebih mementingkan kelompoknya, persaingan
kerja, dan sederet kasus-kasus pelecehan seksual dan lainnya masih menyelimuti
dingding kebangsaan Indonesia. Padahal kalau peringatan kemerdekaan diperingati nilai atau substansi dari
kemerdekaan itu, maka jiwa dan pikiran kita bergetar terharuh, bagaimana tidak?
Pahlawan
kita dikejar penjajah dan bom dari tempat ke tempat yang lain, hanya untuk
memerdekakan Indonesia. Pahlawan kita bersembunyi di hutan, dari rumah ke rumah
hanya untuk satu tujuan kemerdekaan. Peringatan kemerdekaan merupakan
peringatan untuk menguak atau me-refresh kembali nilai-nilai sejarah dan nilai
simbol dari Bendera, Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan simbol lain yang
sampai saat ini masih menjadi tonggak
kering tanpa makna.
Momentum
kemerdekaan 71 ini adalah untuk menyirami benih-benih bangsa (pemuda) untuk serius
dalam belajar dan membaca sejarah, agar pikira dan jiwanya subur. Lomba
merupakan warna dari perayaan itu sendiri, namun substansi dari kemerdekaan
sebenarnya adalah untuk membaca dan belajar kembali, apakah perjalanan bangsa
ini sesuai dengan tujuan kemerdekaan atau malah justeru jauh dari nilai-nilai
kemerdekaan.
Battangan,
23 Agustus 2016
Komentar