Dimana Rasa Kemanusiaan Kita

Oleh: Matroni Musèrang*


Suasana puasa dan lebaran baru saja kita nikmati dengan khidmat, namun tiba-tiba Bom terdengar di Saudi Arabiah dan Solo, pikiran dan mata kita terbelalak dengan Bom itu. Ada yang mengecam karena Bom di Madinah dekat dengan Nabi Muhammad SAW, ada juga yang membaca lebih dalam mengapa Bom terjadi di bulan suci di saat ummat Islam khusuk-khusuknya beribadah?
Dalam tulisan sederhana ini saya ingin membaca dari eksistensi kemanusiaan itu sendiri. Kita sudah banyak membaca dan mengeyam aksi damai dan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia tahun 10 Desember 1948. Deklarasi Kairo Tentang Hak Asasi dalam Islam 5 Agustus 1990. Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration On The Rights Of Indigenous Peoples). Deklarasi Vienna dan Program Aksi yang disetujui tanggal 25 Juni 1993 oleh Konferensi dunia Hak Asasi Manusia. Lantas buat apa aksi damai dan deklarasi ini bila rasa dan hak asasi manusia terbelenggu dan tergadai oleh gebalau luka, pembunuhan dan kebencian? Dimakah kemudian perdamaian dunia? Dimanakah PBB? Dimanakah aktivis kemanusiaan dunia?  
Menurut P. Peter Aman, Perdamaian, seperti halnya pembebasan dari segala macam bentuk penderitaan, adalah hasrat dan dambaan hati setiap manusia. Tetapi perdamaian tidak bisa disederhanakan menjadi sekedar situasi atau kondisi bebas dari konflik. Bebas dari konflik merupakan indikator atau prakondisi bagi perdamaian dan tidak identik dengan perdamaian. Jadi perdamaian jauh lebih luas dan kaya dimensi dan maknanya.
Apakah karena makna perdamaian luas dan kaya sehingga manusia masa kini tidak mampu membaca dan menelaah lebih kritis sehingga benar-benar memahami bahwa manusia (al-insan) dan kemanusiaan (al-insaniyah) memiliki makna dan harga yang sangat amat mahal, bahkan tidak dapat didolarkan atau dirupiakan. Saya tidak akan mengungkap ada politik apa di balik Bom itu, sebab sudah jelas mereka memiliki tujuan. Hanya saja cara mereka untuk mencapai tujuan dengan jalan Bom. Bagi pengebom hanya dengan jalan itulah tujuan bisa tercapai. Padahal kalau kita paham dan membaca ayat kemanusiaan tentu jalan bom mungkin “merugikan”.
Manusia dan kemanusiaan dua hal yang satu sisi sama-sama bermakna dan berfungsi, seperti sekeping mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan, oleh karena itu perintah untuk membaca ayat kemanusiaan dan manusia dianjurkan bagi siapa di dunia ini. Mengapa? Karena di dalam manusia dan kemanusiaan memiliki rasa sebagai sisi intrinsik yang tidak bisa dipisahkan. Kalau sisi intrinsik ini di singkirkan maka wajar jika bom dan bunuh diri itu dilakukan.
Saya melihat bom itu bukan atas nama agama, hanya saja agama dibawa-bawa untuk memancing rasa manusia dan kemanusiaan agar kita marah. Ketika marah maka 80%kekuatan yang dalam diri manusia dan kemanusiaan akan hilang, ketika manusia marah, tidak ada kontrol pikiran (akal/logika) dan spiritual, sehingga kita akan bertindak semena-mena, maka ketika kita bertindak tanpa strategi yang cerdas runtuhlah segala kekuatan kita baik material maupun spiritual.
Penting kemudian, tidak terburu-buru mengecam dan marah terhadap para pengebom, namun ayo kita bersama-sama membaca lebih dalam fenomena Bom ini. Apa sebenarnya motif bom itu? Apa tujuannnya? Mengapa harus bom? Tidak adil kemudian, jika yang ahli politik bom karena ada motif politik, karena motif agama, karena motif budaya, ekonomi, akhinya kita parsial memahaminya.
Justeru saya melihat ini akibat dari kegersangan rasa manusia dan kemanusiaan, tidak ada lagi etika kemanusiaan dan tidak adanya hak asasi manusia. Moral tidak lagi diperhitungkan untuk melakukan sesuatu. Pikiran sudah digadaikan demi materi yang melimpah. Artinya kalau bom itu masih terjadi sisi kemanusiaan kita sudah mati, bagaimana mungkin manusia yang bisa ngebom kalau dirinya manusia?
Yang ngebom memang manusia, namun manusia yang tidak memiliki makna manusia. Ia menyadari bahwa dirinya ada untuk semesta agar menjaga keseimbangan alam dan seisinya. Adanya manusia untuk melestarikan dan menjaga manusia dan kemanusiaan. Siapa lagi yang akan menjaga manusia kalau bukan manusia, kalau manusianya tidak mau bahkan tidak membutuhkan manusia, apakah pantas kita dikatakan hamba?
Disinilah letak kegersangan kita dalam menjalani hidup. Manusia memiliki tugas untuk hidup dan menghidupi. Menghidupi tentu dengan siraman kesejukan (rahmatal lil alamin), bukan di siram dengan api (bom), bukankah sifat api adalah membunuh, meniadakan. Api memang dibutuhkan, namun api tanpa air itu sia-sia. Air tanpa api pun juga sia-sia. Api dan air harus sama-sama ada. Biar ada kesejukan dan kehangatan, ada siang dan malam, ada matahari dan rembulan.
Sama halnya dengan manusia dan rasa. Setiap manusia pasti memiliki rasa. Namun seringkali rasa ini kalah dengan amarah. Rasa dalam hal ini adalah empati hati dan pikiran kita untuk membaca kembali sisi kemanusiaan kita. Kalau rasa ini ditiadakan, maka sama halnya kita membunuh perdamaian dunia, membunuh sunnatullah, membunuh keseimbangan alam semesta.
Sudah saatnya kita mempertimbangkan berbagai hal yang berkaitan dengan fenomena sosial-kemasyarakatan, agar kita tidak terjebak pada empati negatif yang seringkali mengesampingkan sisi kemanusiaan. Untuk itulah tindakan rasa dan rasa tindakan penting untuk kita perhitungkan sebagai bentuk dialogis dari dialektika pemikiran kita sebagai manusia yang memikirkan keadaan manusia. Sebab kita sesama manusia satu tubuh yaitu tubuh kemanusiaan. Tubuh kemanusiaan inilah yang harus kita perjuangkan dengan cara yang santun, dan penuh tatakrama sesama.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani