Penyair Momen atau Penyair Monumen


Oleh: Matroni Musèrang

Dewasa ini, kita dikagetkan dengan ribuan penulis sastra Indonesia terutama puisi, cerpen dan novel, dengan berbagai latar belakang yang beragam. Ini pertanda sastra Indonesia terus berkembang dan maju seiring perubahan yang tak bisa di bendung. Sastra yang ditulis oleh anak SD, mahasiswa, sarjana sampai orang tua yang tidak pernah belajar teori mengisi halaman-halaman sastra di koran, majalah, jurnal, buliten, online, facebook, twitter, blogspot, buku.
Banyaknya lomba sastra yang diadakan, pertemuan penulis sastra yang diadakan tiap tahun sekali, dengan kurator dan peserta yang tidak sedikit. Siapa yang akan berkata sastra Indonesia “mati”. Banyak komunitas dan diskusi sastra diadakan setiap minggu, tiap bulan, setengah bulan sekali, sebagai bentuk wacana keilmuan sastra terus hidup dan diwacanakan.  
Namun pesatnya penulis sastra kita, mengandung tanda tanya besar, sebab perubahan itu terus bergerak, dan berotasi, dengan demikian, perjuangan menjadi penulis sastra di sini penting kemudian, siapa yang yang kuat (istiqamah/konsisten) melawan gejolak, proses dan luka yang datang bertamu, itulah yang akan menjadi pemenang. Pemenang inilah yang akan menjadi monumen yang selalu dilihat, di kenang, di baca, di kritisi, di-dialektika-kan dan perbincangkan oleh semua manusia di dunia.
Karya yang kuat pasti menjadi pemenang inilah karya yang melampuai zaman dan perubahan demi perubahan, siapa yang tidak kenal puisi Iqbal, Rumi, Ibn Arabi, al-Farabi, Adonis. Event sastra adalah momen. Walau pun event merupakan bagian dari proses untuk menjadi pemenang, namun pertanyaanya apakah kita mau untuk “berjuang” memenangkan karya kita sebagai pemenang? Jawabannya ada pada diri kita sendiri sebagai penulis sastra. Apakah kita hanya mau hidup di ruang momen atau mau hidup di ruang monumen? Apakah kita ingin menjadi “penyair momen” atau ingin menjadi “penyair monument”? atau dua-duanya?
Tentu momen dalam hal ini adalah ruang yang terbatas. Penulis sastra yang hidup di ruang momen akan selalu bergantung pada event-event, koran dan jurnal dan ketika menjadi juara dan sudah di muat di koran, jurnal, ia merasa sudah menjadi penyair, ia tidak menyadari bahwa kemenangan dan dimuatnya itu masih di ruang momen, ruang sempit. Penyair yang seperti ini biasanya buru-buru untuk menerbitkan antologi tunggal, karena merasa tulisannya sudah wah. Artinya ia mengukur kualitas karya dari di muat atau tidak di muat. Sungguh naïf.
Sementara monumen dalam hal ini sebuah proses panjang, proses berjalannya kreativitas, berjalannya pembacaan, berjalannya gejolak, berjalannya proses itu sendiri, proses dialektika dengan penyair-penyair lain. Inilah bahan-bahan monumen sastra itu sebenarnya. Bukan intans, bukan kedangkalan, bukan keterburu-buruan, bukan kesombongan, dan bukan yang lainnya. Sebab bahan-bahan “bukan” ini akan cepat lapuk, rapuh dan tergusur-terkubur oleh monumen.    
Maka, rubahlah niat kita untuk menjadi penyair terkenal, buat apa terkenal tapi rapuh. Alangkah indahnya bila kita belajar dengan sungguh-sungguh untuk menjadi penulis yang selalu belajar dan belajar. Membaca dan membaca, tawadu’. Sebab “penyair monument” juga akan lebih terkenal, kuat, eksis daripada “penyair momen” yang terbatas ruang dan waktu. Kalau kita mau bukti nyata, lihat monument yang ada di Indonesia ada Borobodur, Monas, situs yang ada di Eropa, di Paris, India, Prancis, Turki siapa yang tidak mengenal monument itu?. Penyair pun seharusnya demikian dalam berkarya. Siapa yang tidak mengenal Maulana Rumi, Ibnu Arabi, Alfarabi, Salman Rusydi, Iqbal, Chairil Anwar, Sutan Takdir Alisjahbana, Kontowijoyo, Umar Kayam, Oktavio Vas, Nietzche, Rendra dan lainnya. Mereka adalah monument kepenyairan yang selamanya akan hidup di tengah-tengah kita.
Monument di cipta dari akar terlebih dahulu, kepenyairan pun akarnya adalah proses untuk mendidik mental-pikiran dan mental spiritual. Penyair monument adalah sosok yang memiliki mental yang kuat, tidak ngartis, mental yang mampu membaca konteks sosial-kemasyarakatan, ia tahu bagaimana seharusnya berpuisi.
Penyair monumen yang kreatif akan melahirkan kritikus-kritikus handal. Mengapa kemudian kita hari ini krisis kritikus sastra salah satu penyebabnya adalah banyaknya penyair-penyair momen yang narsis-ngartis. Padahal kalau kita benar-benar paham perjalanan sastra dan perjalanan keilmuan sastra yang dikembangkan oleh sejarah, kita akan terkagum-kagum. Saya yakin penyair momen ini belum benar-benar paham bagaimana seharusnya melayani sastra dan bagaimana keilmuan sastra.
Penyair moment hanya tahu menulis puisi. Ia hanya tahu bahwa puisilah yang mengantarkan ia sampai diperkampungan kepenyairan. Ia benar, tapi apakah kita tidak menyadari bahwa perkampungan kepenyairan bukanlah perkampungan yang hanya terbatas pada ruang dan waktu. Perkampungan kepenyairan sebuah kampung yang damai, indah, sejuk, teduh, dan inklusif-holistik-universal. Penuh dengan bunga keilmuan yang beragam dan paradigma yang beranting-bercabang. Perkampungan kepenyairan berada di luar ruang dan waktu. Ia terus berdialektika dengan buku-buku dan ayat-ayat semesta. Bergumam dengan kesakitan para petani kampung. Hidup bersama para janda, fakir miskin, akan yatim dan hidup bersama para korban kebiadaban penguasa.
Dan kita akan merasakan puisi-puisi yang lahir dari hal demikian, akan menjadi puisi monument. Puisi yang digandrungi alam semesta bahkan Tuhan pun. Semoga kita mampu menciptakan puisi monument, bukan moment.

 Sumber: Radar Madura, Minggu, 24 April 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani