Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2015

Pagar Kenabian: Sebuah Universalitas Agama dan Filsafat

Oleh: Matroni Muserang* Sebelum terbit puisi ini sempat menjadi “perdebatan” tahun 2015 di Koran Republika yang ditulis oleh Raedu Basha, Dimas Indiyana Senja dan Khairul Umam, mereka bertiga saling beradu paradigma dalam membahas puisi Nadham yang ditulis oleh Sofyan RH Zaid, dan kini puisi itu sudah diantologikan dengan judul “ Pagar Kenabian ”. Dari arah yang berbeda # kita jumpa di taman kota Aku dari kampung filsafat # kau dari pedalaman tarekat Puisi di atas saya petik sebagai pintu gerbang untuk menuju gerbang-gerbang berikutnya. Walaupun kita berbeda agama, budaya, pengetahuan, aliran, dan ras, namun tujuan kita satu yaitu kota. Walaupun kita berbeda pintu, namun tujuannya satu yaitu kota. Kota di sini saya maknai sebuah perkampungan, tempat dimana segalanya bermuara, yaitu filsafat dan tarekat. Kota sebuah jantung perkampungan Tuhan, sebab filsafat dan tarekat sebuah jalan atau perantara manusia agar cepat sampai di perkampungan Tuhan.   Pada dasarnya puisi

Belajar Ber-Pelan, Lombok Post

Oleh: Matroni Muserang* Multikultural adalah sebuah harta kekayaan, kata Sindhunata. Puisi sebagai bagian dari kekayaan tersebut, tentu memiliki cara tersendiri untuk memberikan wacana dan “fatwa” kebudayaan  yang terkandung di rahim puisi. Salah satu dari sekian banyak tujuan puisi adalah menciptakan masyarakat beradab ( civil society ). Sebab di zaman yang penuh “penjajahan”, semua masyarakat sudah tidak lagi mengenal “diri” “ruang” dan “imajinasi”. Masyarakat tungganglanggang. “Masyarakat angin”. Masyarakat di buru dan memburu materialitas yang dianggap “sesuatu” yang membahagiakan dan memberikan anugrah hidup yang mengembirakan, bagi sejuknya hidup dan damainya kehidupan. Iya itu benar adanya. Tapi ada hal lain yang belum kita sadari bahwa materi itu adalah bagian terkecil untuk menciptakan tatanan kehidupan ini damai yaitu refleksivitas. Di tengah sibuknya masyarakat ini, dikejarnya dedline kerjaan, hidup selalu dikejar waktu, suramnya daya pikir dan “matinya” daya rasa