Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2015

Menuju Kegersangan

Niji diam mendengar pembicaraan tiga orang yang dipinggirkan karena kritis melawan negara. Di balik keterdiaman seseorang akan berfikir, termasuk Niji. Niji duduk di kursi kayu, menghadap ke arah Timur, sambil melihat kimcil-kimcil berlalu lalang, sekaligus mendengar diskusi cerdas dengan tema “Negaramu Piye”.   Musik gendingan kraton mengiringi senja, menghias waktu dan perjalanan, sementara di alun-alun Utara ramai dengan wisatawan yang berkunjung melihat kekayaan kraton Yogyakarta. “Apakah Kraton selamanya akan menjadi simbol nilai, menjadi kekayaan, dan wisatawan akan datang ke Yogyakarta?” Menjadi sempurna memang tidak bisa di dunia ini. Banyak saudara kita di hukum pancung di arab (TKI) sementara bangsa kita hanya berdiam diri. Saudara kita rela berangkat ke luar negeri untuk mencari uang, sementara di negaranya sendiri uang di curi. Kejadian ini memang mengundang emosi para saudara kita. Tapi apa mau di kata pemimpin sudah tak banyak berkutit untuk membantu rakyatnya.

Diri yang Luka

Hari-hari berselimut kemurkaan pada Tuhan. Waktu-waktunya berbisik tentang keadaan masyarakat yang digadaikan. Bahkan dasar negara pun digadaikan sendiri. Kalau dulu ada tokoh yang berkata Indonesia adalah rumah kita semua. Kini rumah itu di rusak dan dikotori dengan korupsi, kekerasan, dan   saling sikut. Semuanya ingin menjadi nomor satu. Tidak heran para tokoh bangsa membeli dengan uang. Membangi-bagikan uang, membeli suara. Anehnya hal itu sudah menjadi hal biasa. Bangsa selalu memperingati hari-hari besar nasional seperti pidato Bung Karno yang dikenal hari kelahiran Pancasila sebagai ideologi. Semua mantan pemimpin dan pemimpin bangsa ini berpidato. Saling kritik satu sama lain. dalam memperingati hari besar nasional semua sepakat Pancasila dijadikan dasar bangsa, tata nilai, filosofi atau falsafah negara. Walau pun kenyataannya juga jauh menyimpang dari pancasila itu sendiri. “Merdeka! Inilah salam nasional bangsa kita” Niji hanya mencatat dalam perjalanan dirinya.

Tiga Kesunyian Semesta

Oleh: Matroni Muserang* Dalam kehidupan masyarakat Madura ada yang namanya pengetahuan tentang ilmo “ tengka ”. Ilmo tengka adalah ilmu yang membahas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan tingkah laku, baik tingkah laku gerak-gerik manusia, tingkah laku pikiran dan hati. Bagi penekun ilmu-ilmu gaib, biasanya akan mengetahui bahwa pikiran dan hati seseorang itu jelek atau baik. Bisa juga dilihat dari gerak-gerik kesehariannya.   Dan yang menekuni ilmo gaib itu akan meyakini bahwa alam semesta ini tegak berdiri karena ada tiga kekuatan besar yang masih hidup sampai hari ini, makanya ahli gaib akan menghargai dan menghormati ketiganya. Pertama orang tua. Orang tua di sini dimaknai sebagai orang sepuh, orang yang sudah berumur 50 tahun ke atas. Baik baik laki-laki maupun perempuan yang sudah sepuh. Wajar kemudian, jika kedua orang tua (ibu dan bapak) diperintah untuk ditaati, dihormati dan di sanjung, sebab dari orang tua sendiriah kita belajar membaca. Orang yang sudah

Permaisuri Waktuku

Oleh: Matroni Muserang Detik yang kita bawa bersama renggang jejak yang terasa sebentar akan kembali menjadi semu bila tak bisa kita rangkai menjadi sebuah jejak waktu yang bermakna. Kebermaknaan perjalanan permaisuri akan terlihat ketika amarah menjadi sejengkal pernafasan diri yang semakin hari semakin meluah menjadi arti, arti dari perjalanan permaisuri yang kadang marah kadang damai sesuai dengan roda waktu dan perjalanan matahari. Lewat senja demi senja, kita berjalan di atas daun yang hijau, menyusuri pori-pori waktu yang tidak semua orang mengerti, walau pun ada kesamaan di dalam ruang yang sama, tapi kita tidak bisa mengetahui berapa ragam waktu dan ragam bahasa di rumah permaisuri waktuku. Permaisuri waktuku merupakan rumah yang harus kita hias dengan berbagai bunga-bunga dan segar angin yang menyeruak dari arah yang berbeda. Kita adalah perawat dan penjaga sejati yang dicipta oleh tradisi. Di dalam rumah itu ada tradisi warna yang tidak boleh layu yaitu warna keber

Para Pembuat Diri

Celurit Cinta Seringkali aku harus melawan Mengucurkan darah Membuat semudera berairmata darah Jangan! Kata Celurit Aku masih punya cinta Yogyakarta, 30 Mei 2011