Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2015

Latar Matahari

Niji adalah sosok yang sensitif emosinya, dia diam-diam, dan mudah berdebat. Perasaannya sangat peka, ia dikenal seorang pendiam, catatan hariannya penuh dengan rujukan rasa positif dan khas orang kampung, resah, gundah, penderitaan, serta kesedihan-kesedihan, hanya itu ditulisnya dengan penuh gairah, karena ia secara mendalam menghidupi dan menggeluti jadi diri sebagi manusia. Pun dalam pengalaman yang positif. Hal ini dapat dilepaskan dari latar belakang keluarga dan pengalaman hidupnya yang merupakan faktor penting penentu perkembangan kepribadian dan pandangan pengalamannya. Niji lahir pada 03 Maret 1984 di Sumenep, Madura, kota yang waktu itu banyak kerajaan berpenduduk kurang lebih tuju ribu orang, sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara. Tahun tersebut juga merupakan tahun penjajahan Belanda yang terkenal. Niji tumbuh dalam keluarga kelas menengah ke bawah, ayanya el-Moezany sudah berumur 54 tahun ketika Dewi baru lahir.   Dengan sikapnya yang kasar, pendiam, dan

Sebuah Pencarian

Anak yang berusia 20 tahun sudah lulus SMA, dia tidak tahu harus kemana? Kuliah atau cari kerja. Anak seorang petani, yang tidak mampu secara materi untuk kuliah, apalagi kuliah mahal belum lagi makan setiap harinya. Anak itu bingung, setiap hari hanya membantu kedua orang tua, mengambil kayu bakar, menimba air di sumur, tidak ada bayangan untuk melanjutkan kuliah, sebab tidak tahu mau kuliah kemana. Setiap pagi dia hanya menikmati pagi dengan membantu orang tua, menyiramkan harapan pada matahari. Menghilangkan keringat pada angin dan embun pagi. Dia melihat anak sekolah pergi, anak kuliah gaya, sementara dirinya berkebun dengan pakaian sederhana. Laki-laki itu mulai berpikir aku harus kuliah dan pergi dari kampung ini mencari ilmu dan setelah mendapatkan aku harus kembali ke kampung, pikiranya, tapi aku mendapatkan biaya dari mana? Sementara ayahku petani gula aren, petani biasa, serunya sambil memukulkan daun kelapa ke tanah.       Sang Pelihat Kubayangkan tubuh seperti

Mandher Tak Padhe’e Ben Monyena Buja E Attas Cobik

Oleh: Matroni Muserang* Judul di atas kalau diterjemahkan kira-kira begini “ semoga tidak seperti bunyi garam di atas cuek (cobik: madura)”. Bagaimana bunyi garam di atas cuek, semakin lama semakin tidak ada bunyinya karena di aduk. Kalau bahasa Madura ini kita padankan terhadap para calon-calon pemimpin Indonesia ini pas sekali, mulai dari pemilihan kepada desa sampai presiden. Sebelum jadi pemimpin bagaimana para kandidat berkoar-koar untuk memakmurkan rakyat. Berkoar-koar obral janji, namun kenyataannya kosong. Hilang seketika itu juga, seperti bunyi garam, awal-awal keras sekali makin lama, makin hilang, karena sudah halus. Setelah jadi pemimpin, mainnya pun halus, sehalus garam di atas cuek, siapa yang mau mengamankan proyek ini, ia akan jadi dan kaya sendiri. Rakyat dibiarkan tanpa daya. Dimanakah koar-koar waktu itu? Dimana janji-janji itu? Dimanakah keadilan yang kau janjikan itu? Maka lahirlah komunitas-komunitas, kelompok-kelompok, dan instansi-instansi berk

Ketika Anak Menjadi Raja

Oleh: Matroni Muserang* Kemaren waktu saya menjemur padi (mengeringkan padi) di halaman rumah, tiba-tiba pikiran saya dikagetkan dengan bahasa menantu bapak saya “ satea anak daddi rato, area tandana para’ keamat ” kalau diartikan dengan bahasa Indonesia bebas bahwa sekarang anak menjadi raja, dan ini pertanda “kiamat” sudah dekat. Bahasa itu lahir ketika melihat ada anak tetangga saya membeli motor baru, sementara kedua orang tuanya kerja ke luar kota dan anaknya dirumah tidak kerja apa-apa, karena anak ini mahasiswa semester akhir. Berbicara zaman sekarang, tidak bisa dipisahkan dengan perubahan dan gaya hidup yang luar biasa. Perubahan dari miskin menjadi kaya dengan cara apa pun. Di kampung saya misalnya banyak yang keluar kota untuk kerja, padahal di daerahnya banyak yang harus di garap, mulai dari sawah, tegal dan kebun. Anehnya mereka “tidak mau” menjadi petani, padahal petani kata K.H Hasyim Asy’ari sebagaimana dikutip Ahmad Baso dalam bukunya Agama NU untuk NKRI bah

Iqra’

Oleh: Matroni Muserang* Apa sich yang harus dibaca? Mengapa kita diperintah untuk membaca? Bagaimana cara untuk membaca? Siapa membaca siapa? Pertanyaan ini penting saya kira untuk didiskusikan bersama, mengingat membaca di kalangan ummat Islam mulai menurun. Ada sebuah kalimat dalam kita al-Hikam karangannya Ibnu Atha’illah al-Iskandari di abad ke-7 H/13 M bahwa maksiat yang akhirnya menyebabkan seseorang menjadi taat jauh lebih baik dari pada taat yang dibarengi dengan kesombongan dan menyebabkan seseorang takabur . Seorang Kiai akan heran jika ada sebuah pesantren di Sumenep di acara hataman atau haflah mengundang Lodruk, samroh, ketoprak, saronen, musik dangdut, apalagi acara ini di gelar di pondok, pasti ada bahasa pesantren “murtad”, “kafir” “kiainya bodoh” dan ocehan-ocehan lainnya. Namun bagi kiai atau orang yang paham kalimat al-hikam di atas justeru dia akan berpikir bahwa hidaya Allah tidak dibatasi hanya dengan mengundang Kiai berceramah, akan tetapi justeru

Darul Imtihan

Oleh: Matroni Muserang* Konsep Darul Imtihan saya dengar dari Abah Sapujagad dan diartikan sebagai “ rumah Uji coba ” oleh Abah. Saya menyebut Abah mengikuti panggilan K.H Rafi Dhar Zurkarnain, pengasuh Pondok Pesantren Yayasan Metafisika Ma’rifat Billah, Jombang, Jawa Timur. Darul Imtihan sebuah rumah atau ruang, dan sebuah nilai universal. Sebuah rumah didalamnya berisi manusia, ketika menyebut manusia berarti kita sama, sama-sama manusia, namun yang membedakan title atau identitasnya. Identitas manusia. Misalnya ulama, kiai, santri, tokoh masyarakat. Jadi perbedaan ini sebenarnya terletak pada identitas kita sebagai manusia. Namun di hadapan Tuhan belum tentu. Bisa saja seorang Kiai-lah yang lebih buruk di hadapan Tuhan, justeru orang yang bukan kiai yang baik dihadapan Tuhan. Artinya tidak ada jaminan dari Tuhan seorang Ulama, Kiai, manusia paling benar dan pasti dijamin surga oleh Tuhan. Darul imtihan merupakan ruang dimana manusia di uji dan di coba oleh kemanusia