Menunggu Matahari



Untuk menginjak keberlanjutan, Niji tambah sebel. Dia lelaki baik, walau pun kadang ia terpaksa bersikap kasar atau berpikir kasar, itu dilakukannya untuk tujuan yang lebih mulia. Mengabdi pada rakyat, menyelamatkan kaum marginal dari penderitaan karena penguasa, mengikuti langkah cahaya dalam hidupnya, hanya Allah. Yang Maha adil bagi hambanya.
Ketika Niji mendengar uang rakyat di curi sampai miliaran, menurut saya, kata bapak-bapak yang berumur 50 tahun ketika Niji nonton TV bareng, koruptor itu di gantung di cambuk, dan di tembak mati disiarkan di telivisi agar rakyat tahu, ini lho yang mengambil uang kamu, kata bapak Aris sambil nonton siaran tv.
Hanya teroris yang di tembak mati, koruptor juga lho, lanjut bapak Aris. Setelah Niji mendengar penjelasan bapak Aris tadi. Niji berpikir mana lebih banyak dampak teroris dengan koruptor terhadap rakyat? Mengapa undang-undang lebih tragis terhadap teroris daripada koruptor? Padahal undang-undang untuk koruptor masih bisa dipolitisir dengan hukum atau ahli hukum? Mencari pengacara, atau kuasa hukum. Kenapa kalau teroris langsung di tembak mati?  
Niji sedikit senang, akan kemerdekaan dirinya, namun, ide-ide kapitalis mulai mengancam kenyamanan masyarakat untuk menghancurkan benteng-benteng diri mereka, mengalihkan pemikiran rakyat dari seni yang sebenarnya menjadi kapitalisme yang sesungguhnya, serta merusak lokalitas dengan tarian modernitas yang lumayan rumit dan lebih gila lagi.
“Mengapa mahasiswa, kini lebih mementingkan model dan gaya ala kapitalis dan modern daripada mengisi otaknya dengan membaca buku dan transformasi keilmuan?”
Itulah salah satu dampak dari budaya barat yang tidak kita sadari. Dengan pelan-pelan ia merasuki tubuh kita untuk menggoda diri untuk menjadi manusia materialis dan pragmatis. Boleh saja kita menikmati itu semua, tapi jangan sedikitpun melupakan kearifan dirimu sendiri. Karena bekalmu hanya diri yang kuat. Diri yang memiliki karakter. Diri yang memiliki identitas. Diri kritis, cerdas, dan peka terhadap fenomena dirinya, orang lain dan lingkungannya.
Sebenarnya apa yang mampu mempengaruhi manusia? Kalau pun budaya, lalu budaya bentuknya seperti apa? Apakah ia berbentuk angin, sehingga menelusup ke pori-pori tubuh? Apakah ia berbentuk seperti jin? Sehingga manusia tak mampu untuk menyangkal dan mengkritisi?
Mei duaribusepuluh, Niji sungguh butuh uang seratusribu untuk foto, foto copy skripsi, karena jika uang yang seratusribu Niji tak ada, maka Niji harus registrasi enamratusribu, dan uang sewa kamar empatratuslimapuluhribu rupiah, jadinya satujutalimapuluh ribu rupiah, jika uang yang seratusribu ada, betapa damainya hati Niji saat ini. Hari demi hari Niji hanya mengharap tulisannya di muat dan Novelnya di terima penerbit. Tak ada teman yang bisa membantu, Septi, dan Dewi tak jua mereka menghiraukan resahku, hanya memikirkan uang seratusribu.
Niji pun menuliskan puisi di pagi ketika baru selesai shalat Subuh, walau pun dengan terpaksa Niji harus shalat, Niji rasanya berhenti shalat, karena saking bingung dan tak ada jawaban.

Berlama-lama aku menunggu keajaiban
Tak jua terjawab, kutanyakan semesta, belum terjawab
Malam itu aku ingin menangis, di tengah sungguh benar-benar butuh bantuan
Bantuan percakapan panjang dengan harus membayar

Siapakah yang mau membantu
Lewat secercah uang receh dan waktu yang terus mendadak
Malam pun tak nyenyak kulayani
Rasa tak bisa kudamaikan
Resah bergelimang di ruang jiwa
Menanti jawaban yang mungkin lahir dari berbagai jalan, tapi kapan?

Dimanakah berbagai jalan itu?
Kucari-cari dengan do’a, kucari dengan kata-kata, dan kucari dengan meminta
Belum juga memperlihatkan dirinya

Sungguh benar-benar butuh

Peristiwa yang selalu kualami ini, kapan berakhir?
Apakah kemelaratan ini terjawab dengan ketakmelaratan? Seperti janjiMu
Jika demikian janji itu, akankah akan semakin lama Engkau berikan
Sementara waktu semakin sempit untukkuberikan

Sungguh benar-benar butuh

Dimanakah engkau simpan rahasia itu
Aku sungguh butuh jawaban dari semua rahasia-rahasia semesta
Demangan, Yogyakarta, 25 Mei 2010

Tapi Niji masih ingat pesan Bapaknya
“Jangan sampai engkau meninggalkan shalat karena shalat adalah sarana paling penting untuk meminta apa pun kepada Yang Maha Esa” pesan ini selalu Niji ingat, tapi setelah berlama-lama Niji meminta dalam shalat tak jua ada jawaban, sungguh Niji benar-benar ingin berhenti shalat.
“Tidak!”
“Aku akan tetap shalat, mungkin ini proses atau jalan aku untuk sampai pada ruang lain, sehingga ruang itu lebih damai dan sejahtera”
“Tapi aku harus bagaimana saat ini, ketika detik ini yang aku butuhkan”
Bertengkarlah antara pesan bapaknya dengan gejolak jiwa. Antara berhenti shalat atau tidak. Dengan sadar, dan menyadari Niji tetap mengikuti pesan itu. Niji tak meninggalkan shalat.
Apakah ketika aku meninggalkan shalat jawaban itu akan cepat ada? apakah dengan meninggalkan semua pesan itu akan ada bantuan? Pikirnya. Biarkan semuanya berjalan apa adanya, masalahku tak ada hubungan dengan shalat, atau apa pun, tapi masalahku ya masalahku, yang harus kupecahkan dengan sendiri, lewat kata-kata, mendengarkan musik dan menyendiri dalam sepi. Tentunya usaha donk.  
“Aku tidak bales, karena aku bingung, jawabnya gimana, kakak tahu kan, ntar kalau ada apa-apa, aku hubungin siapa? Itu sama dengan mutus aku. Tapi kalau memang tidak ada jalan keluar, terserah kebijakan kakak. Nocoment. Begitulah salah satu balasan dari seorang perempuan yang aku mintai bantuan.
“Terus apa lagi yang penting ketika semesta ini aku lihat semakin tak kumengerti”
Niji akan membunuh orang lain ketika dia membahayakan masa lalu, masa kini dan masa depanya. Tak bagus memelihara orang seperti itu jika hanya mementingkan diri sendiri. Boleh saja orang menjadi pemenang jika sudah mampu mengalahkan diri sendiri, tanpa harus mengeluh, “aku tak mampu”, apa lagi mengeluh dengan bahasa yang tak bermakna “selamat tinggal” “males”.  
“Kapan aku bisa menjadi diri yang sukses dan kaya”
Dari pada memikirkan masa lalu, lebih baik kita memikirkan bagaimana menjadi diri sendiri yang lebih baik. Suatu yang tidak etis kalau kita merana dalam kehidupan, karena kehidupan milik diri sendiri dan orang lain, maka carilah serumpun warna hijau agar engkau menjadi lembut dan sejuk.
Niji sms lagi, sepertinya aku tak sanggup untuk melanjutkan hubungan kita, di saat aku membutuhkanmu, engkau tak ada, seingatku, ketika engkau butuh, aku selalu ada untukmu. Karena jarak yang memisahkan kita, maka hanya suara dan kata-kata yang bisa Niji persembahkan untuk Dewi. Tapi Niji tak separah Adam yang dikutuk makan buah terlarang sehingga semua manusia terkutuk.
Dewi lebih memilih menjadi orang yang berposisi, tapi Niji lebih memilih seni sebagai ruang gerak dan tempat hidupnya, dalam melawan diri dan orang lain. Karena seni banyak memiliki sumbangsih untuk melihat keadaan rakyat, untuk kemudian disampaikan pada penguasa, karena penguasa hanya melihat sesuatu yang besar, berbentuk sistem atau instansi, jika berbentuk demikian, layak untuk dipikirkan, dan di beri bantuan. Tapi jika tak berbentuk instansi dan tidak memiliki ijin sah, maka penguasa berhak untuk menggusurnya. Mengapa penguasa bisa berbuat seperti itu?
Begitulah ketika penguasa hanya melihat sistem dan berbentuk materi, padahal rakyat tidak hanya itu, kita banyak melihat sisi yang penting untuk di lingdungi dan di beri bantuan, pedagang kaki lima, asongan, pengemis, tapi mengapa mereka masih menyedihkan? Bahkan ada tempatnya di gusur oleh Satpol PP.
Apakah kita masih tak melihat bahwa negeri ini jahat dan tak memihak pada rakyat. Pelan kita harus melihat itu, agar para penguasa tidak terus memaksa kita untuk patuh dan berlutut.
Tanyakan pada seniman, penyair, budayawan, tanyakan pada asongan, kaki lima, penjual di pasar Talok, Demangan. Mereka di paksa untuk menyewa gedung, dengan biaya yang sangat mahal. Dengan sistem lembut kita luluh dan tak berdaya untuk melawan. Tanyakan pada dirimu dan orang lain. Diam itu tak bagus untuk perkembangan dan perubahan hidup.
Coba bayangkan orang yang hanya menjual seharga lima ratus rupiah, terus mereka harus membayar jutaan rupiah, logika dari mana. Sistem apa yang dipakai. Kepala apa yang dipakai pemerintah? Apakah sama kekayaan dengan banyak uang atau apakah sama banyak uang dengan kakayaan? Walau pun dosa seperti tetes hujan, antara satu tetes dengan tetes yang lain lebih besar, tapi apakah engkau mampu menahan jika selamanya hujan selalu turun mengenangi semesta?
Sebenarnya mereka ingin menyampaikan kegelisahannya, tapi mereka terlanjur masuk dalam perangkap sistem gila dan tak merakyat, sehingga menakutkan, seram. Betapa sakit hati mereka jika rasa tak sampai. Seperti orang yang suka sama perempuan, tapi takut untuk menyampaikan isi hatinya. Mereka hanya gelisah sendiri, merenung sendiri, berpikir bagaimana menyampaikan. Sungguh luar biasa kuat uang di negeri kita. Apa pun hanya luluh dengan uang dan kekuasaan. Dimana catatan uang belanja harian negara?
Bagaimana Niji melawan presiden dan orang-orang kaya di negeri ini? Tak daya untuk melawan. Karena ketika melawan, Niji akan di tentang banyak orang kaya, bahkan akan di bunuh. Lumpur Lapindo empat tahun berlalu, pemerintah belum bereaksi untuk mencari solusi, malah pemerintah masih asyik dengan taktik-taktik dan sistem yang akan merugikan rakyat. Bagaimana mungkin bisa berjalan lancar jika penguasa sibuk ingin kurupsi. Sampai hari ini belum ada orang yang berani melawan orang terkaya di negeri ini. Bahkan presiden memilih diam. Lalu bagaimana keadaan negeri jika semua orang takut hanya karena uang kita semua diam, mulut mereka tertutup oleh uang dan kekuasaan. Intelektual tak mampu melawan uang dan kekuasaan. Harus dengan apa kita melawannya? Politik, aku takut, nanti makan uang rakyat. Kekuasaan, aku takut, nanti tidak ingat siapa yang memberi kekuasaan. Uang, aku tak banyak uang.
“Niji jadi bingung”
Niji kembali sendiri, Dewi pulang kampung, walau pun kami dipisahkan oleh jarak, tapi di zaman sekarang, tak ada jeda dan sekat yang mampu untuk membiarkan kata-kata bersenggama dalam sepi dan kerinduan.
ayah sayank................ayaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah. bagaimanakah u sekarang, dimana, dan sedang apa? aku kangen, aku rindu mendengar tertawa ayah, melihat ayah makan, minum, tidur, aku kangeen yaaaah. aku ingin ke jogja. tapi aku belum bisa.ya Allaaaaaaaaaaaaaaah. kakaaaaaaaaaak.
kak, aku gak tau, aku harus bilang apa, aku kangen,sedih, tapi aku gak bisa apa-apa selain berdo`a pada tuhan dan bilang "Tuhan tolong aku dan kakakku, pertemukan kami Tuhan". aku tidak bisa berkata, sesak dadaku yah. setiap mau tidur aku terbayang dan kepikiran ayah, ayah tidur sendiri, gak ada siapa-siapa, gak megang uang, dsb. tapi mungkin itulah proses kita yang harus kita lalui. saat kemarin dan saat inilah saat sulit bagi kita ayah. dikala kakak butuh aku, ternyata aku tidak ada. tidak mampu menengok, mengulurkan tangan, dan bahkan berkata pun aku tidak sanggup. Aku kangeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeen, rinduuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu, sayaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang banget sama ayah. banyak yang ingin kusampaikan dan kukatakan yah, tapi aku tidak kuasa.


Itulah sebagian dari kata-kata Dewi dalam mengungkapkan kerinduannya pada Niji. Karena Dewi selesai lebih dulu kuliah, sementara Niji masih ingin santai, karena Niji tak mengejar posisi apa pun, jadi PNS, jadi dosen, tapi Niji tetap pada posisi menulis adalah dunia kerjanya, karena Niji kuliah bukan cari kerja, tapi mencari ilmu. Pesan ayah Niji, jika kamu ingin kaya ya, harus kerja, karena kuliah bukan tempat yang tepat untuk cari kerja. Kalau orang ingin kerja dan kaya tidak usah kuliah, tapi kerja.
Walau Niji tahu kebahagiaan tak dapat di tukar dengan uang dan kekuasaan. Dirinya sudah banyak memberi hal dan ia sadar betapa murah menjalani kehidupan ini. Mulai sekarang dan sampai akhir, ia akan mengabdikan dirinya pada kemanusiaan, juga sebaliknya ia akan mengabdikan kemanusiaannya untuk dirinya yang tersimpan di balik kerancuan-kerancuan makna kehidupan.
Niji pria normal, pekerjaannya membutuhkan energi rasa, imajinasi, dan kepekaan. Banyak teman-temannya berkata sekarang ini mulai jadi penyair. Mereka tak tahu sejak dulu ia selalu gelisah dengan dirinya. Dia menghadiri seminar budaya, seminar filsafat, seminar sastra, diskusi, pentas seni, dan mengikuti lomba nasional sejak dulu ia benci hiruk-pikuk kemanjaan, banyak orang menyembunyikan senyum dan kesedihan dalam hati. Dia melihat kalangan kelas atas sangat mementingkan kesuksesan dirinya, mereka tak henti-hentinya mengumpulkan kekuasaan, apakah mereka menyadari bahwa semua yang mereka kumpulkan memiliki batas. Tahu bahwa waktu ini sangat singkat. Apakah mereka tak pernah bertanya apa makna mereka terus melangkah dan mengumpulkan materi?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Pentingnya Etika Memilih Guru dalam Keilmuan

Matinya Pertanian di Negara Petani