Iqra’
Oleh: Matroni Muserang*
Apa sich yang harus dibaca? Mengapa kita
diperintah untuk membaca? Bagaimana cara untuk membaca? Siapa membaca siapa? Pertanyaan
ini penting saya kira untuk didiskusikan bersama, mengingat membaca di kalangan
ummat Islam mulai menurun.
Ada sebuah kalimat dalam kita al-Hikam
karangannya Ibnu Atha’illah al-Iskandari di abad ke-7 H/13 M bahwa maksiat yang akhirnya menyebabkan seseorang
menjadi taat jauh lebih baik dari pada taat yang dibarengi dengan kesombongan
dan menyebabkan seseorang takabur. Seorang Kiai akan heran jika ada sebuah
pesantren di Sumenep di acara hataman atau haflah mengundang Lodruk, samroh,
ketoprak, saronen, musik dangdut, apalagi acara ini di gelar di pondok, pasti
ada bahasa pesantren “murtad”, “kafir” “kiainya bodoh” dan ocehan-ocehan
lainnya.
Namun bagi kiai atau orang yang paham kalimat
al-hikam di atas justeru dia akan berpikir bahwa hidaya Allah tidak dibatasi
hanya dengan mengundang Kiai berceramah, akan tetapi justeru dengan diadakan
kesenian-kesenian seperti di atas orang desa atau masyarakat akan mengenal bahwa
kiai benar-benar menjaga tradisi seni yang sejak awal penyebaran Islam di Jawa
melalui kesenian-kesenian rakyat.
Ada sebuah pesantren di Jawa Tengah,
pesantren Tegalrejo Magelang seperti ditulis Ahmad Baso dalam Agama NU untuk
NKRI ketika ada hataman pengasuh pesantren yang bernama Pak Muh sapaat Kiai
Muhammad Chodlori mengundang sejumlah rombongan badui, kobra, samroh, wayang
kulit, tiga group ketoprak, sepuluh rombongan jatilan, dua reog, lima sarongen,
film Indonesia, band dan musik dangdut semua ini gelar di Pondok ini berkat kekuatan
tasawuf Pak Muh.
Ini salah satu bukti nyata bahwa iqra’
yang diperintah Allah itu tidak hanya terbatas pada teks-teks hadist dan
al-qur’an (qauliyah), akan tetapi teks-teks alam semesta dan perubahan sosial
pun wajib di baca (kauniyah).
Kalau iqra’ dipahami sebatas qauliyah,
maka banyak sekali hari ini orang yang “alim”. Alim dalam artian alim membaca
kitab klasik. Padahal yang dikatakan alim (alim yang sebenarnya) merupakan
orang yang mampu membaca zaman/era (zaman)
dan makan (tempat) jika diartikan menjadi kontekstualisasi, makanya ada siyaqul kalam, ada asbabul wurud, ada asbabul
nuzul atau konteks sosial ayat dan hadist itu ada.
Di zaman sekarang ini menjadi kiai yang
alim tentu tidak hanya tahu terhadap teks-teks kitab klasik, namun gersang jiwanya.
Zaman ini membutuhkan seorang kiai NU yang
paham lingkungan, paham keadaan masyarakat dan paham keadaan bangsa dan Negara.
Iqra’ kita tahu bermakna baca atau membaca. Tapi akan hanya sebatas itu kita
membaca. Padahal Rasulullah bersifat Ummi yang tidak bisa membaca. Lalu Nabi
membaca apa? Kalau tidak membaca keadaan masyarakat Mekkah waktu itu. Lalu
dimana iqra’ sekarang ada? Bagaimana keberadaan iqra’ di pesantren saat ini? Ada
iqra’ digunakan untuk membaca keadaan dan diri?
Kalau iqra’ hanya dipahami secara
tekstual, maka iqra akan menjadi menara gading yang hampa dari makna. Untuk
itulah iqra’ merupakan pembacaan yang kongrit kapan saja dimana saja, terutama
membaca kebijaksanaan dalam diri kita agar tumbuh kesederhanaan. Karena nilai
kepesantrenan di tempa oleh empat nilai kata Ahmad Baso: kesederhanaan,
semangat, kerja sama, solidaritas dan keikhlasan. Pertanyaannya adakah sekarang
pesantren yang sederhana? kiainya sederhana? Adakah pesantren dan kiainya
sekarang yang ikhlas? Saya tidak punya jawaban yang pas, walaupun saya sendiri
pernah melihat hal itu.
Ini akibat dari minimnya iqra’ yang
mendalam untuk mengatakan hilangnya makna substansial dari iqra’ itu sendiri. Maka
di tengah gempuran teknologi yang membuat kita semakin manja dan males, kita
sebagai santri kehidupan sudah saatnnya kembali pada kesadaran diri yaitu
melalui pintu iqra’ yaitu membaca diri, membaca lingkungan, membaca keadaan,
membaca realitas dan terus membaca. Sebab kalau iqra’ kita hilangkan, maka
pelan-pelan al-qur’an akan hilang di telan kemanjaan dan kemalasan.
Membaca hal-hal terkecil di dunia ini
kadang penting bagi jiwa dan pikiran kita. Dengan membaca kita akan mengerti jalannya
hidup, jalanya mendekat kepada Allah. Jadi tidak ada waktu yang tak tepat jika
kita diberi keinginan yang kuat untuk membaca.
Banjar Barat, 24 April 2015
Komentar