Darul Imtihan
Oleh: Matroni Muserang*
Konsep Darul Imtihan saya dengar dari Abah Sapujagad dan diartikan sebagai
“rumah Uji coba” oleh Abah. Saya
menyebut Abah mengikuti panggilan K.H Rafi Dhar Zurkarnain, pengasuh Pondok
Pesantren Yayasan Metafisika Ma’rifat Billah, Jombang, Jawa Timur.
Darul Imtihan sebuah rumah atau ruang,
dan sebuah nilai universal. Sebuah rumah didalamnya berisi manusia, ketika
menyebut manusia berarti kita sama, sama-sama manusia, namun yang membedakan title
atau identitasnya. Identitas manusia. Misalnya ulama, kiai, santri, tokoh
masyarakat. Jadi perbedaan ini sebenarnya terletak pada identitas kita sebagai
manusia.
Namun di hadapan Tuhan belum tentu. Bisa
saja seorang Kiai-lah yang lebih buruk di hadapan Tuhan, justeru orang yang
bukan kiai yang baik dihadapan Tuhan. Artinya tidak ada jaminan dari Tuhan
seorang Ulama, Kiai, manusia paling benar dan pasti dijamin surga oleh Tuhan.
Darul imtihan merupakan ruang dimana
manusia di uji dan di coba oleh kemanusiaan itu sendiri. Ada yang di uji dengan
ke-kiai-annya, ada yang di uji dengan ke-ulama-annya, ada yang diuji dengan
kekayaannya, ada yang di uji dengan kemiskinannya, ada yang di uji dengan
kepandaiannya, semua diadakan untuk bahan pembacaan bagi manusia.
Kalau kita belum menyadari bahwa
kehidupan ini merupakan rumah uji coba, maka kita akan bangga dengan
identitas-identitas sosial, ada yang bangga dengan kekayaannya, ada yang bangga
dengan kepandaiannya, ada yang bangga jadi guru, ada yang bangga dengan PNSnya,
ada yang bangga dengan jadi DPR, MPR, Bupati, Presiden, ada yang bangga dengan ilmunya.
Hari ini hal itu sudah terjadi di
tengah-tengah kita. Dan saya tidak pantas menyebutkan hal itu. Untuk itu darul imtihan merupakan nilai universal
dari rentetan pembacaan saya. Wajar jika kemudian iqra’ diturunkan pertama kali
ke dunia. Agar pikiran, hati dan indera yang diberikan Tuhan kepada manusia
digunakan untuk kemaslahatan seluruh tubuh kita. Kemaslahan pikiran (burhani
atau rasionalitas), kemaslahan jiwa (irfani atau spiritualitas), kemaslahan
indera (bayani atau materialitas).
Maka, berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairut), sebenarnya bukan
berlomba-lomba mendirikan lembaga-lembaga sekolah dan perguruan tinggi, buat
apa kemudian lembaga jika akhirnya saling rebut-merebut anak didik, tidak akur
dengan tetangga. Tidak akur sesama kiai, tidak akur sesama muslim. Padahal kita
tahu lembaga juga bagian dari “rumah uji
coba”. Kalau kita menyadari bahwa mendirikan lembaga secara substansial untuk
menyebarkan dan mengembangan ilmu dan pengetahuan Tuhan. Tapi mengapa hari ini
semakin banyak lembaga pendidikan justeru semakin banyak prostitusi dan korupsi
yang basi?
Apa yang membuat hal itu terjadi? Mengapa
mereka melakukan seperti itu? Mari kita refleksikan bersama, sebab jawaban
bukanlah final, namun sebuah proses keberlanjutan pembacaan kita sebagai pemegang
amanat iqra’. Kalau kita yang diamanati iqra’ maka “berdosalah” kita ketika
iqra’ tidak dimanfaatkan. Iqra’ berarti kita harus menggunakan semua instrument
di tubuh kita, mulai dari pikiran, jiwa dan indera.
Kalau kita hanya menggunakan indera
mata, maka kita hanya mampu membaca teks, tanpa ada penjelasan yang mantiqiyah
(logis), maka ketika ada kita diperintah iqra’ secara otomatis kita diperintah
untuk menggunakan pikiran, jiwa dan indera yang ada.
Dengan menggunakan ketiga instrument
tersebut, maka kita akan menyadari bahwa hidup kita merupakan “rumah uji coba”, maka untuk menciptakan
rumah agar sejuk tergantung bagaimana penghuninya. Apakah penghuninya mampu
merawat atau tidak? Marilah kita belajar bersama bagaimana cara menanam bunga.
Jadilah petani yang ahli. Untuk menjadi petani yang ahli belajarlah pada nenek
moyang kita.
Banjar Barat, 7 April 2015
Komentar