Menciptakan Darah Bening



Oleh: Matroni Muserang*


Semua umat Islam menginginkan dirinya bersih dari dosa, dan ingin mendekat pada Nabi Muhammad serta Allah. Ada banyak cara untuk membersihkan dosa dan ada banyak cara untuk bersama Allah, namun seringkali kita terjebak dengan siapa diri ini? Di antara kita ada yang mengaku dirinya paling benar, ada yang ingin dihormati (gila hormat), ada yang ingin cepat dianggap Kiai, tokoh dan derajat sosial lainnya. Namun bagi kita yang paham makna hidup dan hubungannya dengan Allah, derajat sosial seperti di atas sebenarnya tidak begitu penting, sebab yang paling penting adalah akhlak kita kepada semesta, nabi, Tuhan, dan masyarakat. Baik akhlak batin maupun akhlak dhahir.
Pikiran dan gerak hati tentu di tuntut oleh akhlak, kalau hati dan pikiran bergerak tanpa adanya etika yang baik, maka jangan berharap kita diakui sebagai orang yang baik akhlaknya. Makanya sebelum kita mengurus orang lain, apakah kita sudah selesai mengurus diri kita sendiri? Menciptakan darah yang bening, dengan cara memakan makanan yang baik juga suci.
Seringkali kita berharap Allah mengabulkan doa kita, namun akhlak kita belum selesai, makanan, minuman, pakaian, juga belum selesai kita bersihkan, bagaimana mungkin darah kita akan bening, sebab kalau darah kita sudah bening, maka hati dan pikiran kita pun akan bening, maka wajar jika ada derajat keilmuan (bukan derajat sosial) diberikan terhadap orang-orang yang darahnya bening. Orang itu bisa saja bukan keturunan Kiai, bukan keturunan ulama, bukan keturunan tokoh masyarakat, tapi orang itu keturunan orang biasa, yang kesehariannya bertani, membantu orang lain, memikirkan orang lain (tanpa menyakiti dan mengganggu).
Anak kita sekolah (di pondok, kampus, sekolah), sementara orang tua kita mengambil barang subhat, barang tidak halal, untuk dijadikan makanan anak cucu kita, berkata kejelekan orang lain, memfitnah, lantas akankah darah yang diberi makanan seperti itu akan bening? Tidak akan, tanpa adanya hidayah dari Allah.
Rusaknya moralitas manusia hari ini, ditandai dengan adanya tiadanya kehati-hatian dalam bertindak dan berpikir. Meskipun dia seorang habib, Kiai, namun perkataannya masih menyakiti orang lain, menganggap orang lain berbaju dosa, maka tetle Kiai hanya sebatas title yang tidak memiliki makna apa-apa bagi akhlak ketuhanan. Maka yang paling utama adalah bagaimana makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh kita harus dengan makanan yang baik juga halal
Ok, makanan dan minuman itu halal, tapi seringkali caranya yang salah. Sapi, ayam, kelapa, mangga, itu statusnya memang halal, tapi kalau Caranya salah, maka ia akan menjadi haram. Lantas kita memakan hasil curian itu, jadi apa kemudian daging dan darah kita?
Untuk menciptakan darah yang bening, tentu itu tugas diri kita sendiri. Untuk itulah membaca yang terus menerus tanpa henti merupakan kunci awal untuk menciptakan darah yang bening. Sebab kalau orang mampu membaca ia akan selalu mendapat ilmu dan pengetahuan tanpa kita sadari. Sebab ilmu dan pengetahuan seperti rizki yang datangnya dari arah yang tidak kita ketahui, tapi caranya meski kita ketahui, dengan sekolah, mondok, kuliah misalnya.
Namun akhir-akhir ini banyak di antara kita yang sekolah, mondok dan kuliah hanya ingin dikatakan “manusia berilmu” artinya sekolah, mondok dan kuliah hanya dijadikan siasat untuk membodohi orang lain, sementara sekolah, mondok dan kuliah hanya salah satu tempat dari ribuan tempat untuk mencari ilmu dan pengetahuan. Anehnya masyarakat kadung sudah percaya terhapa lembaga sekolah, mondok dan kuliah. Padahal ilmu dan pengetahuan tidak hanya berada di sekolah, mondok dan kuliah.
Kalau saya melirik orang terdahulu yang sekolahnya kepada alam semesta, ia mampu menghafal al-qur’an hanya dengan bermimpi ketemu nabi dan wali Allah. Sementara hari ini ilmu dan pengetahuan di sebar di sekolah, mondok dan kuliah, lantas kita jarang membaca. Bagaimana mungkin kita akan cerdas membaca jika pikiran dan hati kita belum memiliki etika dalam membaca. Darah kita belum bening, pikiran dan hati kita belum bening. Maka wajar jika sudah mendapatkan ijasah formal ia akan berbondong-bondong ingin menjadi pemimpin bangsa, padahal dirinya belum selesai memimpin dirinya sendiri. Kata orang Madura “sela aba’ bannyak dusana, ki’ madusa’a oreng”, diri ini sudah terlalu banyak dosa, mengapa kita harus membuat dosa orang lain.  
Untuk itulah, kita bersama-sama menciptakan diri ini selalu belajar, belajar dan belajar. Membaca, membaca dan membaca agar derajat keilmuan yang dijanjikan Allah benar-benar diberikan kepada kita. Maka beromba-lombalah kita dalam mencari derajat ketuhanan, bukan berlomba-lomba dalam mencari derajat sosial amin.


Banjar Barat, 15 Maret 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani