Sebuah Perjumpaan dengan Lumbung Perjumpaan



Oleh: Matroni Muserang*

Sebuah kata membengkak dan bernanah di mulut politisi,
Terengah mencari cara mengungsi dari aneksasi,
Mencari udara pagi dan matahari, biar mekar seperti puisi. Tapi siapakah teroris?

Penggalan puisi di atas saya ambil dari antologi puisi “Lumbung Perjumpaan” Februari 2011 karya Agus R Sarjono yang berjudul “Camus”. Saya mengambil penggalan puisi ini untuk memancing saya sebagai penikmat puisi agar terhentak dan menyelami antologi puisi ini. Karena ada sesuatu yang menggelitik dalam antologi ini. Pertama mengapa Agus memilih tema-tema tokoh. Kedua Agus mampu menggambarkan sosok sastrawan sekaligus filsuf dalam puisi ini.
Inilah yang membuat saya harus terus menyelam mencari fondasi pemikiran yang hendak di bangun oleh Agus R Sarjono. Dalam hal ini saya tidak hendak mengulas satu-persatu pemikiran yang ditawarkan para sastrawan dan filsuf, akan tetapi saya akan fokus pada buku antologi puisi ini, karena setelah saya membaca semua antologi ini ada ide-ide baru atau nilai-nilai universal kata Jasser Auda yang hendak diberikan kepada pembaca. 
Karena antologi ini berbeda dengan antologi puisi sebelumnya “Suatu Cerita dari Negeri Angin”, walau pun antologi puisi ini bagian dari jembatan Agus untuk sampai di ladang “Lumbung Perjumpaan” sebagai rumah antologi puisi yang lebih serius. Mengapa saya bilang serius, karena tidak mudah memahami dan masuk pada rumah pemikiran para sastrawan dan filsuf ini. Nietzsche misalnya kata F. Budi Hardiman (2003) yang sudah lama membunuh dan mengubur Allah. Pram dengan sosialitasnya, Sartre dengan eksistensialisnya, Rumi dengan konsep cintanya, dan sastrawan dan filsuf yang lain. 
Karena bagi saya, karya yang baik termasuk sastra (puisi, cerpen, esai, novel,) kata Kuntowijoyo (2006) adalah karya yang memberikan ide-ide baru, pemikiran baru dan cara pandang (paradigma) yang berbeda. Mengapa dalam antologi puisi ini Agus masih fresh dan segar, karena ada ide-ide segar dan baru yang hendak di tawarkan. Di samping karya mereka juga berkualitas dan selalu kontekstual. Lagi-lagi karya yang baik adalah karya yang selalu kontekstual, artinya karya itu tidak pernah usang di makan zaman, justeru karya selalu memberikan solusi terhadap fenomena zaman. Karya itu selalu hidup di tengah banalitas keseharian. Misalnya saya ambil salah satu tokoh dalam antologi puisi ini, siapa yang tidak kenal Iqbal, Rumi, Chairil Anwar, Pablu Neruda, Nietzsche, Pram, Sartre dan tema-tema lain?  
Bagaimana pun penyair adalah orang yang bertanggungjawab terhadap puisinya. Kenapa? karya dalam hal ini puisi merupakan wahyu yang difirmankan lewat penyair, maka jangan sampai kita menulis puisi tapi diri kita tak sadar bahkan tak mengerti apa yang kita tuliskan dalam puisi. Sungguh ironi. Menurut saya puisi adalah sebuah ketukan-ketukan rahasia yang datang tiba-tiba dalam jiwa. Menurut Matroni Muserang (2012) Dia datang dari realitas lalu berlabuh di kedalaman jiwa dan di dalam jiwa dia di olah lalu dilahirkan dalam bentuk simbol dalam imajinasi dan dikeluarkan dalam bentuk kata-kata yang cantik.
Kalau menurut Yasraf Amir Piliyang puisi adalah sebuah proses kreatif merangkai makna, artinya persoalan mendasar seorang penyair adalah menemukan dunia kemungkinan makna yang belum pernah ada. Penyair melihat makna sebagai sesuatu yang selalu bergerak di dalam garis waktu. Makna adalah sesuatu yang harus ditemukan secara terus-menerus. Puisi adalah sebuah pembentangan kemungkinan makna dunia yaitu segala sesuatu yang dibicarakan, dilihat, dirasakan, diinginkan, dihasratkan, diimajinasikan, difantasikan, segala yang ada dalam kesadaran, bawah sadar dan ketaksadaran kata Yasraf Amir Piliyang (2003).
Lewat jembatan puisi inilah Agus mengajak kita untuk saling sapa, berdialektika, berdialog, sharing keilmuan dengan beragam pemikiran yang ditawarkan para sastrawan dan para filsuf. Judul di atas sengaja saya pilih untuk memberikan gambaran bahwa puisi (sastra) tidak hanya untuk puisi, akan tetapi puisi juga mampu memberikan sumbangan pemikiran dalam menyelesaikan fenomena sosial yang semakin hari semakin “sakit”[1] oleh serbuan modernitas, sehingga terasing dari dirinya sendiri, jadi diri terlupa, hidup menjadi banal, dan tanpa makna.
Karena ketika selesai membaca antologi puisi ini, saya merasakan bahwa antologi puisi ini laksana perkumpulan para sastrawan (kecuali sastrawan sufi) dan filsuf yang berkumpul di atas rumput yang hijau mereka berdialektika dan berdialog, para sastrawan menawarkan pemikiran yang sifatnya spiritual, intuisi (hati), sementara para filsuf menawarkan rasionalitas, dan ternyata di tempat itu mereka bertemu saling menghormati, menghargai, dan damai bahkan saling lempar senyum. Itulah kiranya yang hendak ditawarkan dalam antologi puisi ini yaitu “cakrawala perdamaian”.
    
Rumah Pemikiran

Nun di bawah sana, ada yang berkelahi
Berebut roti, ada yang mengganti popok bayi
Ada cumbu dan pertengkaran suami isteri
Mereka tak habis mengerti mengapa
Ada yang bersikeras melesat tinggi
Bagai rajawali menikahi angkasa kosong sepi
Membuang bahagia sehari-hari
Dan menggantinya
Dengan ratap nestapa abadi (Nietzsche)

Penggalan puisi ini memperlihatkan kepada saya bahwa fenomena sosial yang merana dan sakit luar biasa, anehnya mereka yang sakit masih tak menyadari bahkan mereka semakin membuang bahagia dan menggantinya dengan ratap nestapa abadi, sebenarnya ada apa dengan masyarakat kita hari ini? Kalau Heidegger menjawab karena kita tidak mengenal jati diri kita sendiri.
Kalau Agus R Sarjono menjawab dalam antologi puisi ini kita harus berjumpa. Berjumpa dalam hal ini bukan berjumpa antara sepasang sejoli yang sedang rindu terhadap kekasih, akan tetapi berjumpa di ini bermakna Science (pengetahuan) yaitu perjumpaan pengetahuan antara para sastrawan dan filsuf. Berjumpa untuk berdialog tentang fenomena sosial yang sedang mengalami nestapa tersebut.
Pemikiran merupakan hasil refleksi dari fenomena sosial, bagaimana seorang tokoh memiliki pemikiran yang cerdas masih fresh tidak akan lepas dari refleksi dirinya sendiri, dan antologi puisi “Lumbung Perjumpaan” merupakan manifestasi dari refleksi penyairnya. Refleksivitas merupakan tempat yang sejuk untuk menghasilkan hasil pemikiran selama dia (penyair, sastrawan, filsuf) berada di ruang reflekvitas.
Maka tidak heran kalau dalam pengakuan Agus R Sarjono bahwa antologi puisi bukan untuk siapa, buku ini sama sekali tidak dimaksudkan sebagai puisi-puisi persembahan bagi sastrawan yang namanya dijadikan judul puisi. Saya tidak sedang menulis puisi dedikasi buat si fulan atau si falun, mereka semua adalah para sastrawan yang penuh dedikasi sehingga saya kata Aggus R. Sarjono tidak merasa perlu membuat puisi dedikasi bagi mereka. 
Saya semakin yakin bahwa antologi puisi ini lahir untuk memberikan wacana baru dalam cakrawala sastra Indonesia. Itulah percikan dari pemikiran Agus dalam menulis puisi. Maka dibutuhkan metode yang rasional ketika kita terjun di lapangan. Jadi tanggungjawab penyair dalam hal ini adalah bagaimana mengaplikasikan hasil refleksi tersebut di ranah empiris. Agar puisi tidak lagi hidup di ruang kosong.
Di dalam antologi puisi lumbung perjumpaan. Perjumpaan adalah sebuah metafora dari ruang, tempat, surau atau lingkungan bahkan kampung-kampung yang sangat holistik-universal-sebuah rasio dan hati. Perjumpaan adalah hati dan rasio dalam pengertiannya yang lebih luas, yaitu sebuah model dialogis yang memiliki ruang dan waktu yang mendefinikan diri kita bukan lagi kelompok merah dan hijau. Ada perjumpaan yang nyata, riil, kongrit, lumbung agama dan pemikiran, lumbung spiritualitas, lumbung rasionalitas, lumbung pertanian, lumbung tempat menyimpan gabah, lumbung perdamaian, lumbung tasbih, lumbung zakat, lumbung kearifan lokal, lumbung hikmah, lumbung perjumpaan. Sebagaimana hati. Lumbung dalam lumbung perjumpaan dimakna sebagai “segala sesuatu yang memberikan kesejukan bagi masyarakat dunia”.
Lumbung adalah sebuah wadah yang di dalamnya seseorang menemukan dirinya sebagai bagian manusia yang lain. Manusia yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia yang membutuhkan orang lain untuk menjadi manusia sempurna (insan kamil). Lumbung adalah sebuah wadah atau rumah untuk bertemu dalam beragam warna pemikiran yaitu lumbung hati (diri, inside) dan lumbung rasionalitas (akal, outside). Artinya di dalam hati dan di dalam rasionalitas adalah milik kita. Yang di hati adalah “aku” dan di rasio adalah “kita”. Lumbung adalah sebuah tempat yang memberikan seseorang pengertian atau peluang (persuasif) kata Khaled Abu el-Fadl. Inilah makna dialog dari lumbung perjumpaan. Jalan musyawarah (dialog) memerlukan “rumah dialog/dialektika”. Rumah kesejukan bisa apapun saja sejuah memberikan kita identitas dan makna kedamaian: kristen, islam, budha, katolik, bangsa, negara, kota, desa, kampung, atau Allah.

Fi intizam raja dan ratu
Rakyat menunggu di balik pintu.
Bukalah pintu bukalah kalbu
Biar Melayu kembali melagu (Ali Haji; 2011) 

Perjumpaan menyatakan dirinya di dalam ruang dan waktu, untuk membangun makna. Perjumpaan menjelaskan bagaimana segala sesuatu yang di pikirkan bermanifestasikan dalam realitas. Tanpa ruang dan waktu perjumpaan mustahil akan terjadi dan ada saling pengertian. Salah satu tempat perjumpaan adalah bahasa. Akan tetapi perjumpaan tidak melulu bahasa, masih ada wajah lain, yaitu segala sesuatu yang saling berdialog ada intensionalitas kata Edmund Husserl dalam fenomenologinya (Fayyad; 2012). Kita juga bisa berbicara tentang perjumpaan dengan Tuhan atau malah Tuhan sebagai lumbung seperti Alhalaj, perjumpaan yang mesra.
Perjumpaan menurut saya merupakan salah satu dari berbagai kemungkinan cara kita untuk berdialog, berkomunikasi, dan berdialektika dalam merumuskan pemikiran yang cemerlang. Karakter fundamental dari berdialog adalah kebebasan dan tanggungjawab. Dalam konteks perjumpaan yang lebih luas, bukankah Tuhan sendiri menyediakan tempat untuk berdialog seperti Nabi Ibrahim.

Dia yang mabuk oleh minuman
Nyaris siuman ditinggal teman
Jiwa membubung dalam tarian
Di nadi Tuhan berdegup insan (Rumi; 2011)

Perjumpaan adalah tempat untuk berdialog yang memberikan kesejukan secara ontologis, akan tetapi, ketika ada ancaman dari keseharian yang banal yang harus tercipta adalah dialog yang cerdas, saling menghormati-menghargai, yaitu dimana kita memberikan tempat untuk saling berjumpa baik dalam pemikiran, perasaan maupun dalam pengertian agar nilai yang diimpikan dalam perjumpaan tercapai dan termanifestasikan. Sehingga perjumpaan memberikan lahan yang tak terbatas, karena ada Tuhan yang maha memberi rasa aman yang tak terhingga. Maka ketika perjumpaan terjadi tidak ada lagi pembatas antara kristen dan islam, makhluk dan Tuhan, di sanalah kita di-perjumpa-kan dengan kesejukan dan perdamaian. Inilah makna sastra bagi dunia.

Makna dan Perjumpaan
Perjalanan pemikiran seperti yang dilakukan para sastrawan dan filsuf dalam judul puisi ini adalah perjalanan empiris. Inilah pengembaraan rasio dan hati (spiritualitas) yang didalamnya mengalir makna “dialog”, “kesejukan” dan “perjumpaan” sangat urgen, yang memang harus diperjuangkan dengan berbagai metodologi epistemologi yang memiliki nilai tinggi dalam perjumpaan. Perjumpaan adalah pengembaraan yang melewati terminal-terminal banalitas, melewati lumbung-lumbung yang bertangga-tangga yang disetiap tangganya ada energi dalam pengembaraan yang terus-menerus.
Di dalam lumbung dan perjumpaan sastrawan dan filsuf memandang dunia sebagai sebuah tempat yang harus ditempati, dirumahi, diramahi, disetubuhi, yang didalamnya terbuai hasrat pemikiran yang universal dan dikaruniai gemerlap kemewahan ilmu pengetahuan. Mereka bergembira saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Di dalam lumbung dan perjumpaan para sastrawan dan filsuf membuka pintu dan jendela lebar-lebar (inklusivitas) ke arah semesta keberagaman, karena takut darah mencucuran tanpa makna. Hanya dengan cara membuka diri ke arah keberagaman makna dan nilai, pintu menuju perdamaian dapat di capai. Inilah makna (tasamo, musyawa) yaitu pengembaraan saling menghormati dan menghargai melalui “dialog kesejukan”.

Zaman edan yang bahagia, dimanakah
Gerangan Ranggawarsita? (Ranggawarsita;2011)

 Dari dalam lumbung, semesta di lihat oleh sastrawan dan filsuf sebagai ‘cahaya’ atau ‘realitas’ yang harus dimaknai, dianalisis dan direfleksikan. Realitas itu tidak lain adalah pengetahuan. Perjanalan perjumpaan adalah perjalanan menampung segala realitas dalam lumbung pengetahuan. Inilah perjalanan menghancurkan banalitas hari-hari dan godaan-godaan dunia yang menjauhkan kita dari diri sendiri yaitu perjalanan eksitensial. Inilah yang disebut pengalaman eksistesial kalau dalam filsafat. Pengalaman eksistensial menurut Mulyadi Kartanegara (2005) adalah pengalaman yang dimiliki oleh aspek batin jiwa manusia, emosional, mental dan spiritual.
Realitas berdasarkan pandangan sastrawan dan filsuf realitas yang kita lihat, kita rasakan yang membutuhkan kerangka berpikir sistematis. Dunia di sini atau dunia perjumpaan disimbolkan oleh pengetahuan sebagai bentuk pemikiran manusia yang diarahkan kepada wacana sosial. Dunia adalah manifestasi dari hasrat-hasrat manusia yang bersifat nyata. Mencintai dunia memiliki makna mencintai segala sesuatu yang tampak. Jadi perjalanan perjumpaan adalah perjalanan menuju kenyataan sosial yang ada di depan mata.

Di pulau Buru, kau cangkuli ranah
Dan sejaah untuk menumbuhkan lagi
Sebuah bangsa sebuah negara dalam cerita.
Negara impian anak bumiputera
Tempat setiap warga merdeka menjadi tuan
Dalam pergaulan bangsa-bangsa (Pramoedya;2011)

Akan tetapi perjalanan puisi kata Yasraf adalah perjalanan di dalam ketakterbatasn, di dalam ketakberheningan. Tidak ada batas bagi puisi, tidak ada batas ruang, batas tempat, batas waktu. Puisi tidak mengenal batas, itulah mengapa puisi sangat luas cakupannya. Akan tetapi ketika puisi harus berhadapan dengan realitas, mau tidak mau puisi harus berbicara, menyuarakan suara rakyat.

Pada gerbang rumah yang dirampas orang
Aku belajar padamu untuk melawan
Bukan karena harta atau harga
Tapi karena ketidakadilan
Tak pernah boleh dibiarkan
Menjadi majikan kehidupan (Pramoedya;2011)

Perjalanan perjumpaan adalah perjalanan proses “menjadi” (going to process) yaitu menjadi sesuatu yang bermakna atau bernilai bagi setiap perjalanan. Karena puisi juga perjalanan imaji, maka puisi adalah sebuah proses “menjadi”. Setiap huruf, setiap kata, setiap kalimat, setiap bait, setiap sunyi yang dilukiskan dalam puisi membukan ruang dialog bagi pengetahuan baru, ide-ide baru, nilai-nilai baru. Dalam puisi setiap huruf adalah denyut nadi, setiap baris sama dengan helaan nafas dan setiap bait adalah hembusan roh, karena puisi adalah kehidupan itu sendiri. Puisi adalah makluk yang harus berkata sopan dan berdiri di tengah banalitas hari-hari untuk membantu orang yang sedang nestapa dan orang yang diambil tanahnya.




Lumbung Perjumpaan Penuh Makna
Sementara untuk menjembatani konflik kemanusiaan, agama belum mampu menjawab kegelisahan kemanusiaan. Ini terbukti masih maraknya konflik kekerasan atas nama agama, sementara konflik kekerasan dalam dunia sastra bisa dikata ‘tidak ada’ walau pun sebenarnya makna agama yang sesungguhnya tidak ada perintah untuk berbuat kerusakan. Lalu bagaimana peran sastra dalam menjawab fenomena sosial?
Saya melihat sastra lebih lembut dan sejuk, karena selama saya tahu tidak ada kekerasan atas nama sastra. artinya sastra mampu menampung semua dalam lumbung, termasuk agama, filsafat dan sastra itu sendiri. Itulah mengapa sastra kadang sering di anak tirikan oleh bangsanya sendiri. Maklum sastra memang berbobot dan penuh kemandirian pengetahuan dan kemandirian mental yang kuat, maka tidak heran kalau bangsa ingin kuat, belajarlah terhadap sastra dan bersastra.
Sastra dalam hal ini menjadi fondasi bangsa dan fondasi pemikiran yang terus di cari, walau pun kadang di caci-maki. Sastra yang mengajari hidup ini penuh makna kepada orang lain. Sejarah memang sudah membuktikan bahwa para ilmuwan dunia sarat dengan nilai-nilai kesusastraan, maka tidak heran dalam antologi ini Agus memilih tema nama, sebenarnya menurut saya ingin menyadarkan kita bahwa kita masih butuh belajar kepada orang lain yaitu dengan dialog. Lihat saja kitab suci agama-agama dunia di dalamnya penuh dengan sastra. Penuh makna hidup dan filsafat yang luar biasa, hanya sebagian dari kita kadang ‘lesu’ untuk membaca, belajar dan berfikir, apalagi zaman sekarang mayoritas di antara kita di setir oleh pragmatis-hedonis-materialis, jadi tidak heran kalau konflik, kekerasan dan permusuhan masih meraja lela dimana-mana, ini akibat dari rasa ‘lesu’ kita untuk membaca sastra dan berpikir.

Orang sakit, judes, pendengki, menyebalkan
Dan jujur, telah menulis catatan-catatan bawah tanah
Dari lumpur kelam jiwa dalam coreng-moreng grafiti
Di baju moral dan kesadaran kita. Sejak itu
Tak lagi kita bisa tentram berpakain suci (Dostoyevsky; 2011)

Maka untuk mendialogkan dibutuhkan orang-orang yang belajar sastra, berpikir dan menciptakan dialetika yang dinamis antara lumbung dan perjumpaan, maka dibutuhkan inklusivitas diri terhadap segala perkembangan ilmu pengetehuan modern. Lumbung dan perjumpaan harus terbuka terhadap nilai-nilai universal, untuk menciptakan mental yang kuat dan mandiri di tengah banalitas keseharian ini.

Guguran hujan, sapu tangan alam
Puisi bumi, rerumputan bulan
Tegus sapa insan, cumbu rayu malam
Semurni nyanyi, dekapan kawan ( Whitman; 2011)

Bukankah perjumpaan sejati merupakan impian semua orang. Perjumpaan dalam bingkai pemikiran, dalam jabat tangan, dalam dekapan kawan. Dan itu semua membutuhkan pengetahuan. Pengetahuan bisa didapatkan dari lumbung dan perjumpaan. Akhirnya perjumpaan adalah perjalanan cinta. Perjalanan reremputan bulan. Perjalanan penuh cinta tidak pernah akan bisa berhenti, karena cinta itu selalu diperbaharui seperti juga lumbung dan perjumpaan dalam arti pengetahuan. Seperti perjumpaan tidak ada titik akhir, sebab jika ada titik akhir sesungguhnya tidak lagi perjumpaan dan pengetahuan. Lumbung dan perjumpaan tidak akan pernah lelah dalam perjalanan menemukan makna dan nilai.

Sumber: Jurnal Sajak, edisi 14, 2016


[1] Untuk lebih jelas seperti fenomena sosial yang “sakit’ sebagai gambaran sederhana baca cerpennya Joni Ariadinata yang berjudul “Kambing dan Jahiliyyah”. Kalau di ranah pemikiran lihat bukunya Khaled Abu el-Fadle, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women. Dan masih banyak yang gelisah terhadap fenomena sosial yang sedang sakit, kalau di Indonesia sebut saja Amin Abdullah, Mulyadi Kartanegara, Komaruddin Hidayat, Emha Ainun Najib, dan pemikiran islam lainnya.   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani