Dilema orang “Berilmu”
Oleh: Matroni Muserang*
Ilmu Tuhan
sungguh tak terbatas, tapi
Mengapa kita
harus membatasi
Hari ini banyak sekali orang-orang
berilmu. Ada alumni pondok pesantren, ada sarjana pesantren dan ada pula
sarjana perguruan tinggi swasta dan negeri. Ada yang menetap di tempat belajar,
ada yang pulang ke kampungnya. Niat awal memang kita berangkat dari rumah untuk
sekolah/belajar, setelah lulus pulang ke kampung halaman, namun perjalanan
berkehendak lain. Itulah dinamikanya. Namun hal itu bukan kemudian kita biarkan
tanpa pembacaan dan refleksi.
Ada dua hal yang penting untuk kita baca,
pertama diri kita sendiri dan kedua adalah ilmu yang kita peroleh. Kita
seringkali ingin cepat-cepat selesai sekolah, mendapat ijasah lalu kerja,
itulah impian semua sarjana masa kini. Tujuan untuk mendapatkan ijasah untuk
kerja. Bukan untuk ijtihad keilmuan yang kita peroleh dari sekolah. padahal
kalau kita menyadari kesarjanaan kita untuk kepentingan pengetahuan dan
keilmuan.
Mau jadi apa setelah menjadi sarjana,
itu bukan jaminan dan urusan kita, tapi usaha untuk mengabdikan diri agar
pengetahuan kita bisa mengalir, namun setelah kita masuk pada sautu lembaga
sekolah, menjadi guru atau menjadi apa pun, bukan lantas guru itu merupakan
gudang pengetahuan, bukan guru kemudian merasa benar sendiri. Anehnya ada di
antara kita yang sudah merasa jadi guru jadi kiai merasa dirinya paling benar
memahami agama yang lain salah.
Untuk itulah meng-update pengetahuan
setiap hari adalah hal terpenting dalam agama. Agama sebagai kepercayaan dari
dulu memang tidak akan berubah. Kita tetap iman, namun agama sebagai ilmu dan
pengetahuan inilah yang terus berubah dan berkembang. Kita tahu bahwa ilmu
Tuhan sungguh tak terbatas, tapi mengapa kita harus membatasi ilmu kita pada
ilmu agama, yang ilmu agama hanya dibatasi pada kitab-kitab klasik (kitab
kuning)? padahal andai air laut dan sungai dijadikan tinta, juga tumbuhan yang
ada di semesta ini dijadikan bulpoin tidak akan cukup untuk menulis ilmu Tuhan.
Jelas tidak ada batasan bagi kita untuk mencari ilmu.
Ada bahasa yang aneh “orang alim adalah orang yang bisa baca kitab
kuning”, apakah ilmu filsafat, antropologi, sosiologi, astronomi,
psikologi, hikmah, kedokteran, pertanian, teknik, kimia, fisika, biografi,
geografi, matematika, dan lain sebagainya tidak dikatakan alim? Seperti ilmuwan
pertama di Arab Abu Yusuf Ya’kub bin Ishaq al-Kindi, sebagai sastrawan besar
arab, yang ahli logika, aritmatika, musik, yang menerima perlindungan dari tiga
orang khalifah Abbasiyah: al-Ma’mun, al-mu’tashim dan al-Watsiq. Padahal
bidang-bidang itu merupakan ilmu Tuhan juga. Akhirnya saya tidak sepakat kalau
orang alim hanya dibatasi pada kitab kuning saja, akan tetapi saya lebih
sepakat kalau orang alim adalah orang yang memahami ilmu dan pengetahuan Tuhan
baik yang agama maupun non-agama (kalau mau dipisahkan).
Apakah kita mampu memahami semua ilmu Tuhan?
Belum tentu, kalau belum tentu memahami semuanya, maka sebenarnya di dunia ini
tidak ada orang yang alim, kecuali nabi Muhammad SAW. Apakah ada manusia hari
ini yang memahami semua ilmu agama sekaligus paham ilmu kedokteran? Mungkin
tidak ada kalau Tuhan tidak berkehendak. Untuk itulah diri merasa benar, merasa
alim, tamak hormat, dan tamak harta harus kita pelajari bersama. Yang ada hanya
sebuah proses untuk terus belajar dan membaca ilmu dan pengetahuan Tuhan yang
tersebar dari timur sampai barat dan dari utara sampai selatan.
Penyebab kita tamak hormat dan merasa
benar sendiri diakibatkan oleh pemahaman kita terhadap agama dan pengetahuan. Membaca
dan belajar merupakan tuntutan yang tidak boleh diberhentikan oleh adanya
identitas dan status kita. Status kita sebagai guru, dosen, Kiai, ulama, tetap
diwajibkan untuk terus belajar dan membaca.
Keterus-menerusan belajar dan membaca
itulah ilmu dan pengetahuan akan diberikan kepada para pencari dan penuntut
ilmu. Kalau kita berhenti belajar dan membaca, maka ilmu kita akan seperti nasi
yang basi, maka meng-update pengetahuan adalah hal terpenting daripada ngupdate
status galau di FB, Twitter, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, kita sebagai pencari
dan penuntut pengetahuan, sudah saatnya mengadakan refleksivitas terhadap
pengetahuan yang kita dapatkan. Caranya belajarlah terhadap siapa saja,
termasuk belajar pada anjing sekalipun. Karena banyak sekali cara-cara Tuhan
memberikan pengetahuan kepada ummatnya. Jadi cara-cara Tuhan inilah yang
seringkali kita tak peka membacanya. Padahal cara-cara Tuhan kadang dengan
batu, duri, kerikil, semut, untuk memberikan penyadaran terhadap kita. Maka
cara-cara Tuhan inilah yang harus kita baca, kita pelajari bersama untuk
menciptakan manusia-manusia yang tidak tamak hormat, tidak tamak harta, dan
tidak tamah pangarep, kata orang
Madura.
Esai ini saya tulis sebenarnya untuk
menegur diri sendiri, yang kadangkali belum mampu secara tuntas memahami
cara-cara Tuhan. Untuk itulah belajar
lapang dada (inklusifitas) dalam setiap tindakan adalah hal terindah bagi
sebuah perjalanan. Sebab ilmu dan waktu dua hal yang saling cinta dalam
mendamaikan semesta ini, dan kita tentu harus belajar pada waktu dan ilmu
sebagai teman hidup kita sampai nanti. Semoga kita semua bisa, amien..
Banjar Barat, 16 Maret 2015
Komentar