Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2014

Puasa: Sebuah Mi’raj Sosial dan Mi’raj Religiusitas

Oleh: Matroni Mus è rang* Kebudayaan selalu ada dalam kehidupan manusia, ia seperti angin yang keluar masuk dalam tubuh manusia. Dimana pun ada kehidupan, disitulah kebudayaan ada. Begitupun dengan puasa. Puasa merupakan bagian dari kebudayaan umat manusia. Ketika kita melakukan puasa, jangan menganggap agama kita paling benar. Sebab puasa bukan milik pribadi, akan tetapi puasa milik umat manusia, untuk itulah puasa menjadi sarana untuk lebih memanusiakan manusia, inilah yang saya sebut sebagai mi’raj sosial. Mi’raj sosial artinya seseorang mampu melakukan perintah agama lalu mengaplikasikannya ke ruang publik, contoh, kita tidak lagi membeda-bedakan agama, ras, suku dan budaya, oleh karena itulah dalam mi’raj sosial, sesama manusia kita sama di hadapan kemanusiaan. Puasa saya maknai sebagai perjalanan rohani untuk mi’raj yaitu mi’raj sosial dan mi’raj religiusitas (spiritual), dari hati yang keras menuju perkampungan hijau yang bernama kesejukan dan kedamaian. Dua kampung

Puasa, Capres dan Kekerasan

Oleh: Matroni Muserang* Puasa saya maknai sebagai perjalanan rohani untuk mi’raj, mi’raj sosial dan mi’raj spiritual, dari hati yang keras menuju perkampungan hijau yang bernama kesejukan dan kedamaian. Dua kampung ini kini telah di bakar oleh egoisme pragmatis-kapitalis, untuk itu saya ingin menjadi tuhan untuk “menghidupkan kembali” kampung kesejukan dan kedamian. Dengan puasa sebagai ibu yang melahirkan kesejukan dan kedamaian. Mengapa puasa? Puasa dilakukan seseorang ketika ingin mendamaikan hati dan pikirannya dan puasa dilakukan oleh semua agama di dunia. Oleh karenanya, puasa menjadi moment penting bagi manusia Indonesia yang saat ini mau melaksanakan ritual lima tahunan yaitu pergantian presiden RI, untuk berjalan melaksanakan tanggungjawab sebagai tim sukses untuk tidak saling sikat dan menuduh, sebab saling sikat dan menuduh akan menjadi simbol bahwa puasa tidak lagi bermakna apa-apa bagi keseharian kita. Hal ini menjadi delima bagi kita, di satu sisi memiliki tan

Karapan Laut: Kitab Melawan Lupa

Gambar
Matroni Muserang* Sudah sejak lama suara dan wujud kearifan lokal terlihat sayup. Padahal kearifan lokal menjadi salah satu sumber pengetahuan. Lalu, upaya apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkannya? Di sinilah karya sastra dan pelakunya memiliki tantangan yang lebih berat untuk merekonstruksi dan merevitalisasi nilai-nilai kearifan lokal agar berdenyut di tengah kecamuk dan pusaran modern. Beruntung, masih ada sastrawan yang masih peduli dan intens menggarap tema-tema lokal dalam karyanya seperti tentang Madura. Salah satunya adalah Mahwi Air Tawar, cerpenis kelahiran Madura . Dia terus ber karya demi “menghidupkan kembali” kearifan lokal. Jika Rendra, Chairil Anwar, Pram dan Ahmad Tohari mengklaim, bahwa di dalam pemikiran kesusasraan, masih terdapat sesuatu “yang belum kita sentuh” dan “yang tersentuh” maka, Mahwi Air Tawar dalam Karapan Laut menggagas dan merumuskan kembali khazanah pemikiran kearifan lokal, yaitu kerap terlupakan orang. Karapan Laut sebagai