Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2014

Pancasila Sudah Mati

Oleh:Matroni Musèrang Untuk apa kita memperingati hari pancasila? Apakah kita paham apa makna pancasila bagi bangsa dan rakyat? Apakah pancasila sekarang masih diperlukan?     1 Juni dijadikan sebagai lahirnya Pancasila, dan sejak lahir Indonesia selalu memperingati hari kelahiran Pancasila yang sejak itu dijadikan dasar dan ideologi negara Indonesia sampai sekarang. Maka penting kemudian peringatan Hari Pancasila yang ke-69 ini untuk mencari makna substansial dari Pancasila. Dengan lirik puisi yang sangat filosofis “ Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsaku rakyatku semuanya, bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya”. Puisi ini mengajak para pemimpin dan rakyatnya untuk terus berubah dan berkembang. Yang harus berubah dan berkembang apa? Pertama tanah, negeri, bangsa, dan rakyatlah, kedua mental pemimpin dan rakyatlah yang harus berubah dan berkembang. Kalau enam ikon (tanah, negeri, bangsa, rakyat, jiwa, badan) tidak memiliki makna filosofis dan

Puisi Matroni Musèrang di Koran Kota Kendari

Halaman Sastra Harian Berita Kota Kendari, Sabtu 24 Mei 2014 Pintu 12 Dari sunyi jiwa gelombang lahir menaburkan cipratan air yang disemburkan angin pada langit bumi menengadah meminum lewat akar-akar waktu Dari ribuan pohon di belakang dapur melengkung menciptakan alur cerita rakyat dan tafsir kesungguhan hidup Diriku yang kian menjauh dari huruf hijaiyyah dan setiap kelebatan-kelebatan hari yang meninggalkan kita lengkung huruf itu masih saja mengakar dan menjalar ke permukaan melewati likuan ladang yang terus terjuntai menemui cahaya Pintu 13 Huruf semakin lebat dalam pikiran kita merekam kelebatan yang tak tertulis dan tertulis aku terjungkil dari beberapa kata dan kobaran rahasia sebelum sampai di tepi beberapa haluan Tiga titik di ubun-ubunmu bermakna perjalanan menemui orang-orang mengaji membaca kelebatan ranting, rindang, daun dan reroncean Pintu 21 Perahu itu bermata dua dia kembali melihat membantu huruf Ta

Reformasi Sudah Mati

Oleh: Matroni Muserang* Malam tanggal 20 Mei 2014 saya mengikuti acara Dwiwindu Reformasi di UGM Yogyakarta, bersama Dr. Revrisond Baswir dan mbk Yuni (wakil Bupati Sleman), mereka berdua sebagai pelaku sejarah pada bulan Mei 1998 waktu, mereka bercerita banyak tentang keterlibatan mereka. Ada hal yang menarik dan membuat pikiran saya sersentak, ketika Revison mengatakan bahwa reformasi harus diakhiri malam ini, mulai dari malam ini kedepan jangan lagi menyebut zaman reformasi, tapi zaman perjuangan. Karena bagi Revison reformasi yang sudah berjalan 16 tahun tidak menghasilkan apa-apa, justeru membuat rakyat semakin sengsara dan revison berkata ternyata Indonesia berada dalam tekanan Amerika, jadi wajar kalau Indonesia masih menjadi Negara yang feminis yang bisa diaposi oleh Negara lain. Kapan bangsa ingin menjadi bangsa yang laki-laki yang kuat? Kalau sampai detik ini pemimpinnya masih takut Amerika?       Lahirnya Demokrasi seharusnya dilihat dari dua perspektif, pertam

Melawan Manusia Lupa

Oleh: Matroni Muserang Zaman modern telah mampu membabad habis jiwa-jiwa kearifan lokal. Zaman modern yang ditandai oleh menangnya rasioanalitas dan materialitas, sungguh membuat manusia lupa akan dirinya. Mahwi Air Tawar dalam buku kumpulan cerpen terbarunya Karapan Laut (komodo, 2014) ingin memberikan penyadaran bahwa diri itu hal paling penting. Diri dalam hal ini dalam arti luas yang tidak hanya diri manusia, akan tetapi diri dalam lingkup kebudayaan yang akhir-akhir ini dilupakan atau bahkan sengaja dilupakan. “Sesuatu yang dilupkan” inilah yang hendak direfleksikan sebagai basis keilmuan yang selama ini menjadi hal yang dianggap jadul oleh manusia modern. Dalam dunia pengetahun, Kearifal lokal selalu menjadi hal terpenting, mengingat pemikiran dunia selalu berangkat dari hal-hal yang sifatnya lokal walau pun dengan pemikiran rasional yang memang sudah menjadi basis metode saintifik. Kearifan lokal kadang dicampuradukan dengan jadul, dan ketinggalan zaman, apa benar d

Sajak-Sajak: Matroni Muserang di radar Madura

Written by admin | 12/05/2014 | 0 Biografi Ayah Pagi telah membuka mataku, anakku siang perlahan berjalan di atas ubun-ubun bersama tuak dan keringat cahaya dari pundakmu keringat mengalir deras embun membasahi kaki dan bulu betismu mata kutenggelamkan di kedalaman laut wajah dan keringatmu Dari bening matamu kusimpan rasa tak bertepi lantaran jejakmu bertaburan puisi semesta tertunduk rapi matahari tersenyum menyebar ruang membasuh sepi Lalu, keringat terbang menjelma matahari membubung mencipratkan awan berlari hujan pun menumbuhkan segala makhluk semesta Ada hari-hari yang menjelma air mata ada gelombang rasa yang harus dilampaui, anakku Aku tahu dadamu bergelombang dan air mata tak punya hak untuk